ICC Jakarta – Diantara syariat-syariat samawi yang pernah Allah turunkan adalah keyakinan akan adanya Allah dan tauhid kepada Allah. Ini merupakan satu prinsip yang sama dimiliki oleh semua syariat dan inilah yang membedakan antara orang-orang yang bertauhid dan menyembah Allah dengan orang-orang yang kafir. Alquran al-Karim memandang bahwasanya keberadaan Allah merupakan salah satu hal yang sudah sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk dibawakan argumentasi tentang keberadaan-Nya. Karena itulah Alquran melihat bahwasanya keragu-raguan akan keberadaan Allah adalah sesuatu hal yang tidak benar dan tertolak. Hal ini sebagaimana Allah Swt firmankan dalam surah Ibrahim ayat 10, Apakah ada keraguan tentang Allah padahal dia adalah Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi.
Meski menganggap bahwasanya keberadaan Allah adalah suatu hal yang sudah sedemikian jelas dan tidak perlu untuk mendatangkan argumentasi membuktikan keberadaan-Nya, Alquran al-Karim dalam berbagai ayatnya memberikan jalan bagi siapa saja yang ingin mengenal Allah dengan beberapa jalan. Tujuannya adalah supaya menghilangkan segala keraguan yang mungkin timbul dalam membuktikan keberadaan Allah dan kita sejauh ini sudah membahas dua jalan.
Jalan pertama adalah jalan internal yaitu jalan fitrah yang bisa membuat manusia merasakan bahwa ada satu maujud yang besar, maujud yang sedemikian tinggi di antara semua maujud yang ada. Perasaan ini dan rasa akan adanya maujud yang sangat agung ini muncul kepada diri manusia dalam berbagai kondisi. Itulah yang mendorong manusia untuk beriman kepada Allah dan beriman kepada pencipta alam. Allah Swt dalam surah al-Rum ayat 30 berfirman, Maka tegakkanlah wajahmu untuk suatu agama yang lurus yang merupakan fitrah Allah yang Allah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah.
Dalam keadaan terhimpit petaka dan musibah atau kesulitan, misalnya, saat berada di dalam kondisi yang nyawanya terancam, manusia cenderung untuk mencari suatu kekuatan besar yang bisa menyelamatkannya. Hal ini direkam oleh Allah Swt dalam surah al-Ankabut ayat 65, Ketika mereka naik ke bahtera mereka memohon kepada Allah dengan ketulusan yang tinggi tapi setelah mereka diselamatkan oleh Allah mereka kemudian ingkar dan menyekutukan Allah. Ayat ini dari zahirnya terlihat menceritakan tentang keadaan orang-orang yang terhimpit oleh suatu kesulitan di mana nyawa mereka terancam ketika diombang-ambingkan oleh ombak dan gelombang besar di tengah samudera. Saat itu, tidak ada yang bisa memberikan ketenangan dan tidak ada yang bisa diharapkan untuk bisa menyelamatkan mereka kecuali Allah. Di sinilah fitrah muncul.
Jalan kedua adalah jalan eksternal, yaitu dengan melihat fenomena-fenomena yang ada di alam penciptaan. Dengan meneliti dan merenungkan, orang akan mencapai pada perkenalan kepada Allah Swt. Dia mendapati adanya keajaiban-keajaiban di alam penciptaan, yang hal itu akan mengundang decak kagum lalu memuji siapa yang menciptakan keagungan dan keajaiban-keajaiban ini. Semua alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang jelas. Hal inilah yang membuktikan keberadaan Allah Swt. Ini menunjukkan pula bahwasanya semakin tinggi dan semakin menakjubkan suatu ciptaan, maka itu akan menyingkap bahwa penciptanya adalah yang Maha Mengetahui, yang memiliki kekuatan, yang sedemikian dahsyat. Itulah yang Allah ceritakan dalam Alquran al-Karim surah al-Imran ayat 190, Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal.
