Entah sejak bila tidak diketahui persis, kapan beberapa aktivis perdamaian dan HAM serta peneliti sejarah di Indonesia mulai akrab—dan kemudian “berani”— menyebut keberadaan negara Israel, si pemilik ideologi Zionisme, sebagai “Racun peradaban”. Barangkali sejak Buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif) merilis ungkapan itu dalam buku berjudul Gilad Atzmon: Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionis (Feb, 2012). Sebuah sebutan yang tampak sengaja diletakkan di paragraf akhir karya “kecil” Buya Syafii itu, menurut saya, menjadi kata kunci sekaligus kesimpulan dari apa yang hendak disampaikannya kepada audiens.
Atau jauh sebelum itu. Ketika Bung Karno, salah seorang the founding fathers Negara Indonesia, jelas-jelas menyebut Israel sebagai penjajah. Dalam timbul tenggelamnya isu kemerdekaan Palestina di ranah publik, ucapan masyhur Sang Proklamator kerap muncul ulang; “Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Bagi bangsa Indonesia, sikap terhadap penjajahan sudah jelas-gamblang; “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” (alinea pertama UUD 1945). Maka, tindakan Israel yang menjajah, yang terbukti menjarah tanah penduduk Palestina dan tidak membiarkan rakyat Palestina merdeka—mengurus bangsa dan negaranya sendiri; seperti dengan Pemilu atau referendum—mesti dihapuskan. Bukti-bukti bahwa Indonesia tidak mau berteman dengan negara atau kelompok penjajah sudah cukup, yakni jika kita membuka lembar sejarah sejak masa pemerintahan Bung Karno. Begitu pula setelah beralih ke era-era berikutnya, konsistensi negara Republik Indonesia dalam membela rakyat Palestina masih tak berubah. Salah satu kalimat yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI beberapa waktu lalu meneguhkan hal itu, dengan menyatakan, “Posisi konsisten Indonesia terhadap Palestina bahwa Indonesia akan terus bersama rakyat Palestina memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.” Artinya, sampai sekarang pun bangsa Indonesia mengakui terjadinya penjajahan Israel terhadap Palestina dan menyokong perjuangan rakyat Palestina demi kemerdekaan dan keadilan.
Dari kawasan Timur-Tengah sendiri juga terpublikasi perkataan senada, seperti yang disampaikan oleh pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Sayid Ali Khamenei, bahwa [negara] Israel seperti tumor ganas dalam tubuh hubungan antarbangsa di dunia saat ini yang harus diangkat (dilenyapkan). Persoalannya, bagaimana berjuang bersama rakyat Palestina itu.
Bagi negara-negara muslim, ada tiga arus utama yang mengalir dalam hubungan mondial terkait Palestina. Pertama, membiarkan saja apa yang terjadi di sana dan sibuk dengan urusan dalam negeri dan kepentingan pemerintahannya sendiri. Karena itu mereka merasa bebas melakukan normalisasi hubungan diplomatik dan lainnya dengan Israel. Sebut saja Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan dan Maroko. Sebelum mereka, telah terjalin hubungan “mesra” antara Saudi Arabia dengan Israel. Yang kedua, memberi perhatian dengan berbagai cara dalam membantu dan mendukung upaya rakyat Palestina, tetapi juga tidak mau “merusak hubungan” dengan negara-negara sahabat dan pendukung utama Israel. Sebagian besar dari negera-negara ini mendukung penyelesaian solusi dua negara. Di antara mereka ada negara Republik Indonesia. Dengan kebijakan politik bebas-aktifnya, memungkinkan bagi Indonesia untuk bersikap demikian.
Yang ketiga, gerakan muqawwama (perlawanan penuh). Mereka memberikan dukungan penuh terhadap palestina, diplomatik, persenjataan, sandang-pangan, obat-obatan dan lain-lain. Mereka tidak peduli ketika menjadi sasaran ancaman atau “perang lain” dengan ditekan oleh para pendukung Israel yang notabene adalah negara-negara “kuat”. Di antara mereka ada negara Republik Islam Iran, negara yang terus menerus dikesankan jelek dan jahat oleh media massa Barat.
