Oleh: Mohammad Ali Shomali
ICC Jakarta – Kita tak bisa maju dan berkembang jika hanya mencukupkan diri pada perbuatan ala-kadarnya sesuai kemauan kita. Dengan berlatih dalam pengendalian-diri, kita dapat mentransformasi jiwa dari keinginan dan hasrat rendah menjadi jiwa yang rindu beramal saleh. Seseorang yang melatih dirinya dalam pengendalian dan penyucian, maka jiwanya akan menjadi penolong dalam tiap langkah perjalanan spiritualnya. Tugas utama para nabi (as) dan terutama Rasulullah saw ialah menolong manusia menyucikan diri. Cara utama penyucian diri ialah membuang keterikatan atau kecintaan pada kehidupan material.
Penyucian merupakan sebuah gagasan umum di antara semua agama dan tradisi spiritual; bahwa manusia harus memiliki bentuk-bentuk kontrol diri. Meskipun manusia menikmati kehendak bebas, tapi sesungguhnya, ada kebutuhan yang lain; yakni mempergunakan kehendak bebas itu dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ketika masing-masing kita berhadap-hadapan dalam kehendak bebas itu, maka setiap orang tentu mengharapkan agar orang lain menghormati kepentingan dan kemuliaan kita. Dan kita seharusnya pula menghargai kemuliaan, kehormatan dan kepentingan-kepentingan orang lain. Selain itu, kita seharusnya juga melindungi kehormatan dan kepentingan-kepentingan jangka panjang.
Karenanya, kita tidak bisa begitu saja melakukan aktifitas sekehendak jiwa tanpa nalar sesuai dorongan-dorongan hasrat dan keinginan. Dan untuk itu, kita perlu memiliki kendali diri dan disiplin diri yang menuntun pada penyucian diri. Jika kita membersihkan jiwa dan hati, maka kita akan mampu menepis setiap godaan dalam jiwa. Kita akan menjadi orang yang memegang kendali atas keinginan, hawa nafsu yang buruk dan dorongan hasrat-hasrat rendah. Sebab, orang yang tersucikan tak akan berhasrat apapun kecuali terhadap kebaikan dan kesalehan terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Dalam uraian berikut, kita akan mempelajari sepintas tentang perlunya kendali-diri dan penyucian diri.
Kendali-diri
Keperluan pada pengendalian-diri antara lain diajarkan melalui al-Quran sebagai berikut: Dan adapun orang-orang yang takut kepada (kehadiran) kebesaran Tuhannya dan melarang jiwanya dari perbuatan dan pikiran tanpa alasan (hawa nafsu), maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).[1]
Hai Daud! …janganlah mengikuti hawa nafsu, karena mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.[2]
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.[3]
Di sini kita memperoleh dua bentuk nasihat. Pertama, mempelajari dan mengetahui kehendak Allah, takluk kepadaNya dan berusaha untuk mematuhiNya. Dan kedua, mencegah jiwa kita dari mengerjakan segala hal yang salah dan membahayakan. Nasihat-nasihat itu mungkin diwujudkan hanya apabila kita memiliki kendali diri. Dalam Nahj al-Balaghah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as memberikan penggambaran sangat indah dan inspiratif tentang hal ini. Kutipan ucapan Imam Ali itu seperti ini:
Di masa lalu, aku punya saudara seiman. Aku menghormatinya, dan dia memiliki status yang cukup terpandang di tengah masyarakat. Jika ada dua atau lebih pilihan baginya, ia akan melihat mana di antara pilihan tersebut yang lebih dekat dengan kepentingan sepihak sanak-saudara dan dorongan hawa nafsunya. Setelah ditentukan maka ia akan mengerjakan yang lain.[4]
Kita melihat bahwa kualitas keimanan yang utama ialah ketika seseorang menghindar dari kepentingan, kesenangan dan hasrat hawa nafsunya. Pilihan-pilihan seperti; pergi ke satu tempat atau ke tempat lain, hadir di pertemuan ini atau yang itu, atau terlibat dalam satu urusan atau yang lain, laksana suatu persimpangan jalan. Ketika berada di sebuah “persimpangan jalan” dan ingin memilih jalan mana yang hendak dilalui, maka ia akan melihat ke dalam jiwanya, berusaha menemukan rangkaian tindakan mana yang lebih disukai dirinya sendiri, atau mana yang lebih untuk kepentingan pribadi, dan yang serupa itu. Setelah itu, ia memilih yang lain. Sebagai contoh, seseorang mungkin menghadapi pilihan, apakah mau menonton televisi atau mengerjakan hal lain yang itu bisa/untuk menolong orang lain. Jiwa yang tidak terlatih akan mendorong untuk menonton televisi, dan mengatakan bahwa menolong orang lain itu hanya membuang waktu. Padahal, sebenarnya, yang lebih baik adalah menggunakan kesempatan tersebut untuk menolong orang lain.