Tingkatan Tauhid
Setelah kita meyakini bahwasanya Allah itu ada dan Allah yang menciptakan serta mengatur alam, tiba giliran kita untuk membahas soal tauhid yakni mengesakan Allah, tidak mengakui adanya Tuhan selain Allah. Pertama dalam masalah tauhid, ada tingkatan tauhid yang bernama tauhid di dalam zat-Nya Allah. Mengenai tauhid di dalam zat ada dua makna. Makna yang pertama adalah saat kita mengatakan, “saya bertauhid dan mengesakan Allah dalam zat-Nya”. Makna pertama adalah kita meyakini bahwa Allah Swt Maha Esa dan tidak ada yang menandingi dan sekutu bagi-Nya, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surah al-Ikhlas ayat 4: Tidak ada satupun yang bisa menyaingi dan menandinginya.
Makna kedua dari tauhid di dalam zat Allah adalah bahwa kita meyakini zat Allah tidak terbagi-bagi. Allah tidak memiliki bagian dalam zat-Nya, dia Esa tanpa ada bagian pada diri-Nya. Ini disebut oleh Allah Swt dalam Alquran ayat pertama dalam surah al-Ikhlas: Katakanlah bahwa Allah itu ahad.
Kedua makna tauhid dalam zat ini disebutkan di dalam sebuah riwayat yang ditulis oleh Syekh Shaduq dalam kitabnya Al-Tawhid, halaman 81, bab 3 hadis ketiga. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menjelaskan mengenai tauhid dalam zat bahwa Allah Swt itu satu, tidak ada satupun yang bisa menyaingi dan menandingi-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia adalah Esa. Dia adalah ahad artinya tidak ada bagian pada diri-Nya, tidak pada wujud, tidak pada anggapan dan tidak ada pada akal. Allah Swt tidak akan pernah bisa dibagi-bagi walaupun bagiannya hanya pada akal.
Jika kita sudah memahami makna tauhid dalam zat yakni Allah itu Esa, tak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Allah itu Esa tidak ada bagian pada diri-Nya, maka di sini kita meyakini apa yang menjadi bagian kepercayaan sebagian agama termasuk Kristen mengenai trinitas, mengenai Tuhan yang tiga itu, jelas-jelas salah dan keliru dalam pandangan Islam. Sebagaimana dalam beberapa ayat Alquran, pandangan tentang masalah yaitu trinitas suatu hal yang tidak benar.
Tingkatan kedua dari tauhid adalah tauhid dalam sifat. Artinya Allah Swt memiliki segala sifat kesempurnaan. Apa saja yang merupakan kesempurnaan ada pada Allah Swt dan bahwa akal ataupun wahyu menunjukkan bahwasanya segala kesempurnaan ada pada zat Allah. Karena itulah, ketika kita melihat Allah Swt disifati, maka akan tampak bahwa sifat-sifat yang disematkan kepada Allah adalah sifat-sifat kesempurnaan. Kita katakan “Allah Maha Mengetahui”, “Maha Berkuasa”, “Mahahidup”, “Maha Mendengar”, “Maha Melihat”, dan berbagai macam sifat lain yang kita sematkan kepada Allah Swt.
Jika kita memerhatikan sifat-sifat Allah Swt, akan kita dapati adanya perbedaan secara makna dalam sifat-sifat tersebut. Misalnya, ketika kita menyebut Allah sebagai zat yang Maha Mengetahui tentunya makna Mengetahui berbeda dengan makna ketika kita mengatakan Allah Mahakuasa. Ketika kita mengatakan Allah Maha Berkuasa, Mahakuasa artinya itu berbeda dengan saat kita mengatakan Allah Maha Pencipta. Meski demikian, walaupun secara mafhum dan makna masing-masing sifat itu memiliki perbedaan tetapi di dalam manifestasi luarnya tidak ada perbedaan antara sifat alim, sifat qadim dan sifat yang lain pada Allah.
