ICC Jakarta – Pemimpin Tertinggi Umat Katolik Dunia, Paus Fransiskus, belum lama ini menyebut kunjungannya ke kediaman Marja’ Syiah Irak, Ayatullah Sistani sebagai kebahagiaan spiritual. Pernyataan itu dilansir oleh parstoday.com. Media-media dalam dan luar negeri memberitakan bahwa suasana Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan rencana kunjungan Paus berusia 84 tahun itu ke Irak.
Mengapa memilih Irak dan mengkhususkan diri ke seorang tokoh Syiah? Banyak spekulasi yang bermunculan. Paus bernama lengkap Jorge Mario Bergoglio itu dikenal memiliki visi perdamaian yang diwarisi dari pendahulunya dalam kerahiban Katolik dunia. Visi perdamaian yang diusungnya memiliki hubung kait dengan situasi dunia saat ini. Pada sisi lain, Irak menjadi suatu poros gangguan keamanan dunia selama kurang lebih dua dekade terakhir. Puncaknya adalah pemberontak Negara Islam Suriah dan Irak atau lebih lazim dikenal dengan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS).
Paus kelahiran Flores, Buenos Aires Aregentina itu juga dikenal memiliki wawasan politik internasional yang baik. Pertemuannya dengan Ayatullah Mohammad Ali Sistani dipandang oleh berbagai analis politik sebagai peristiwa internasional terbesar di awal tahun ini. Ketegangan di kawasan Timur Tengah belum memperlihatkan tanda-tanda akan pulih. Warga Irak masih berada dalam suasana yang mencekam, baik pemeluk Islam maupun Kristen. Sewaktu-waktu ancaman keamanan dapat saja meledak seperti yang dialami beberapa bulan lalu.
Irak memang menjadi bagian terpenting dalam lintasan kepentingan Barat di Timur Tengah. Semenjak kekuasaan Presiden Saddam Hussein (1979-2003) hubungan Amerika Serikat dengan Irak sangat dinamis. Fluktuatif! Tahun 1980 Irak mendapatkan sokongan besar dari Amerika Serikat dan sekutu Barat maupun Arabnya guna memerangi Iran, tetangganya. Iran yang baru saja menyusun dan akan memulai pemerintahan baru pascarevolusi terpaksa melayani saudaranya di Irak.
Seperti telah dimaklumi bahwa Iran maupun Irak adalah dua negara dengan mayoritas penduduk muslim bermazhab Syiah. Sebelum Revolusi Islam Iran (11 Februari 1979) isu mazhab tak pernah menajam menjadi konflik. Namun terganggunya kepentingan Barat di Iran memperlihatkan kecemasan Amerika Serikat yang sangat tinggi. Melalui sekutunya di Timur Tengah, yakni Arab Saudi, isu mazhab ini diangkat untuk mendapat dukungan memusuhi Iran.
Entah faktor apa yang sesungguhnya menjadi pemicu perang itu, namun sangat jelas bahwa perebutan klaim di Shatt Al-Arab dan Khuzestan menjadi sangat klise. Buktinya, ketika Imam Khomeini mengumumkan berakhirnya perang 9 tahun itu pada tahun 1989, makin berkembanglah kebencian yang dikemas dalam isu mazhab Syiah-Sunni. Raja Arab Saudi yang semula sangat akrab dengan Shah Iran yang Syiah, padahal ia adalah seorang Sunni. Ini berarti bahwa hidupnya sengketa di Teluk Persia bukalah semata karena urusan mazhab yang berbeda satu sama lain.
Ayatullah Ali Husayni Sistani adalah marja’ taklid umat Islam Syiah di Irak yang memiliki pengikut sangat banyak. Beliau sesungguhnya memiliki kekuatan untuk menggerakkan massa demi memenangkan suatu pertikaian atau bahkan peperangan. Namun yang terjadi justru alim berusia 90 tahun itu lebih banyak berkonsetrasi pada pembinaan intelektual dan spiritual umatnya. Ini juga berarti bahwa visi beliau mengenai kedamaian dunia relative sama dengan visi Paus Fransiskus. Sistani memandang bahwa smua kejadian di Irak dan Timur Tengah pada umumnya bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Kejadian berupa gangguan keamanan dan ancaman perdamaian umat manusia di segala bangsa itu adalah efek dari pertarungan kepentingan material.
Tarung ekonomi dan politik di kawasan itu sudah lama bergaung. Sejak Israel mendapat dukungan menduduki tanah Palestina 1948 dan berlanjut pada poerang tahun 1968 wilayah ini seolah memulai babak baru dalam peta perdamaian dunia. Ini juga menandakan bahwa telah muncul tantangan berat bagi para pemimpin spiritual umat beragama untuk menuntun umatnya ke arah mental damai.