Tentu saja, kita tidak akan selalu bisa memperoleh rangkai tindakan yang selalu tepat dan baik hanya dengan mengikuti anjuran dan ajakan dalam tulisan ini. Tapi yang penting adalah, bagaimana kita belajar untuk mengidentifikasi hasrat pribadi dan dorongan hawa nafsu yang ingin kita lakukan. Dan yang luar biasa ialah pernyataan al-Quran, bahwa Allah Swt mengilhamkan jalan kefasikan (fujur) dan ketakwaan (taqwa) kepada manusia. Allah telah memberikan kemampuan kepada kita untuk membedakan; egoisme dan ketamakan yang kita inginkan dengan sesuatu yang menjadi kepentingan dan keperluan diri “yang sebenarnya”.
Selain itu, ada semacam sistem atau pola unik dalam diri manusia sebagai makhluk sosial. Yakni, ketika seseorang bekerja untuk kepentingan diri “yang sebenarnya”, maka ia juga menjamin kepentingan orang lain. Allah Swt telah menciptakan kita dalam suatu cara yang saling bertautan satu sama lain. Ketika kita melayani diri secara benar (“ilham ketakwaan”), maka sesungguhnya kita (juga) melayani seluruh manusia. Tetapi kalau kita “cerdik” hanya untuk melayani keperluan (hawa nafsu) kita sendiri maka kita tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga yang lain. Ada banyak cara yang bisa merusak diri sendiri dan orang lain. Yakni cara-cara yang semakin menjauhkan seseorang dari kebutuhan insaniahnya sendiri, dan melayani orang lain.
Ada juga metode lain yang bisa kita pergunakan ketika hendak mengambil keputusan atas dua atau tiga pilihan yang dipertimbangkan. Kita dapat membayangkan seorang yang sangat saleh, yang tingkah-lakunya kita percayai, berada di dekat kita. Kemudian cobalah untuk memutuskan apa yang akan dilakukan orang saleh itu jika dia berada pada posisi kita. Apabila kita punya informasi tentang cara yang mungkin dilakukan orang tersebut dalam membuat keputusan, dan tentang tujuan dan kehendak baiknya, maka ––sambil menjaga orang tersebut di dalam pikiran–– kita akan bisa memahami apa yang harus dilakukan. Contoh yang lain, kita bisa membayangkan seorang ulama saleh atau saudara yang saleh, tidak perlu seorang suci atau maksum, di dekat kita. Kita kemudian berpikir tentang apa yang mereka akan lakukan. Hal ini biasanya akan memberi sesuatu yang mencerahkan, dan dengan itu kita tak ragu lagi dalam mengambil keputusan.
Hal-hal itulah yang merupakan fakta dasar bahwa kita harus memiliki kendali-diri. Jika kita percaya dan bersikap bahwa kita boleh melakukan apa saja (dan begitu saja) sesuai keinginan dengan memuaskan dan menyenangkan diri, tanpa ada sesuatu yang lain tentang arah dan arahan spiritual maka kita sedang terjerembab dalam lubang dan lorong yang gelap.