Walaupun secara makna yang kita pahami dari sifat-sifat itu berbeda, dari sisi wujud luarnya kesemuanya adalah sama. Kesemuanya menyatu pada Allah Swt, tidak ada perbedaan antara sifat Mengetahui, sifat Mahakuasa, dan sifat-sifat yang lain dalam bentuk luarnya. Mengenai pemahamannya memang berbeda, kalau kita mengatakan bahwa sifat-sifat itu masing-masing berbeda dalam bentuk luarnya, maka hal itu akan menandakan adanya ke berbilangan pada Allah Swt dan kita menafikan keberbilangan itu.
Dengan ungkapan lain, Allah Swt memiliki semua sifat kesempurnaan walaupun kita menyebut Allah sebagai yang Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Mahahidup, tetapi kesemua itu tidak berarti ada pada bagian-bagian tertentu pada Allah. Satu bagian disebut ilmu, satu bagian disebut kehendak, satu bagian disebut kekuasaan, satu bagian disebut hayat atau kehidupan. Semua itu adalah satu pada Allah Swt, walaupun kita juga meyakini bahwa Allah secara zat adalah qadim (tidak berawal). Kita juga meyakini bahwa semua sifat Allah itu qadim (tidak berawal). Semua itu menyatu pada Allah Swt. Kita katakan ilmu Allah adalah kekuasaan itu sendiri, Allah adalah kehidupan itu sendiri, semuanya ada pada Allah Swt bukan sebagai bagian dari Allah.
Hal ini dijelaskan oleh Imam Shadiq as dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh Syekh Shaduq dalam kitab Al-Tawhid, halaman 139, bab 211 hadis pertama. Imam Shadiq as berkata, “Allah Swt sejak awal adalah Tuhan kami, ilmu adalah zat–nya Allah. Padahal, saat itu tidak ada sesuatu yang bisa diketahui. Pendengaran adalah zat-Nya Allah padahal saat itu belum ada sesuatu yang bisa didengar. Penglihatan atau bashar adalah zat–nya Allah padahal saat itu belum ada sesuatu yang bisa dilihat, dan Allah Swt adalah qudrah (kekuasaan), padahal pada saat itu belum ada sesuatu yang bisa dinisbatkan dengan kekuasaan.”
Untuk lebih jelasnya agar bisa memahami masalah ini, kita perlu melihat permisalan ketika kita melihat seseorang mempunyai ilmu. Sesungguhnya ilmu yang dimiliki oleh orang itu berbeda dengan zat orang tersebut. Bisa jadi setelah mendapatkan ilmu, karena suatu penyakit, dia menjadi lupa akan semua ilmunya, atau orang yang sekarang ini memiliki ilmu yang luas dulu ketika dia masih kecil, saat dilahirkan dari rahim ibunya, dia tidak mengetahui apa-apa. Artinya antara dia dengan ilmu dua hal yang berbeda. Atau, seperti kita saat ini yang mampu untuk melakukan suatu pekerjaan mungkin beberapa tahun kemudian ketika usia sudah bertambah lanjut kemampuan itu sudah tidak lagi kita miliki. Hal ini berbeda dengan zat-Nya Allah Swt. Ilmu dan qudrat-Nya Allah Swt tidak bisa terpisahkan dari zat-Nya Allah, karena ilmu dan qudrat-Nya Allah adalah zat-Nya Allah.
Tingkatan ketiga dari tauhid adalah tauhid dalam penciptaan. Tauhid dalam penciptaan adalah keyakinan bahwa tidak ada pencipta untuk alam ini kecuali Allah Swt dan bahwa semua yang ada di alam raya ini adalah makhluk-Nya. Hal inilah yang ditekankan oleh Alquran al-Karim dalam surah al-Ra’d ayat 16, Katakanlah Allah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Esa dan Maha Berkuasa. Atau seperti yang Allah firmankan dalam surah Ghafir (40) ayat 62 ketika Allah berfirman, Yang demikian itu adalah Allah, Tuhan kalian, Pencipta segala sesuatu, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
Dalil bahwa Allah Swt adalah Maha Pencipta bukan hanya dalil yang bisa kita dapatkan dari Alquran tetapi juga dalil yang bersandar dan yang bersumber dari akal. Sebagaimana kita ketahui bahwa makhluk-makhluk yang ada di jagat raya ini adalah makhluk-makhluk yang secara zatnya adalah mumkin al–wujud, yakni mereka bisa ada dan bisa saja tidak ada, suatu esensi yang pada dirinya bisa ada dan bisa tidak ada. Saat ia ingin menjadi ada, ia membutuhkan sesuatu yang mengadakannya dan tidak ada yang mengadakannya kecuali Allah Swt.