Barangkali mental damai inilah yang semakin ingin digerus oleh para pelaku perang ekonomi politik. Dengan hilangnya mental damai, maka semuanya bisa dikenadalikan untuk melakukan aksi dalam apapun bentuknya.
Pada era kepemimpinan Paus Yohannes Paulus II perang di Irak terjadi dalam dua gelombang. Perang Iran-Irak (1980-1989) dikenal dengan Perang Teluk I dan Perang Teluk II (1990-1991) adalah dua gelombang perang yang mengguncang Irak. Efek perang itu sesungguhnya bukan hanya ancaman jiwa kepada penduduk negeri itu, namun pada posisi politik negara-engara yang berkentingan dengan situasi Irak.
Pertama, Amerika Serikat dan Sekutu Baratnya. Isu minyak bumi dan sumber daya mineral lainnya di negara itu menjadi poros pertikaian. Upaya mengamankan posisi itulah yang sesungguhnya menjadikan Irak sebagai ajang adu gengsi kekuatan-kekuatan dunia. Perang tak terelakkan. Tahun demi tahun Amerika Serikat memperlihatkan kecurangannya dalam upaya menghadapi pemerintahan Irak yang sah.
Muali dari isu nuklir. Badan nuklir internasional kadang tidak dipatuhi secara murni. Upaya mencegah serangan ke Irak tahun 2003 atas nama pelacakan instalasi dan proyek senjata nuklir Irak hanyalah isapan jempol belaka.Tak ada hasilnya. Bahkan akhirnya diketahui jugalah bahwa itu semua adalah suatu rekayasa untuk bisa menempatkan serdadu Amerika Serikat di Irak.
Benar saja, bahwa setelah Irak diduduki, situasi damai yang sejati di Irak tak pernah lagi di jumpai. Memang bukan menjadi kesimpulan bahwa lebih baik kembali ke era Saddam yang otoriter itu, namun dambaan akan berdaulatnya rakyat Irak dalam pemerintahan yang independen nyatanya tak terwujud.
Kedua, Irak itu sendiri dengan kepentingan nasionalismenya. Nasionalisme Irak jelas terusik oleh situasi ini. Tergulingnya Saddam Hussein tahun 2003 digantikan oleh pemerintahan transisi di bawah kendali Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sayangnya, transisi yang diperkirakan semula hanya akan memakan waktu paling lama lima tahun itu ternyata juga isapan jempol. Irak mengalami kemelut politik dari pemilu ke pemilu. Pemerintahan jatuh bangun.
Pada sisi lain, gangguan keamanan sekonyong-konyong muncul dari dalam negeri sendiri. ISIS menjadi ambisi besar kaum islamis untuk mempreteli kedaulatan di dua negara sekaligus; Irak dan Suriah. Seolah ingin mengulangi sukses Arab Spring yang telah menjatuhkan pemerintah Tunisia, Mesir, dan Libia, Barat mulai merambah ke Damaskus dan Bagdad.
Pihak lain yang mungkin juga tak mudah dihilangkan posisinya adalah tetangga Irak, yakni Iran. Berbagai media Barat berulangkali memberitakan faktor Iran dalam kemelut Timur Tengah. Iran jelas memainkan peran penting guna membantu Suriah dan Irak dalam upaya menghadapi ISIS. Berkali pula media Barat memberitakan bahwa sikap resmi Amerika Serikat atas Iran sangat jelas. Mendiang Komandan Brigade Al-Quds Iran harus dienyahkan lantara beliaulah yang dinyatakan amat berperan penting menggulung ISIS di kawasan ini.
Banyak media juga menyatakan dengan tegas bahwa serangan brutal terhadap Bandara Internasional di Baghdad yang menyebabkan kematian Panglima Perang Iran itu adalah suatu upaya intelijen Amerika Serikat untuk memenuhi ambisinya tetap bertahan di Irak. Ini jauh melebihi batas waktu yang ditentukan untuk suatu transisi demokrasi di Irak.
Apa arti semua ini? Negara-negara di kawasan Teluk Persia sedang menghadapi ujian tata kelola hubungan antar negara. Efek penting yang muncul dari buruknya hubungan tersebut adalah kesengasaraan rakyat. Berbagai media juga melansir betapa tiadanya unsur pertentangan mazhab yang layak menjadi alasan kekisruhan dan konslik berkorban jiwa itu.