Tentu saja, Islam mengajarkan bahwa kendali-diri itu merupakan sebuah awal; yang sangat diperlukan bagi mereka yang hendak memulai “perjalanan”. Apa yang kita perlu lakukan di awal ini ialah mentransformasikan jiwa dari satu keadaan yang memiliki ketertarikan pada hasrat-hasrat rendah ke keadaan jiwa yang memiliki kerinduan untuk hal-hal baik dan saleh. Kemudian kita menuntaskan kerinduan itu dengan melaksanakan kesalehan tersebut. Selanjutnya, jiwa kita akan menjadi penolong dan sebagai pembantu bagi kita pada fase-fase “perjalanan” berikutnya. Tapi sekali lagi perlu diingat bahwa ini adalah suatu permasalahan berkenaan dengan latihan dan pembersihan jiwa.
Ada sebuah cerita indah yang menarik dalam Matsnawi, buah karya tersohor Jalaluddin Rumi, yang menunjukkan bagaimana hati dapat ditansformasikan. Hati bisa berubah menuju ke jalan yang baik atau jalan buruk. Rumi mengisahkan tentang sebuah pasar minyak wangi. Di sana, setiap toko yang ada, menjual aneka-rupa parfum kelas tinggi. Karena itulah, siapa saja yang masuk ke pasar itu akan mencium aroma wewangian yang memikat.
Waktu berjalan, dan setiap orang menikmati suasana wewangian, terutama para penjual parfum itu sendiri, yang tentu saja menjadi orang paling peka dalam penciuman, berkenaan dengan setiap jenis parfum. Tetapi “orang luar” boleh jadi malah akan bingung setelah mencium wangi-wangian yang beraneka ragam itu.
Suatu hari, seorang dengan menunggang kuda masuk ke pasar itu. Kuda berjalan menelusuri lorong-lorong pasar; sesekali berhenti sambil membuang kotoran. Orang-orang jadi sangat marah, tak bisa menoleransi bau tak sedap dari kotoran itu, tetapi tak ada yang punya kekuatan untuk mengambil kotoran itu dan membuangnya ke luar pasar. Jadilah itu sebagai siksaan bagi mereka.
Kemudian, seseorang menyarankan agar mereka membayar orang lain yang biasa bekerja di kandang kuda untuk membersihkan kotoran itu. Beberapa orang mencari dan kemudian bertemu dengan seorang muda yang menerima tawaran itu. Si pemuda mengatakan, tentu saja dia sanggup mengerjakan karena itu memang pekerjaan sehari-harinya. Tetapi ketika ia memasuki pasar, bahkan sebelum mencapai tempat kotoran kuda itu, segera ia mencium harum wangi-wangi parfum yang malah membuatnya pusing dan jatuh pingsan. Selama ini, ia hanya terbiasa dengan bau-bau kotoran kuda, sehingga sensitifitas penciumannya tak sanggup menoleransi wangi-wangian parfum itu.
Dalam cara lain, misalnya, terkadang kita menemukan orang-orang yang melaksanakan shalat dengan begitu asyik menikmatinya, tak bisa ada orang lain boleh mengganggu “cengkrama” pribadinya bersama Tuhan. Tetapi, kita juga pernah bertemu dengan orang yang justru marah-marah ketika melihat kita shalat, seolah mereka terluka. Saat melihat kita ke masjid, mereka merasa risau dan gerah dengan itu. Sebuah hadis mengatakan bahwa seorang mukmin di masjid adalah seperti seekor ikan di air; tetapi seorang munafik di dalam masjid, dia merasa seperti di penjara dan selalu ingin melarakan diri. Dengan demikian, ada perbedaan keadaan jiwa yang akan diraih melalui latihan-diri dan penyucian diri.