Tampaknya, kita negara Indonesia mengalami dilema antara menuntaskan amanat penghapusan penjajahan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan tuntutan “kepentingan nasional”. Indonesia tidak pernah menolak berhubungan dengan siapa pun, karena dasar dari hubungan-manusia adalah kebaikan. Tapi sikap atas hubungan tersebut bisa berkawan atau bermusuhan. Jika saling menguntungkan, yakni saling menebar Rahmat Tuhan maka berkawan. Namun kalau sebaliknya, menebar kerusakan, maka hubungannya adalah sebagai musuh. Sederhana tetapi jelas sikap [ideal dan filosofis] NKRI.
Urusan kepentingan nasional biasanya memang tidak sederhana, mengingat terkait dengan hubungan bilateral dan multilateral yang menyangkut urusan keseharian dan ketenteraman rakyat Indonesia sendiri. Dalam bahasa lain, tekanan atau—boleh dikata—tindasan Barat, terutama Amerika Serikat, terhadap negara dan bangsa Indonesia terkait masalah Palestina sebenarnya cukup terasa. Cuma saja, kerap kali kita belum bisa secara terbuka mengungkapkannya. Karenanya, menurut beberapa beberapa pengamat, tinggal keberanian kita dalam memilih langkah perjuangan keadilan dan kemerdekaan yang dimaksudkan itu.
Selama ini Indonesia memilih penyelesaian “solusi dua negara” atas masalah Palestina. Solusi dua negara merupakan salah satu opsi solusi konflik Israel–Palestina yang menyerukan untuk dibuatnya “dua negara untuk dua warga” yang hidup berdampingan. Tapi faktanya, perbatasan antarnegara masih terus dipersengketakan. Dan sejak mendeklarasikan kemerdekaannya, Israel terus memperluas wilayah pemukimannya hingga kini di wilayah Palestina itu. Memperluas wilayah pemukiman inilah fakta konkret dari pencaplokan dan penjajahan yang dilakukan.
Di sinilah muncul pertanyaan atas keseriusan Israel dengan solusi dua negara tersebut? Jika melihat sejarah dari kerangka solusi yang tertulis dalam resolusi PBB mengenai “penyelesaian damai”, ternyata Israel dengan dukungan sekutunya, seperti USA dan Inggris, tidak memedulikan siapa pun, bahkan PBB. Sementara beberapa pihak yang mengklaim mewakili Palestina dan diakui oleh lembaga dunia itu tidak berkeberatan. Sudah banyak upaya diplomatik yang dilakukan untuk mewujudkan solusi dua negara, di antaranya Konferensi Madrid tahun 1991, kemudian Perjanjian Oslo 1993 dan Pertemuan Camp David 2000, yang gagal, dan dilanjutkan dengan Pertemuan Taba di awal 2001. Pada 2002, Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab. Prakarsa perdamaian terbaru adalah Pembahasan Perdamaian (2013-2014) yang juga gagal.
Karena itu, tampaknya Israel lebih sebenarnya memilih solusi satu negara, yakni Negara Israel saja. Jika demikian yang sebenarnya, maka tak berlebihan jika sebagian orang menyebut bahwa sebab konflik di Palestina semata merupakan hakikat petualangan Zionisme—ideologi politik khas Yahudi/Israel yang, faktanya, telah secara terbuka menampakkan arogansi diskriminatif dan kecongkakan perilaku dengan menjadi rezim yang mencaplok negeri Palestina secara zalim. Namun benarkah penyimpulan bahwa Zionisme dan gerakan yang lahir dari ideologi politik rasis tersebut juga dimengerti senafas oleh umumnya masyarakat dunia, terutama kalangan muslimin? Tampaknya belum, bahkan sebagian masyarakat muslim, terutama kalangan elite politik dan pemegang kekuasaan negara-negara muslim, memiliki beda pendapat dan simpulan. Sebut saja munculnya gairah untuk normalisasi-hubungan dengan Israel.
Beruntungnya, ada pihak yang berdiri berseberangan secara tegas, yang telah disebut di atas sebagai arus ketiga. Mereka menyebut sebagai kelompok muqawwamah, sebuah gerakan perlawanan yang menolak eksistensi Israel sebagai negara di Palestina. Kelompok ini jelas-jelas menginginkan lenyapnya setiap racun dari peradaban kemanusiaan—yang kini secara faktual diperankan oleh negara zionis Israel. [Mas Abbas, peringkas warta]