Barangkali inilah yang menyebabkan Paus Fransiskus mulai melirik kawasan ini sebagai suatu bagian dari program damainya. Paus seolah ingin memberi pesan kepada semua dunia bahwa sangat diperlukan mencari rekan dialog yang jujur dan layak dipercaya.
Politisi berbagai negara termasuk kaum yang mengklaim diri kampiun demokrasi dalam kacamata Paus bukanlah partner yang baik. Itu sebabnya kehadirannya di Irak justru tidak difokuskan pada unsur pemerintah resmi Irak belaka meski sesi pertemuan dengan para petinggi negera itu juga digelar. Namun demikian, kehadirannya di kediaman pribadi Ayatullah Sistani menjadi sebuah isyarat bahwa kini telah menjadi momen paling tepat untuk memulai babak baru upaya perdamaian yang jujur.
Sudah sampai waktunya para pemimpin spiritual menjadi person terdepan untuk menggaungkan seruan damai. Seperti yang dilansir oleh parstoday.com Paus Fransiskus diterima Sistani di Kota Najaf larut dalam suatu perbincangan serius. Dinyatakan bahwa keduanya bertemu selama satu jam tanpa melibatkan pihak otoritas politik negara setempat.
Ini menjadi pertemuan dua pemimpin spiritual agama besar dunia. Seolah pertemuan ini adalah sebuah kunci baru untuk membuka harapan baru di tengah kegamangan politik dunia di Timur Tengah. Mengunjungi tokoh spiritual Syiah yang bukan pemimpin formal negara menitipkan pesan bahwa kekuatan civil society suatu waktu harus diperhitungkan dalam peta baru perdamaian dunia.
Entah apakah frase “Kebahagiaan Spiritual” yang diungkapkan Paus kepada awak media saat itu merupakan ungkapan kebahagiaan karena telah mendialogkan secara setara visi-visi universal kedua ajaran (Katolik dan Islam), atau telah mendapatkan jamuan bersahaja, atau faktor lain. Namun ungkapan “Pertemuan ini menjadi sumber kebahagiaan spiritual saya” (pasrtoday.com, 6-3-2021) mengindikasikan adanya suatu semangat baru yang diperoleh Paus dalam pertemuan tersebut.
Meski hanya mengunjungi Irak, khususnya pribadi Ayatullah Sistani, namun dapat pula ditangkap pesan mengenai kehendak kedua tokoh untuk melihat berhentinya yang masih berlangsung di Yaman. Arab Saudi dan sekutunya di Teluk di bawah dukungan Amerika Serikat dan Inggris terus saja memperpanjang konflik bersenjatanya dengannegara tetangganya, Yaman. Hingga kini telah dinyatakan oleh International Himan Right sebagai agresi setingkat kejahatan perang. Agresi Saudi ke Yaman itu telah menelan …. Korban jiwa. Namun pernyataan itu tetap saja tidak menyurutkan langkah politisi negara Saudi dan Amerika Serikat untuk melanjutkan peperangan.
Ayatullah Sistani merupakan seorang pemimpin spiritual yang tercatat sangat tenang dan tidak pernah melayani konfrontasi fisik apalgi penggunaan senjata. Pola-pola dialog dan memercayakan pada kebijakan pemilik otoritas politik sudah menjadi sikap beliau. Provokasi yang mungkin dimaksudkan untuk mencuatkan konflik antar mazhab sudah jelas gagal. Sistani konsisten dengan keyakinan pada upaya pencerahan rakyat dengan ajaran agama akan melahirkan kecerdasan spiritual untuk membedakan motif-motif politik dalam praktik kenegaraan yang ada di semua belahan dunia.
Pesona Sistani menjadi akrab dengan kaum spiritualis di berbagai tempat. Namun terkhusus Paus, kunjungannya kepada tokoh muslimin menjadi sangat penting dalam peneguhan poros sipil. Sebelumnya Paus Fransiskus juga mengunjungi Mesir dan bertemu dengan Grand Syekh Al-Azhar, Ahmed At-Thayeb, 7 Februari 2019 lalu. Hasil pertemuan itu memberikan pesan kepada seluruh umat beragama khsusunya Islam dan Katolik bahwa perdamaian adalah kebutuhan terpenting dan sangat mendesak.
