ICC Jakarta – Bihar al-Anwar, Al-Khishal dan Al-Amali memuat sebuah kisah padat hikmah sebagai berikut:
Suatu hari seusai memimpin salat Subuh, Nabi SAW berdiri menghadap jamaah salat lalu berkata, “Ma’asyirannas (hadirin sekalian)… Adakah tiga orang di antara Anda semua yang bersedia bangkit dari tempatnya untuk menghadapi tiga orang yang telah bersumpah dengan Lata dan Uzza akan membunuhku?” Hadirin diam. Tak satu pun orang berdiri mengajukan diri.
Setelah menunggu sejenak dan tak menemukan tanggapan, Nabi SAW berkata dengan nada bertanya, “Saya mengira tak ada Ali di tengah Anda sekalian”.
Salah satu jamaah, Amir bin Qatadah, mengangkat suara, “Sejak malam tadi dia kurang bugar,” sahutnya, “Apakah Anda mengizinkan saya menemuinya dan memberitahunya?” lanjutnya menawarkan.
Nabi menjawab, “Silakan”.
Amir pun bergerak menjemput Ali yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang menggigil. Tak lama kemudian Ali datang menghadap Nabi seraya mengenakan kain yang menutupi tubuhnya hingga lutut dengan napas penuh semangat seakan tak sakit. “Ada apakah wahai Rasulullah?” tanya Ali menyapa pemimpinnya itu.
“Begini. Utusan Allah (malaikat Jibril) baru saja memberi kabar kepadaku tentang tiga orang yang bergerak ke sini dalam rencana membunuhku. Demi Pemelihara Ka’bah, mereka adalah pendusta agama.”
“Kalau begitu, aku siap melayani mereka, Anda telah mengirim pasukan tentara dengan menugaskanku menuntaskan masalah ini,” ucap Ali tegas.
“Tapi saat ini aku tak berpakaian lengkap (karena tadi terburu-buru datang),” lanjutnya seakan memohon waktu untuk pulang ke rumah dan bersiap.
Rasulullah mendekatinya lalu menyerahkan pakaian yang dikenakannya dan memberinya kuda untuk kendaraan dan perlengkapan tempur. “Inilah pakaianku, pedangku dan kudaku. Gunakanlah!” perintah Nabi SAW.
Detik itu juga Ali mengenakan pakaian dan kain penutup kepala, juga mengikat sarung pedang di pinggang lalu berpamit dan menarik kendali kuda pemberian Nabi. Ali memacunya cepat melesat meninggalkan kepulan debu di halaman masjid.
Tiga hari berlalu. Tak secuil pun kabar dari dan tentang Ali. Jibril juga tak muncul memperbarui berita tentang misi Ali. Fatimah Zahra menemui ayahnya. “Aku khawatir dua anakku ini jadi yatim saat ini,” ujarnya seraya mengelus kepala Al-Hasan dan Al-Husain. Rasulullah tak kuasa menahan aliran air mata mendengar keluhan putrinya.
(Usai memimpin salat) Rasulullah menghadap ke jamaah lalu memberikan sayembara, “Barang siapa membawa kabar tentang Ali, aku akan menjanjikan surga kepadanya.”
Khalayak seketika berhamburan berlomba mencari kabar tentang nasib menantu Nabi demi memenangkan hadiah maha mahal itu.
Dari kejauhan terlihat Amir bin Qatadah mengiringi Ali yang membawa satu kepala terpenggal bersama dua pria dengan tangan terbelenggu di atas punggung kuda memasuki gerbang kota.
Sesampainya Ali dan oleh-olehnya itu di hadapan Nabi yang dikelilingi warga kota, Nabi menyambutnya lalu bertanya, “Apakah kamu ingin aku mengisahkan apa yang kamu alami?”
Orang-orang munafik penyebar fitnah mencemooh Nabi dan berseloroh, “Tadi terlihat panik dan cemas. Kini malah mau memberitahu Ali tentang peristiwa yang dialaminya…” Nabi pun menanggapi suara-suara sumbang itu dengan menyuruh Ali menceritakan pengalamannya. “Ceritakanlah apa yang terjadi padamu sebagai kesaksian untuk khalayak!” perintah Nabi SAW.