Anggapan Keliru
Ada sebagian orang yang keliru mengartikan tauhid dalam penciptaan. Mereka beranggapan, dan anggapannya keliru, bahwa tauhid dalam penciptaan menafikan hukum kausalitas atau hukum sebab akibat. Ini adalah pandangan yang keliru. Karena bagaimanapun juga suatu fenomena yang terjadi di alam ini, fenomena yang muncul dari hukum sebab-akibat itu, adalah sebuah fenomena yang ditentukan Allah Swt. Allah lah yang menjadikan suatu illat (sebab). Ketika kita melihat bahwasanya matahari menyinari, ketahuilah bukan matahari yang menyinari. Sinar mataharilah yang didapat dari Allah dan Allah memberikan ketetapan jika matahari memantulkan sinarnya ke suatu tempat, maka tempat itu akan tersinari.
Dengan kata lain keyakinan tentang tauhid di dalam penciptaan tidak menafikan bahwasanya ada makhluk-makhluk di alam ini yang juga memberikan pengaruh pada makhluk-makhluk yang lain.Tidak menafikan adanya sebab-akibat di alam ini. Sebagian kelompok muslimin keliru dalam memahami tauhid dalam penciptaan dan keliru dalam memahami hukum kausalitas. Mereka beranggapan, kalau kita memercayai hukum kausalitas berarti kita memercayai bahwa ada khalik selain Allah, ada pencipta selain Allah. Padahal ini anggapan keliru. Tetapi ketika ia menciptakan sesuatu, ia menciptakan karena diizinkan oleh Allah Swt, dan ia menjadi kepanjangan dari silsilah illah yang ujungnya adalah Allah Swt. Allah tidak menafikan adanya pengaruh atau efek dari satu makhluk terhadap makhluk yang lain. Dalam surah al-Rum ayat 48 Allah berfirman, Allah lah yang telah mengutus angin, kemudian angin itu akan menggiring awan lalu akan menghamparkannya di langit sebagaimana Dia kehendaki. Artinya, Allah menisbatkan penghamparan awan kepada perbuatan yang dilakukan oleh angin tetapi angin melakukan itu atas perintah dari Allah Swt.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Direktur ICC Dr. Abdulmajid Hakimelahi, Jumat 15 Januari 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.
Artikel terakhir di kategori ini:
Perlunya Kenabian dalam Kehidupan
Manusia dengan segala kecerdasannya tidak akan mengetahui secara pastibagaimana jalan menuju Allah SWT.Ketika para Nabi diutus, mereka harus
Muhammad Model Sempurna untuk Menjadi Manusia Terbaik
Adalah suatu yang fitrah seorang manusia mencintai kesempurnaan. Tetapi ketika kita menginginkan sesuatu yang terbaik, apakah kita juga
Mengharap Al-Husain Memintakan Ampunan Allah Swt untuk Kita
Dalam Majelis Duka Asyura kita dapat mengambil banyak sekali pelajaran, di antaranya tentang komitmen dan kesetiaan kita pada
Tiga Pelajaran Penting dari Peristiwa Asyura
Pertama, Perjuangan dan komitmen atas ajaran agama.Imam Husain dan para sahabatnya, menjalankan misi yang bukan untuk menunjukkan kesombongan,
BOLEHKAH KITA MERAYAKAN TAHUN BARU?
Berdasarkan penanggalan, besok adalah tahun baru. Tahun 2022. Ada pertanyaan, “Apakah kita boleh menyelenggarakan pesta atau acara bersenang-senang