Penyucian-Diri
Dalam al-Quran, Allah Swt menekankan pentingnya penyucian dan kebersihan jiwa manusia dengan firman berikut: “(Aku bersumpah) demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”[5]
Setelah bersumpah sebelas kali, setelah memberikan penekanan dan perhatian cukup banyak, Allah Swt mengumumkan bahwa orang yang menyucikan jiwanya akan berhasil dan beruntung, dan siapa saja yang mengotori dan menyelewengkan jiwanya akan gagal dan merugi. Pada Hari Pengadilan akan ada dua kelompok orang: (yakni) mereka yang makmur dan berbahagia karena telah menyucikan jiwa, dan orang-orang yang berada dalam posisi dan kondisi rugi karena telah serampangan dan lalai terhadap jiwanya.
Dengan demikian, penyucian jiwa merupakan syarat mutlak bagi kedekatan dengan Allah Swt. Sungguh, keseluruhan poin dari moralitas dan spiritualitas adalah untuk menyucikan jiwa seseorang. Dengan menapak kesucian, jiwa mulai ikut bersinar, karena menerima dan merefleksikan pancaran cahaya suci Ilahi. Sesungguhnya, kita mudah mengerti rumus ini: Jika kita ingin dekat dengan Tuhan Yang Mahasuci, maka kita pun harus meraih kesucian. Adalah mustahil, jika diri dan jiwa kita kotor lantas mau mencoba berjalan mendekati Tuhan. Jika kita ingin pergi ke tempat di mana berkumpul orang-orang terkemuka, berpakaian bagus dan rapi, bukankah kita merasakan perlu untuk mendandani diri dengan pakaian bersih dan rapi pula? Kita merasa, sudah selayaknya untuk mengenakan pakaian yang bersih dan rapi juga, yakni berusaha membuat diri secocok mungkin dengan mereka. Kalau tidak, maka mereka akan mengatakan bahwa kita mengotori pertemuan dan merusak reputasi mereka.
Satu di antara tugas utama para nabi (salam atas mereka) dan tujuan utama dibalik semua usaha keras mereka mengajarkan pesan Ilahi adalah menolong manusia agar menyucikan jiwa-jiwa mereka. Al-Quran-al-Karim melihat misi utama Nabi Muhammad saw dengan pernyataan: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.”[6]
Sesungguhnya Allah Swt memberikan pertolongan besar atas orang-orang beriman ketika mengutus ke tengah masyarakat dunia seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.[7]
Allah Swt juga menegaskan dalam firmanNya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari antara kamu sendiri yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.[8]
Jelaslah kita melihat, satu dari tugas-tugas Rasulullah saw ––selain membacakan dan mengajarkan al-Quran dan Hikmah–– ialah menolong kita untuk menyucikan jiwa. Untuk ini, kita juga melihat bahwa penunjukan Nabi Muhammad saw dalam tugas-tugas tersebut sebagai sebuah jawaban Ilahi atas doa Nabi Ibrahim as dan Ismail as setelah membangun pondasi-pondasi Baitullah (Ka‘bah):
Mereka yang hanif itu berdoa: “Ya Tuhan kami! terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui;… Ya Tuhan kami! Dan utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al Qur’an) dan Hikmah, dan menyucikan mereka; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[9]
Renungkanlah! Begitu bijak Nabi Ibrahim as! Betapa indah doa yang beliau panjatkan! Di tiga tempat dalam al-Quran, Allah Swt menyatakan bahwa Dia telah mengutus Nabi Muhammad saw untuk mengerjakan hal sama seperti yang dikehendaki Nabi Ibrahim as dan Ismail as; (yakni) membacakan ayat-ayat yang diwahyukan bagi manusia, mengajarkan Kitab Ilahi dan Hikmah, dan menyucikan jiwa mereka. Tentu saja, Allah Sendiri-lah yang menginspirasikan kepada mereka untuk memohon seperti itu. Allah Swt begitu kasih; Dia mengajak kita untuk meminta padaNya, kemudian menginspirasikan apa yang musti kita ajukan (dalam permintaan itu) dan kemudian Dia menjawab panggilan dan doa kita. Subhanallah!