“Ya Rasulullah…” Ali memulai cerita, “Saat aku sampai di lembah, aku bertemu dengan tiga penunggang kuda yang memanggilku dengan teriak, “Hai! Siapa kau?” “Aku, Ali putra Abu Thalib, sepupu Utusan Allah,” sahut Ali.
“Kami tak kenal (tak percaya) utusan Allah. Kami tak percaya apapun di hadapanmu maupun di hadapan Muhammad. Kami siap menghabisimu juga Muhammad,” ancam salah satu dari mereka.
Seketika Ali mendorong penunggang terdepan dari punggung kudanya. Ali pun lompat menginjak tanah. Duel pun terjadi.
Ali melanjutkan ceritanya. Saat kecamuk pertarungan berlangsung tiba-tiba angin merah menerpa dan kudengar suaramu wahai Rasulullah, “Aku telah memutus rantai-rantai baja baju zirahnya. Pukullah lehernya.” Seketika kupukul lehernya. Tiba-tiba angin jingga berhembus dan kudengar suaramu, “Baja penutup pahanya telah kulepas. Putuslah pahanya.” Aku ayunkan pedang ke pahanya, lalu dibanting tersungkur dan kupisahkan kepala itu dari tubuhnya.
Melihat nasib temannya, wajah dua lelaki itu memucat ketakutan. “Kami dengar bahwa Muhammad adalah orang yang berhati lembut dan pemaaf. Jangan keburu membunuh kami. Lelaki yang kau bunuh itu sama dengan 1000 tentara,” ucap mereka memohon iba.
Setelah mendengar cerita Ali, Nabi SAW berkata, suara pertama yang datang bersama angin merah adalah suara Jibril. Sedangkan suara kedua bersama angin kuning berasal dari Mikhail. Sekarang hadapkan kepadaku salah satu dari dua tawananmu. “Katakan tiada tuhan selain Allah dan bersaksilah bahwa aku adalah utusan Allah,” kata Nabi kepada tawanan pertama. “Aku lebih memilih memindahkan gunung Abi Qubais daripada mengucapkan kalimat ini,” sahutnya menolak perintah Nabi. Ali mendapatkan perintah. “Hai Ali, bawalah orang ini ke ujung kota dan lakukan terhadapnya apa yang mesti dilakukan!” ucap beliau tegas.
Lalu tawanan kedua dihadapkan kepada Nabi. Beliau menyampaikan tawaran yang sama, “Katakanlah tiada tuhan selain Allah dan bersaksilah bahwa aku adalah utusan-Nya.” Pria itu menolak seraya berkata, “Gabungkanlah aku dengan temanku tadi.” Nabi pun menyuruh Ali membawanya untuk dibunuh. Beberapa saat sebelum Ali akan melaksanakan perintah itu, Jibril turun lalu menghadap Nabi dan berkata, “Hai Muhammad, Allah menyampaikan salam kepadamu dan berkata jangan membunuhnya karena ia berperilaku baik dan dikenal dermawan di tengah masyarakatnya.”
Nabi segera mendatangi Ali. “Hai Ali! Tahanlah. Jibril baru saja memberiku kabar bahwa orang (yang akan kau bunuh) ini berperilaku baik dan dermawan bagi masyarakatnya.”
Mendengar ucapan Nabi kepada Ali, tawanan ketiga yang sudah membungkuk di bawah pedang itu tercengang. “Utusan dari Tuhanmu memberitahumu tentang diriku?” tanyanya keheranan.
“Ya,” jawab Nabi. Lelaki itu berkata, “Aku tak pernah menahan satu dirham pun untuk setiap orang yang memerlukannya dan aku tak pernah menoleh ke belakang saat bertempur. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa kau adalah utusan-Nya.”
Hikmah-hikmah:
1. Kedermawan dan kebaikan horisontal yang tulus adalah ketauhidan yang tak disadari.
2. Sumber sebagian besar kebencian adalah sangka buruk dan kebodohan.
3. Nabi menghadapi puluhan kali rencana pembunuhan.
4. Kepatuhan mendorong kesigapan tanpa penundaan.
5. Nabi adalah manusia suci dengan segala kemanusiaannya.[*]