ICC Jakarta – Pertama-tama saya ucapkan selamat atas tibanya hari-hari peringatan milad wanita penghulu dua alam, pemuka wanita surga, Hazrat Siddqah al-Kubra, Fatimah (as). Pertemuan ini, alhamdulillah, merupakan pertemuan yang sangat penting dan bernilai. Pertama dengan kehadiran para wanita unggulan di berbagai bidang kehidupan sosial dan keilmuan kita dan kalangan yang benar-benar terpelajar, termasuk para dosen dan aktivis keilmuan, teknis dan lainnya serta keluarga para syuhada yang mulia. Di sini hadir pula istri dan ibu para syuhada yang merupakan wanita-wanita teladan yang mencapai kesempurnaan dan kemuliaan. Alhamdulillah, pertemuan ini adalah pertemuan yang istimewa dalam semua sisinya. Tentunya di negeri ini ada banyak wanita lain yang berhasil meraih keunggulan dan kebanggaan serta menjadi modal berharga bagi kemajuan dan masa depan negara ini. Pertemuan ini adalah pertemuan simbolik akan gerakan agung kaum perempuan di negara ini.
Secara obyektif harus diakui bahwa pemerintahan Republik Islam Iran berhasil menggapai satu puncak tertentu dalam pembinaan kaum wanita terdidik serta berpikiran bernas dalam berbagai isu kemasyarakatan, sebagaimana akan saya jelaskan dalam kesempatan ini.
Problema kewanitaan – yang kini di dunia dikenal dengan istilah “krisis wanita”- merupakan salah satu problema paling krusial bagi setiap peradaban, masyarakat dan negara. Namun dalam hal ini Anda mampu berpikir keras dan cermat dalam mengurai benang merahnya. Karena itu kita berani memastikan bahwa Republik Islam berhasil menggapai suatu puncak yang tak dapat digapai oleh banyak negara dunia.
Saya ingin menjelaskan satu hal. Masalah wanita dan rumah tangga dengan segala upaya pemecahannya yang Anda maupun orang-orang lain lakukan masih menjadi satu isu penting yang dapat didiskusikan dan dikembangkan secara lebih luas lagi di ranah pemikiran. Ini merupakan salah satu topik dalam studi-studi strategi yang insya Allah masih akan kita selenggarakan di masa-masa mendatang. Sejauh ini sudah dua kali kita menyelenggarakan studi strategi. Upaya-upaya intelektual kita -yang insya Allah selanjutnya akan kita aplikasikan dalam program yang kongkret- merupakan representasi kajian paling substansial dan strategis untuk berbagai masalah pemikiran masyarakat. Satu diantaranya adalah masalah kewanitaan dan rumah tangga yang sudah dicanangkan dan akan diforumkan di masa mendatang.
Kepada kaum wanita mulia dan pemikir yang alhamdulillah di sini sudah kita lihat contoh-contohnya kami menyerukan supaya berpartisipasi, berdiskusi, berpikir dan melakukan kajian serius untuk urusan ini. Lakukan kajian secara terpisah, spesial, ilmiah dan berdasar referensi Islam dan pemikiran revolusi untuk semua persoalan perempuan, lalu paparkan dan diskusikan di forum supaya bisa menjadi acuan program dan implementasi, insya Allah.
Ada dua masalah inti terkait problema perempuan di tengah masyarakat. Jika dua masalah ini dipikirkan dengan baik, dicanangkan sebagai wacana baru dan ditindaklanjuti secara intensif maka apa yang kini di dunia dianggap sebagai krisis wanita bisa diharapkan terurai dalam jangka pendek ataupun panjang. Pertama berkenaan dengan kesalahan orang dalam memandang status dan kedudukan wanita di tengah masyarakat. Kesalahan ini mengakar pada pemikiran Barat yang kebetulan memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Bisa diperkirakan tidak salah orang yang mengklaim bahwa masalah ini ada dalam protokol-protokol para pemikir Zionis. Artinya, kesalahan persepsi mengenai kedudukan wanita di tengah masyarakat ini kemungkinan baru berjalan di Barat sekitar 100 sampai 150 tahun dan merambah komunitas-komunitas masyarakat lain, termasuk masyarakat Islam. Masalah kedua adalah yang paling asas, yakni kesalahan persepsi mengenai rumah tangga dan keburukan perilaku dalam rumah tangga.