Sekali lagi dapat ditekankan, bahwa penyucian jiwa manusia adalah sebuah tugas penting Rasulullah saw dan, semua nabi (as) pun demikian. Ayat-ayat tersebut dengan jelas menunjukkan signifikansi yang besar dari tugas penyucian jiwa. Perlu diperhatikan pula bahwa dalam doa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, permintaan untuk mengajarkan Kitab dan Hikmah disebutkan sebelum permintaan penyucian. Tetapi di tiga tempat yang Allah gambarkan sebagai misi Nabi Muhammad saw itu, penyucian disebutkan mendahului perintah pengajaran Kitab dan Hikmah. Ini mengindikasikan tentang prioritas dan urgensi yang tinggi akan penyucian. Hal ini juga bisa disebut sebagai syarat utama, bahwa untuk mempelajari Kitab dan Hikmah ialah berada dalam kesucian.
Sementara itu, kita mendapatkan penjelasan akurat tentang beberapa sumber dan penyebab kekotoran jiwa. Di antara yang utama dari penyebab itu ialah cinta pada kehidupan material dan keterikatan berlebihan terhadap urusan duniawi, sehingga Rasulullah saw mengatakan: Mengikatkan diri (mencintai) dunia adalah sumber dari setiap kesalahan. Berhati-hatilah, sebab orang yang mengikatkan diri pada dunia ini telah mencintai apa yang tidak disukai Allah. Adakah kesalahan dan kejahatan lebih besar dari pada ini?[10]
Alam materi (dunya) merupakan sesuatu yang nilai penting dan berharga-nya paling sedikit dalam pandangan Allah Swt. Melekatkan diri atau mencintai dunia dan membuatnya sebagai tujuan akhir dalam kehidupan adalah kekeliruan dan kekotoran yang dalam. Karena itu, Islam memberikan cara pengobatan efektif untuk mengatasi penyakit cinta dunia ini, salah satunya dengan mengeluarkan zakat. Dalam duapuluh ayat al-Quran, perintah mengeluarkan zakat disebutkan tepat setelah mendirikan shalat. Seperti dalam ayat berikut: Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.[11]
Kata zakat adalah turunan dari akar kata yang sama dengan tazkiyah (penyucian), seperti: zakawa yang bermakna pertumbuhan dan kemurnian atau kesucian. Dinyatakan ––dalam Lisan al-‘Arab, Jilid 14; hal. 358–– bahwa alasan perintah “zakat” berasal dari kenyataan akan fungsi zakat sebagai sarana menyucikan uang dan harta. Juga tidak keliru jika dikatakan bahwa membayar zakat menyebabkan pertumbuhan dan barakah dalam harta dan kekayaan seseorang. Dalam konteks yang lebih mendalam, alasan utama perintah “ber-zakat” ialah karena amal tersebut menolong dalam menyucikan jiwa, dengan membuang kecintaan terhadap dunia. Itulah mengapa Allah Swt mengatakan kepada Nabi Muhammad saw: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[12]
Dalam ayat tersebut, sebagai ganti dari kata zakat, digunakan kata sadaqah. Tapi bagaimanapun juga, terdapat poin yang sama di sana, bahwa; memberikan uang karena Allah Swt dapat menolong dalam menyucikan diri si pemberi.[13] Dan di tempat yang lain al-Quran menjelaskan: “Dia yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya, dan tanpa mengharapkan balasan apapun dari seseorang, kecuali hanya untuk mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan, sesungguhnya, ia segera akan mendapatkan kepuasan.”[14]
Dengan demikian, ketika seseorang mengeluarkan sejumlah uang karena Allah Swt kepada fakir-miskin, atau untuk membangun fasilitas yang bermanfaat seperti masjid, pesantren, sekolah, dan rumah sakit, dan lain-lain, maka baik pemberi dan yang diberi pasti memperoleh manfaat. Tetapi, manfaat utamanya sangat terasa bagi si pemberi, yang telah memberikan sejumlah uang atau harta. Dengan harta, yang merupakan benda yang paling sedikit nilai wujudnya dalam pandangan Allah, ternyata seseorang bisa memperoleh ganti berupa kesucian dan keridhaan Allah Swt.