Sunni dan Syiah yang tokoh-tokoh sipilnya telah dikunjungi Paus dalam satu pesan damai yang sama seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi dunia. Media-media internasional juga melansir pernyataan Paus tentang perdamaian ini di hadapan pemegang otoritas politik Irak, Predana Menteri Mustafa Al-Kadhimi dan Presiden Barham Saleh. Media dalam negeri seperti Republika memberitakan juga bahwa pesan perdamaian merupakan inti kunjungan Paus saat ini sebagaimana kunjungannya ke Al-Azhar, Mesir, dua tahun lalu.
“Permusuhan, ekstrimisme, dan kekerasan tidak lahir dari hati yang religious. Itu semua adalah bentuk pengkhianatan”, demikian laporan Republika, 21 Maret 2021 lalu. Pernyataan itu dikemukakan oleh Paus di negeri kelahiran Nabi Ibrahim as, Ur.
Sebagai bentuk komitmen Paus atas kesetujuannya dengan sikap Ayatullah Sistani adalah mengunjungi Mosul juga dengan misi damai. Paus, seperti dilansir parstoday.com menyesalkan terjadinya kerusakan perang di Mosul, Irak. Beliau bahkan menyatakan kepada publik tentang rencananya untuk memberikan bantuan dalam perbaikan kembali kota-kota yang hancur di Mosul tersebut.
Ini adalah lanjutan dari peran para pemimpin umat beragama untuk mengerahkan kemampuannya dalam upaya menghentikan kekerasan, termasuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Paus juga menyadari bahwa keberadaan tokoh-tokoh agama telah berkontribusi amat besar terhadap upaya damai yang kini mulai dirasakan penduduk Kristen dan Islam di Mosul. Tentu saja, demikian pula dengan dan kota-kota lain di Irak dan Suriah. “Pendudukan” ISIS sempat mengoyak keras kota-kota itu. Beberapa tahun lalu tanpa melangkahi otoritas politik negara Irak, Ayatullah Sistani mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan ISIS. Lewat fatwa itulah rakyat menyusun kekuatan untuk mengusir perusuh dari kotanya. Fatwa ini sangat mujarab dan terbukti menjadi bagian utuh dari aksi untuk mengupayakan terciptanya suasan damai bagi penduduk Mosul. Paus pada kesempatan kunjungan tersebut menyakan juga kepada media rasa terima kasihnya atas fatwa jihad Ayatullah Sistani.
Ayatullah Sistani mengeluarkan pernyataan bahwa tugas utama ketidakadilan, penindasan, kemiskinan dan poersekusi atas nama agama, perang, kekerasan dan pengucilan ekonomi, serta pengusiran warga dan pendudukan di Palestina adalah masalah besar negara-negara dan pemimpin agama di dunia. Inilah tantangan umat beragama di seluruh dunia. Sayyid Sistani juga mengharapkan seluruh umat Kristiani di Irak mendapatkan hak-haknya yang layak sebagai warga negara.
Pertemuan bersejarah itu diungkapkan oleh beberapa pegiat kamnusiaan sebagai pertemuan lonceng dan menara. Lonceng Gereja sebagai simbol Katolik dan menara masjid sebagai simbol Islam. Di atas semua itu, spirit kemanusiaan telah berulang kali dikemukakan oleh kedua pemimpin spiritual dalam latar pertemuan penting itu. Bahkan sebelum memasuki lorong kediaman Ayatullah Ali Husayn Sistani telah dibentangkan sebuah spanduk ukuran besar bertuliskan sabda Imam Ali bin Abi Thalib kw. “Sesungguhnya manusia ada dua tipe, yakni jika dia bukan saudaramu seagama maka ia adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.
Kalimat itu dinyatakan dalam pesan Ali bin Abi Thalib kw. untuk gubernurnya di Mesir, Malik Al-Asytar. Pesan ini dipenuhi dengan pesan keadilan dan kemanusiaan. Rasa kemanusian itulah yang menjadi latar penting penerimaan Sistani terhadap Paus. Demikian juga misi keadilan untuk seluruh dunia dan umat manusia.
Kunjungan usai dilakukan. Media telah memberitakan dan analis berbagai negara telah pula mengeluarkan pendapatnya. Kini dan selanjutnya umat manusia sedang menunggu realisasinya. Tentu saja terutama sekali i’tikad baik seluruh negara untuk menjalankan pesan luhur tersebut. Semoga ini menjadi salah satu upaya mempersiapkan kehadiran Juru Selamat yang dinanti semua umat beragama dan penganut-penganut kepercayaan di berbagai belahan dunia. Semua itu demi menyempurnakan kebahagiaan spiritual yang tidak hanya akan dirasakan oleh Paus, namun juga kebahagiaan spiritual buat umat manusia seluruhnya.[M.A.S. Hammada)