Dalam hemat kami, dua persoalan ini yang menjadi biang krisis wanita yang kini menjadi satu dilema mendasar di dunia. Istilah krisis wanita mungkin mengundang rasa heran. Dewasa ini krisis cuaca, krisis air, krisis energi dan krisis pemanasan global terangkat sebagai problema utama umat manusia. Namun demikian, semua krisis itu sebenarnya bukanlah krisis yang paling mendasar bagi manusia. Sebagian besar krisis utama manusia sejatinya kembali kepada masalah hubungan manusia dengan spiritualitas, moralitas dan perilaku sosial satu sama lain yang salah satunya berkenaan dengan problema kaum wanita dan kedudukan kaum hawa di tengah masyarakat. Inilah krisis yang sesungguhnya, tapi dunia tidak mengindahkan dan mengangkatnya ke permukaan, dan isu ini kebetulan juga berseberangan dengan interes kekuatan-kekuatan politik yang dominan di dunia, atau bahkan mungkin memang berbenturan dengan strategi utama mereka jika isu diangkat ke permukaan.
Berkenaan dengan masalah pertama, yakni kedudukan kaum wanita dalam kehidupan di tengah masyarakat, persoalannya terletak pada penciptaan ketidak seimbangan yang terus berproses secara gradual di mana satu pihak diposisikan sebagai pelaku kepentingan sedangkan pihak lain sebagai obyek kepentingan. Pelaku kepentingan adalah pihak laki-laki, sedangkan obyek kepentingan adalah pihak perempuan. Dikotomi ini berlangsung diam-diam, bertahap dan dilakukan dengan berbagai modus dan trik propaganda yang sudah berlangsung sekian dekade atau mungkin bahkan 150 tahun -persisnya saya kurang tahu, tapi ini bisa dikaji- di tengah masyarakat Barat dan kemudian menjalar ke masyarakat-masyarakat lain.
Demikianlah status sosial perempuan dicitrakan selama ini; perempuan didudukkan sebagai obyek kepentingan laki-laki. Karena itu, dalam budaya Barat jika seorang wanita ingin menjadi figur publik maka dia harus mampu membuktikan daya tarik seksualnya. Di forum-forum resmipun, mode pakaian perempuan harus dapat menghibur mata pihak laki-laki sebagai pelaku kepentingan.
Menurut saya, ini adalah penghinaan dan penistaan terbesar terhadap hak wanita. Dalam sebuah lingkungan sosial sedang terbentuk sebuah budaya yang menempatkan wanita sebagai obyek kepentingan kaum laki-laki, dan ini sekarang menjadi bagian dari budaya Barat yang kemudian diikuti dan bahkan dipromosikan oleh pihak-pihak lain di dunia. Orang yang tidak mengikuti budaya ini akan dipersoalkan. Contohnya, mereka akan ribut jika ada suatu masyarakat menganggap kosmetisme dan modisme kaum wanita di tengah publik sebagai budaya yang tercela. Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya jika di suatu masyarakat mencuat wacana nudisme perempuan, maka dunia tidak akan meributkannya. Sedangkan jika ada suatu masyarakat mengabaikan modisme dan glamorisme kaum perempuan maka yang terjadi adalah badai sensasi dari pusat-pusat propaganda yang dominan di dunia. Ini menunjukkan adanya sebuah budaya, politik dan strategi yang memang diproyeksikan sejak dulu dengan target mengukuh pencitraan dan penistaan bagi kaum wanita tersebut. Mereka berbuat sesuatu yang naif.