Dalam al-Quran dinyatakan: “…Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).”[15]
Kesimpulan
Ini merupakan sebuah fakta fundamental bahwa setiap individu harus berusaha memiliki kendali-diri. Artinya, tidak akan ada raihan-raihan ruhaniah tanpa disiplin-diri. Kita tidak dapat mengembangkan diri kita dengan perbuatan ala-kadarnya dan mengikuti kehendak serta memuaskan dan menyenangkan kecenderungan nafsu. Islam memberitahukan bahwa kendali-diri adalah (hanya sebagai) permulaan. Apa yang kita perlu lakukan ialah mentransformasikan jiwa, dari suatu yang cenderung kepada hasrat-hasrat rendah menjadi sebuah jiwa yang memiliki kerinduan terhadap hal-hal yang baik dan kesalehan.
Melalui latihan dan penyucian jiwa maka kita akan memiliki jiwa yang kokoh, yang selanjutnya bisa menjadi penolong diri kita mengarungi perjalanan hidup. Tugas utama para nabi (as) terutama Nabi Muhammad saw adalah menolong manusia untuk menyucikan mereka. Alasan bagi penekanan yang begitu besar terhadap (keharusan) penyucian-diri ialah kenyataan bahwa Allah Swt adalah Mahasuci dan Mahasempurna. Yakni, hanya melalui penyucian diri sajalah, kita dapat meraih ambisi untuk bisa mendekat kepadaNya. Salah satu jalan utama dari penyucian diri itu ialah dengan (cara) membuang ikatan atau kecintaan pada kehidupan material, di mana syariat Islam juga memerintahkan agar setiap muslim membelanjakan uang yang dimiliki karena Allah Swt.[]
[1] Diterjemahkan dari “Message of Thaqalayn” Volume 10, Number 1, Spring 1430/2009; oleh Muhammad Iqbal A.
[1] Hujjatu’l-Islam Dr. Shomali adalah Kepala pada Bidang Keagamaan, Institut Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini, Qum. Ia juga Dekan pada Studi-studi Doktoral untuk Pelajar-pelajar Internasional di Jami‘at al-Zahra, the Islamic University for Women, di Qum.
[1] QS. al-Nazi’at [79]:40 & 41.
[2] QS. Shad [38]:26.
[3] QS. an-Nisa [4]:135.
[4] Hikmah No. 289.
[5] QS. asy-Syams [91]:1-10.
[6] QS. al-Jumu’ah [62]:2.
[7] QS. Ali Imran [3]:164.
[8] QS. Al-Baqarah [2]:151.
[9] QS. al-Baqarah [2]:127-129.
[10] Bihar al-Anwar, Jilid 67; hal. 309.
[11] QS. al-Bayyinah [98]:5.
[12] QS. a-Taubah [9]:103.
[13] Mengingat penekanan al-Quran yang begitu besar terhadap pengeluaran zakat, ini menunjukkan bahwa bukanlah sekadar suatu poin bahasa atau kebetulan apabila membayar zakat menjadi sebuah kewajiban agama dan sekaligus sarana penyucian jiwa (tazkiyah), yang berhubungan dekat satu sama lain, dan merupakan salah satu tugas utama dari Nabi saw.
[14] QS. al-Lail [92]:18-21.
[15] QS. Fathir [35]:18.