ICC Jakarta – Tanggal 8 Syawal adalah hari peringatan dihancurkannya makam para Imam maksumin as di Baqi dan juga makam para sahabat Nabi saw di pemakaman Baqi di Kota Madinah. Kurang lebih 100 tahun yang lalu, pada 8 Syawal kelompok ekstrem Wahabi menyerang pemakaman Baqi kemudian mereka menghancurkan bangunan-bangunan yang menaungi makam-makam suci para Imam Baqi yaitu Imam Hasan Mujtaba, Imam Zainal Abidin, Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Shadiq, serta makam para sahabat Nabi dan para ulama besar Islam di pemakaman Baqi di Kota Madinah.
Berkenaan dengan masalah ini saya akan mengkhususkan untuk membahas mengenai diperbolehkannya membangun bangunan di atas kuburan dan diperbolehkannya orang berziarah ke makam. Ada dua hal menjadi pembuka dari pembahasan ini. Yang pertama, mengenai akidah dan kepercayaan bahwa pemikiran-pemikiran teologis yang dimiliki oleh kelompok Wahabi adalah pemikiran-pemikiran teologis yang didapatkan dari pemikiran Ibnu Taimiyah. Kelompok Wahabi cenderung bertolak belakang dengan pendapat mayoritas kaum muslimin dan dalam masalah beribadatan dan masalah-masalah sosial.
Salah satu masalah yang diperselisihkan antara kaum Wahabi dengan muslimin yang lain, baik dari mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki maupun Ja’fari adalah pembahasan mengenai apakah boleh membangun bangunan di atas kuburan para ulama dan para aulia ataukah tidak. Kaum Wahabi meyakini bahwasanya membangun bangunan di atas kuburan di atas makam para ulama, para aulia, salihin adalah suatu hal yang haram, bid’ah dan syirik. Pandangan ini adalah pandangan yang keliru yang bertolak belakang dengan pandangan umumnya kaum muslimin. Kaum muslimin dari semua mazhabnya menyatakan bahwasanya tidak diharamkan membangun bangunan di atas makam. Bahkan, kalau membangun bangunan di atas makam, menurut mereka, jika makamnya adalah makam para ulama dan aulia, maka ini adalah salah satu bentuk pengagungan syiar-syiar Allah dan pengagungan terhadap para ulama tersebut.
Zaman ini adalah zaman ketika logika yang berbicara. Karena itu, dalam membicarakan masalah ini teori logika harus dikedepankan sehingga generasi generasi muda dan generasi-generasi mendatang bisa memanfaatkannya dengan baik. Dengan demikian, pintu untuk melakukan dialog dengan lebih dalam suasana yang lebih kondusif akan tercipta. Kita tahu bahwasanya salah satu pusat seni bagi kita yang bisa mengundang kekuatan kita dan kekuatan spiritualitas kita adalah tempat-tempat ziarah. Karena itu, menghormati dan mengagungkan tempat-tempat ziarah itu juga merupakan hal-hal yang sangat dianjurkan.
Hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah kalau kita ingin tahu sesuatu itu halal ataukah haram, yang harus kita lakukan adalah merujuk kepada ilmu fikih. Dalam ilmu fikih ada satu asas, jika tidak ada sesuatu yang mengharamkan, maka asasnya adalah segala sesuatu itu hukumnya halal, diperbolehkan. Kecuali jika ada dalil yang mengatakan bahwasanya hal tersebut adalah haram atau hal tersebut adalah wajib, maka di situ sudah tidak lagi dikatakan mubah ataukah halal.
Fikih Islam memberikan kebebasan yang maksimal kepada setiap manusia dan memberikan penghormatan kepada kebebasan manusia. Fikih Islam tidak pernah melarang dan membatasi kebebasan kecuali jika ada dalilnya. Masalah membangun bangunan di atas makam para aulia, para wali dan para salihin tidak keluar dari kaidah ini. Artinya, diperbolehkan orang membangun bangunan di atas makam para ulama dan para aulia kecuali jika ada dalil yang jelas mengharamkannya. Untuk mengetahui haram ataukah tidak, apakah ada dalil yang mengharamkan membangun bangunan di atas kuburan para ulama dan para aulia, kita bisa merujuk kepada empat dalil yang diakui sebagai dalil-dalil agama. Pertama, Alquran; kedua, Sunah atau Hadis; ketiga, akal; dan keempat, ijmak. Jika ada ayat-ayat Alquran atau Hadis yang mengharamkan, kita akan mengatakan haram. Tetapi jika tidak, kita akan kembali kepada asas yang tadi sudah disebutkan yaitu asas ibadah yakni asas diperbolehkan, artinya diperbolehkan membangun bangunan di atas makam.