Karena itu Anda melihat bagaimana Barat perlahan-lahan memperlihatkan penolakannya terhadap jilbab secara terbuka. Mereka berdalih bahwa jilbab merupakan simbol gerakan bermotif agama. Mereka mengatakan, “Kita tidak ingin simbol-simbol keagamaan mengemuka di tengah masyarakat kita yang sekuler.” Menurut saya, pernyataan ini bohong belaka. Duduk persoalannya terletak bukan pada isu agama dan non agama. Duduk persoalannya terletak pada fakta bahwa budaya jilbab bertolak belakang dengan strategi dan prinsip Barat untuk memasarkan dan mencabuli kaum perempuan. Mereka akan tetap menolak walaupun seandainya jilbab tidak didasari motif keagamaan. Inilah substansi persoalannya.
Problema ini kemudian membawa dampak-dampak lain yang sangat mematikan di tengah masyarakat manusia seperti keroposnya bangunan rumah tangga dan maraknya perdagangan wanita. Dewasa ini di dunia dilaporkan -sepertinya oleh lembaga resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)- bahwa bisnis yang paling pesat pertumbuhannya di dunia adalah perdagangan dan penyelundupan perempuan. Dalam hal ini ada sejumlah negara yang dinyatakan paling parah, termasuk Israel. Dengan janji-janji disalurkan untuk tenaga kerja, perjodohan dan lain sebagainya, para perempuan dan anak-anak gadis dikumpulkan dari negara-negara miskin di Amerika Latin, Asia dan sejumlah negara miskin Eropa lalu diboyong dan diserahkan ke tempat-tempat yang membuat orang miris menyebut nama dan membayangkannya. Pangkal semua persoalan ini adalah kekeliruan dan ketidak adilan dalam penempatan kedudukan kaum perempuan di tengah masyarakat.
Munculnya fenomena anak haram – dalam hal ini AS menduduki rangking tertinggi-, begitu pula fenomena kumpul kebo sejatinya adalah pemusnahan sendi-sendi, kehangatan, keharmonian dan berkah kehidupan rumah tangga. Problema tadi adalah biang keterasingan manusia dari berkah tersebut. Ini harus dipikirkan; kedudukan sejati kaum wanita harus dijelaskan, logika naif Barat itu harus dilawan dengan sungguh-sungguh.
Saya pernah ditanya, “Bagaimana Anda bertahan di depan Barat dalam isu perempuan?” Saya menjawab, “Kita tidak dalam posisi bertahan. Dalam isu perempuan posisi kita adalah penggugat Barat karena mereka telah berbuat zalim dan menistakan kaum perempuan. Mereka menjatuhkan martabat perempuan atas nama kebebasan, pekerjaan dan profesi. Mereka melakukan tekanan mental dan menciderai kehormatan dan kedudukan kaum wanita. Karena itu mereka harus bertanggung jawab.” Republik Islam Iran mengemban kewajiban dalam hal ini. Republik Islam Iran harus lantang, tegas dan tanpa basa-basi dalam mengungkapkan kata-katanya yang sebagian besar berupa gugatan terhadap persepsi Barat yang zalim tersebut. Dengan paradigma ini, persoalan jilbab dan pola hubungan antara perempuan dan laki-laki akan menjadi persoalan yang kongkret.
Problema selanjutnya, yakni problema kedua dalam isu perempuan, ialah persoalan rumah tangga. Pandangan Islam mengenai rumah tangga dan kedudukan perempuan dalam rumah tangga sudah sangat jelas;
المرأة سيّدة بيتها
“Perempuan adalah tuan di dalam rumah tangganya.” (Nahjul Fashahah, hlm. 614).
Wanita adalah tuan dalam rumah tangganya. Ini adalah sabda Rasulullah Saw. Sementara Imam Ali as berkata;
المرأة ريحانة و ليست بقهرمانة
“Wanita adalah bunga, bukan pekerja.” (Nahjul Balaghah, Surat ke-31)
Dalam bahasa Arab, kata qahraman berarti pekerja atau pelayan. Para imam menegaskan bahwa perempuan bukanlah pekerja rumah tangga, melainkan bunga dalam rumah tangga.
Dalam hadits juga disebutkan kepada kaum laki-laki;
“Yang terbaik diantara kalian adalah orang yang paling berperilaku baik kepada isterinya.”
Inilah pandangan Islam. Masih sangat banyak lagi hadits-hadits seperti ini. Hanya saja, upaya merealisasikan misi Islam bagi kehidupan rumah tangga tidak cukup dengan retorika belaka. Diperlukan payung hukum dan jaminan implementasi. Ini harus dipenuhi, karena selama ini tidak pernah terpenuhi. Ini diperhatikan hanya oleh orang-orang yang bermoral baik dan konsisten kepada syariat. Di luar karakteristik ini, ketentuan syariat itu tidak diperhatikan sehingga banyak kasus kezaliman terhadap perempuan dalam rumah tangga.
Betapapun demikian, ini sama sekali bukan berarti bahwa Barat lebih maju dari kita dalam soal ini. Saya memiliki banyak data tentang ini. Beberapa data juga disebutkan tadi oleh seorang ibu. Keteraniayaan perempuan dan penistaan hak perempuan dalam kehidupan rumah tangga di Barat sudah pasti lebih buruk daripada kondisi perempuan dalam rumah tangga Muslim, Iran dan Timur secara umum. Kita akui banyak kekurangan dalam kehidupan rumah tangga sehingga memerlukan payung dan implementasi hukum. Ini harus direalisasikan. Ini merupakan salah satu lahan yang tidak banyak digarap di negara kita selama ini sehingga harus digarap secara optimal. Padahal, tidak ada kurangnya sama sekali persoalan ini ditekankan dalam pandangan dan teks-teks keislaman. Orang-orang yang kritis terhadap ajaran Islam, misalnya dalam bab waris, diyat dan semisalnya, terkadang getol melontarkan kritikan, walaupun tentu saja kritikan itu lemah dan kita memiliki jawaban-jawaban yang logis dan solid. Namun, dalam hal perilaku kehidupan rumah tangga, pandangan Islam umumnya didiamkan. Padahal pandangan Islam tentang ini sepenuhnya transparan. Lingkungan rumah tangga bagi wanita harus aman, nyaman dan mendukung kehormatannya supaya ia dapat optimal dalam menunaikan kewajiban utamanya, yakni memelihara keharmonian rumah tangga.
Banyak hal yang dapat dibicarakan mengenai pandangan Islam tentang perempuan. Dan ini sudah sering kami bicarakan. Sudah beberapa kali saya menyebutkan bahwa wanita dalam Al-Quran dijadikan percontohan bagi sosok manusia mukmin dan diridhai Allah serta sosok manusia kafir dan mendapat kemurkaan di sisi Allah. Ini sangat menarik. Allah menunjuk sosok perempuan sebagai contoh manusia baik maupun manusia buruk. Allah Swt berfirman;
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir.” (QS.66.10)
Al-Quran menjadikan dua wanita ini, yakni isteri Nabi Nuh as dan isteri Nabi Luth as sebagai contoh dan representasi para wanita buruk. Sedangkan untuk contoh sebaliknya Al-Quran menyebutkan;
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ
“Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman.” (QS.66.110)
Selain isteri Fir’aun, Maryam binti Imran juga ditampilkan sebagai contoh wanita yang baik, unggul dan beriman;
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا
“Dan (begitu pula) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya.” (AS.66.12)
Menariknya, kebaikan dan keburukan mereka itu berkenaan dengan kehidupan rumah tangga. Mengenai dua diantaranya, yakni isteri Nabi Nuh dan Isteri Nabi Luth, Al-Quran menyebutkan;
كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا
“Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing).” (QS.66.10)
Dua wanita ini telah berkhianat kepada suami masing-masing yang merupakan dua rasul yang mulia. Jadi masalahnya menyangkut rumah tangga. Persoalan dua wanita lainnya juga menyangkut rumah tangga. Pertama adalah isteri Fir’aun. Daya tariknya terletak pada persoalan di mana seorang rasul ulul azmi, Musa yang bergelar Kalimullah, telah diasuh dan dibesarkan oleh isteri Fir’aun, tapi kemudian wanita ini beriman kepada Nabi Musa dan ikut membantu misinya. Karena itu Fir’aun melampiaskan dendam kesumatnya. Jadi masalahnya ada dalam rumah tangga yang ternyata pengaruhnya sedemikian besar, agung dan memelihara seorang Musa as.