Berdasarkan asas yang tadi sudah disebutkan kita tidak perlu mencari dalil diperbolehkannya membangun bangunan.Yang kita cari adalah apakah ada dalil yang mengharamkan, jika tidak ada dalil yang mengharamkannya berarti kembali pada asasnya yaitu diperbolehkan.Kita meyakini bahwa tidak ada satupun dalil yang menunjukkan membangun bangunan di atas makam itu hukumnya haram. Karena itu, kita kembali kepada asasnya yaitu diperbolehkan membangun bangunan di atas kubur. Bahkan lebih dari itu kita punya dalil, baik dari Alquran maupun dari hadis dan dari akal yang menunjukkan bahwasanya membangun bangunan di atas kuburan para ulama, para aulia bukan saja diperbolehkan tetapi bahkan dianjurkan.
Sumber utama dalam agama kita adalah Alquran. Mari kita lihat apa yang disebutkan dalam Alquran mengenai pembangunan bangunan di atas kubur aulia. Setidaknya ada dua ayat Alquran yang menyebutkan diperbolehkannya membangun bangunan di atas kubur para aulia. Ayat yang pertama adalah ayat 21 surah Al-Kahfi (18).
Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata, “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.”
Dalam ayat ini Allah Swt berfirman ketika mereka berseteru memperselisihkan di antara mereka tentang perkara orang-orang Ashabul Kahfi, lalu mereka mengatakan, “Bangunlah bangunan di atas mereka. Tuhan mereka lebih tahu tentang mereka, lalu mereka yang unggul di atas yang lain mengatakan, “Kami akan membuat masjid di atas tempat kubur mereka.”
Kisahnya tentang kelompok Ashabul Kahfi yang kita tahu ceritanya bahwa mereka tidur di suatu gua selama 300 tahun lebih. Setelah mereka tidur selama 300 tahun dan Allah menakdirkan mereka untuk bangun kembali, satu di antara mereka pergi ke kota dengan membawa uang yang mereka miliki untuk membeli keperluan. Sesampainya di kota ternyata dia menyaksikan adanya perubahan yang sangat drastis antara sebelum dia tidur di gua dengan apa yang dialami saat itu. Kemudian masyarakat yang menyaksikan orang dengan pakaian dan cara gerak-gerik yang berbeda dengan orang di zaman yang baru terheran-heran. Mereka sudah mengetahui adanya sekelompok orang yang tinggal di gua dan tertidur selama sekian abad di dalam gua. Kemudian mereka mengikuti orang tersebut sehingga dia sampai ke gua tempat teman-temannya berada.
Ketika dia kembali lagi ke gua dan masyarakat juga mengikutinya Allah Swt dengan kehendak-Nya menutup kembali pintu gua tersebut. Saat itu masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, sekelompok orang yang tidak beriman ingin membuat simbol-simbol untuk memuliakan orang-orang Ashabul Kahfi tersebut dengan simbol-simbol seperti patung yang akan dibangun di tempat pintu gua tersebut. Sementara kelompok kedua, yaitu kelompok yang beriman, mengatakan, “Kita akan membangun masjid di tempat ini supaya orang yang datang kemari beribadah kepada Allah dan mengagungkan Allah di sisi para aulia yang telah meninggal dan tidur selama 300 tahun di gua ini.”
Kisah ini kemudian diabadikan oleh Allah Swt dalam Alquran. Allah dalam firman-Nya mengatakan: Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata, “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.”
Di sini Allah Swt merekam kata-kata itu dengan mengatakan bahwasanya di tempat Ashabul Kahfi itu yang kemudian dimatikan oleh Allah Swt, mereka akan membangun masjid. Alquran al-Karim punya satu metode ketika menceritakan sesuatu lalu menolak sesuatu itu. Alquran akan langsung mengatakan bahwa ini adalah hal yang tidak benar, tetapi jika Allah Swt menceritakan tentang sesuatu dan tidak menolaknya, tidak menentangnya, dan tidak menyerahkannya berarti hal tersebut adalah sesuatu yang diperbolehkan. Dalam kisah Ashabul Kahfi ini Allah merekam perkataan orang-orang tersebut yang mengatakan akan membangun masjid di tempat orang-orang Ashabul Kahfi itu meninggal dan dimakamkan, tapi Allah Swt tidak menyalahkan pendapat akan membangun masjid itu.