Mengenai Hazrat Maryam as juga demikian. Beliau menjaga kehormatan dan iffahnya. Ini menunjukkan bahwa di tengah lingkungan beliau ada faktor-faktor tertentu yang dapat mengancam kesuciannya sebagai wanita terhormat, tapi beliau berhasil melawannya. Dengan demikian, semua ini mengacu pada semua aspek penting, aspek rumah tangga dan kedudukan wanita di tengah masyarakat.
Kita tentu sudah maju di bawah payung Republik Islam. Pandangan saya optimistik. Sebelum revolusi Islam kami melihat dari dekat betapa mengerikan dan berbahayanya kondisi negara, masyarakat dan perempuan kita. Dasar karena latah, penampilan perempuan saat itu lebih norak daripada apa yang kita saksikan di gambar-gambar dan laporan-laporan tentang wanita Eropa. Inilah yang dulu dipromosikan. Namun demikian, karena dalam diri wanita Iran masih terpendam mutiara iman, mereka berhasil mengatasi gelombang destruktif ini. Mereka berpartisipasi kongkret dalam revolusi. Dengan partisipasinya dan dengan memotivasi kaum prianya mereka bahkan menjadi satu tonggak kejayaan revolusi Islam. Pasca revolusi inipun, gerakan kaum wanita Iran juga sangat luar biasa.
Patut saya kemukakan bahwa isteri para mujahid dan pejuang di jalan kebenaran serta ibu-ibu mereka adalah manifestasi kesabaran dan pertahanan. Mengamati keadaan mereka, orang akan melihat betapa banyak dan beratnya penderitaan yang mereka alami. Isteri para pejuang revolusi tentu juga menanggung beratnya derita perjuangan, contoh-contohnyapun ada, namun contoh yang lebih kongkret untuk beratnya perjuangan itu terlihat di era Perang Pertahanan Suci. Kaum perempuan itu telah mengirim anak-anak mereka ke medan laga. Banyak diantara anak-anak itu gugur syahid atau menjadi veteran cacat perang. Ini adalah suri tauladan tentang kesabaran dan ketahanan yang berdiri kokoh laksana gunung. Dan ini semua berkenaan dengan ranah spiritual dan insaniah.
Adapun di sektor politik dan ranah intelektual, alhamdulillah negara kita juga melaju pesat. Para wanita intelektual kita di berbagai disiplin ilmu, baik di hauzah maupun di universitas -Anda, para hadirin, adalah contohnya- adalah bukti keberhasilan revolusi Islam.
Saya optimis sekali menatap masa depan. Insya Allah, kita akan terus melesat ke depan. Kita pasti akan dapat mengatasi budaya Barat yang menyimpang tapi mewarnai dunia itu. Hanya saja, harus ada upaya keras dan berkesinambungan. Optimisme memang harus ada, tapi jangan sampai membuat kita lalai akan kekurangan-kekurangan kita. Kita memang sudah banyak meraih kemajuan. Namun, bukan tidak mungkin kita bisa lebih maju 10 kali lipat lagi tapi nyatanya kita tidak semaju itu karena berbagai kelemahan dan problema yang ada, sebagaimana yang Anda singgung tadi maupun berbagai problema lain yang memang harus diatasi.
Di bagian akhir saya ingin berpesan bahwa sebagian masalah perempuan harus diselesaikan oleh kaum perempuan sendiri. Andalah yang lebih berkompeten untuk memikirkannya, melakukan kajian dan mengatasi dilema yang ada di level konseptual untuk kemudian dibawa ke level aktual. Dalam pertemuan tadi sebagian pembicara sudah menyampaikan ide dan usulannya, sebagian memang praktis dam konkret sehingga bisa dilaksanakan, sementara sebagian lagi memerlukan persiapan.
Alhasil kita semua berharap, insya Allah masyarakat perempuan di negara kita dapat menjadi komunitas masyarakat yang paling sukses dan bisa melangkah maju ke depan supaya kita dapat kian mendekat ke arah terwujudnya cita-cita luhur Islam.
Wassalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Pidato Imam Ali Khamenei pada momentum hari Ibu (Milad Bunda Zahra Sa, 22/05/2011)