Berkenaan dengan ayat ini Thabari, salah seorang penafsir Ahlusunnah, mengomentari bahwasanya muncul dua kelompok masyarakat zaman itu yang menyaksikan datangnya seorang dari Ashabul Kahfi ke kota. Pertama, sekelompok orang musyrik yang mengatakan, “Kami akan membangun patung-patung untuk mengenang Ashabul Kahfi, karena mereka adalah keturunan dari nenek moyang kita.” Sedangkan, orang-orang mukmin yang bertauhid kepada Allah mengatakan, “Kami akan membangun masjid.”
Dalam tafsirnya yang mengomentari ayat ini, Zamakhsyari mengatakan bahwa mereka berkata akan membangun masjid di pintu gua tempat Ashabul Kahfi dimakamkan supaya menjadi tempat bagi orang-orang yang datang dan berziarah lalu beribadah kepada Allah sehingga mereka bisa bertabaruk dengan Ashabul Kahfi.
Ayat kedua adalah ayat 36 surah Nur. Allah Swt berfirman: Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
Awal ayat ini mengatakan, Fî buyûtin adzinallahu ‘an turfa’, “di rumah-rumah yang Allah mengizinkan untuk ditinggikan.” Yang menjadi pembahasan apa yang dimaksudkan dengan “rumah yang ditinggikan itu”? Untuk mengetahui makna ini kita perlu tahu tentang apa yang dimaksudkan dengan rumah-rumah tersebut. Di dalam sebuah riwayat, sahabat bertanya kepada Rasulullah saw mengenai apa yang dimaksud dengan buyût atau rumah-rumah ini. Nabi saw menjawab yang dimaksud adalah rumah-rumah para nabi. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah saw, apakah rumah Ali dan rumah Fatimah termasuk daripada rumah-rumah tersebut?” Rasulullah saw menjawab, “Iya. Bahkan rumah Ali dan Fatimah adalah salah satu rumah yang paling mulia di antara rumah-rumah itu.”
Kedua, kata yang perlu kita pahami dari ayat itu adalah turfa’ yang berarti ditinggikan. Di sini para ulama berbeda pendapat, sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ditinggikan adalah ditinggikan secara maknawi. Artinya, kedudukan rumah-rumah para nabi dan rumah-rumah ini adalah kedudukan yang sangat tinggi, sementara ulama seperti Zamaksyari mengatakan yang dimaksud dengan turfa’ atau ditinggikan ini adalah ditinggikan secara fisik sebagaimana Allah Swt berfirman mengenai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika keduanya meninggikan fondasi-fondasi dari Baitullah al-Haram dan Ka’bah. Allah berfirman, Ingatlah ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan fondasi-fondasi Ka’bah, menggunakan kata yarfa’ yang berarti meninggikan. Artinya, di sini ada dua makna “meninggikan”. Yang pertama adalah makna meninggikan secara maknawiah. Jika itu kita ambil, maka “meninggikan” secara maknawiah pun tidak bertentangan dengan meninggikan secara fisik. Jika yang kita ambil adalah makna meninggikan secara fisik berarti ini ayat jelas sekali memperbolehkan meninggikan rumah-rumah termasuk di antaranya mendirikan bangunan di atas kubur-kubur para aulia.
Jika kita melihat sejarah akan kita dapati bahwasanya dalam sejarah juga menjadi tradisi umat manusia untuk membangun bangunan di atas makam dan kubur para aulia dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Di kota Al-Khalil atau Hebron di Palestina ada makam Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Yakub dan Nabi Yusuf. Makam-makam ini bukan sekadar makam tetapi juga ada kubah di atasnya, ada bangunan di atasnya. Dulu ketika Khalifah Kedua Umar bin Khaththab pada zaman kepemimpinannya dengan pasukan kaum muslimin, berhasil menundukkan Syam dan memasukkan Syam ke dalam wilayah kaum muslimin, wilayah Dunia Islam. Pada saat itu kaum muslimin dan pasukan Islam memasuki Palestina memasuki al-Khalil dan menyaksikan makam-makam dengan bangunan-bangunan tersebut.
Jika membangun bangunan di atas makam adalah suatu hal yang bid’ah dan syirik, orang yang paling berhak dan paling wajib untuk memerangi syirik dan bid’ah adalah Khalifah Umar. Tapi mengapa Khalifah ketika itu tidak menghancurkan makam-makam tersebut, tidak menghancurkan bangunan-bangunan dari makam Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Yakub dan Nabi Yusuf tersebut. Ini menunjukkan bahwasanya dalam pandangan kaum muslimin pada saat itu sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari Nabi bahwa membangun bangunan di atas makam bukan suatu hal yang haram dan syirik.
Jika itu berhubungan dengan sejarah sebelum Islam, sejarah setelah Islam pun menunjukkan bahwa para sahabat ataupun para ulama, tokoh-tokoh besar umat Islam yang wafat pada abad-abad pertama Islam, makam mereka juga memiliki bangunan di atasnya, ada kubah di atasnya. Bahkan kita lihat makam Rasulullah saw dengan dua sahabatnya di tempat yang kita ketahui di atasnya ada kubah. Setelah Rasulullah saw wafat dan dimakamkan di rumah beliau yaitu rumah tempat istri beliau, Ummul Mukminin Aisyah. Aisyah selalu berada di sisi makam Rasulullah saw dan beribadah di sisi makam Rasulullah saw sampai pada masa Khalifah Umar.
Khalifah kemudian membangun tembok yang memisahkan antara rumah Ummul Mukminin Aisyah dengan makam Rasulullah saw sehingga makam Rasulullah saw menjadi sebuah bangunan yang terpisah dari rumah kediaman istri nabi. Para khalifah setelah itu memiliki perhatian yang besar untuk merawat dan menjaga bangunan tempat Rasulullah saw dikuburkan atau dimakamkan. Termasuk di antaranya Khalifah Walid bin Abdul Malik ataupun Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memberikan perhatian yang sangat besar untuk menjaga makam Rasulullah saw dan bangunannya.
Sampai di sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa membangun bangunan di atas makam para aulia, para salihin, bukan saja tidak syirik dan bukan termasuk hal yang haram dan bid’ah, bahkan lebih dari itu ditekankan dan dianjurkan. Sudah ada contoh-contohnya makam para ulama, para salihin, para sahabat zaman dahulu juga umumnya memiliki bangunan di atasnya sampai kemudian kita menyaksikan adanya fitnah dari Wahabiyah yang mereka kemudian menyerang Baqi dan menghancurkan makam-makam serta bangunan-bangunan makam-makam di Baqi.
Soal Palestina
Sebagaimana yang telah kita dengar semuanya lewat media-media massa bahwa rezim zionis Israel telah melakukan kekejaman terhadap rakyat Palestina. Ratusan orang dari rakyat Palestina termasuk anak-anak kecil, orang-orang tua, wanita-wanita dan bahkan mereka yang secara fisik cacat, menjadi korban kebiadaban rezim zionis Israel. Infrastuktur di Palestina juga dihancurkan, banyak bangunan sekolah, rumah sakit dan yang lain, termasuk juga tempat tinggal warga Palestina dihancurkan oleh mesin-mesin perang rezim zionis Israel.
Menghadapi kebrutalan dan kebiadaban rezim zionis ini para pejuang Palestina tidak tinggal diam. Mereka juga menunjukkan aksi dan membalas serangan-serangan tersebut. Kaum muslimin di seluruh dunia bahkan selain kaum muslimin, rakyat di banyak negara, menunjukkan reaksi mereka yang mengutuk kekejian rezim zionis Israel dengan melakukan berbagai macam cara termasuk di antaranya melakukan demonstrasi di berbagai negara.
Termasuk di antaranya reaksi yang ditunjukkan oleh kaum muslimin di Indonesia yang melakukan gerakan-gerakan yang menentang rezim zionis Israel dan kebiadabannya. Saya melihat satu klip yang memuat kisah seorang mantan pilot zionis yang menceritakan bahwasanya dia diperintahkan untuk memuntahkan bom-bom di wilayah Palestina sementara kata dia, “Saya tidak pernah tahu Palestina itu siapa, sementara kami ada orang-orang yang datang dari negeri negeri lain untuk melakukan tindakan-tindakan seperti itu di Palestina.”
Perselisihan dan perseteruan kita bukan dengan orang-orang Yahudi. Banyak orang Yahudi yang tinggal secara damai dengan kelompok kaum muslimin di banyak negara. Permasalahan kita adalah dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai sebuah negara, menyebut dirinya dengan sebutan Israel, sebuah rezim apartheid, rezim rasis yang tidak mengenal sesuatu kecuali diri mereka sendiri.[] Naskah ini merupakan khotbah Jumat Direktur ICC Dr. Abdulmajid Hakimelahi, Jumat 21 Mei 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.