ICC Jakarta – Di dalam Alquran terdapat kata “syi’ah” (jamaknya: asy’yâ’) dalam arti sebagaimana makna kebahasaannya. Seperti dalam QS: al-Qashash 15:
فَوَجَدَ فيها رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلانِ هذا مِنْ شيعَتِهِ وَ هذا مِنْ عَدُوِّهِ
“Lalu ia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Firaun)… (QS. al-Qashash:15)
Dikisahkan tentang seorang laki dari bani Israil sebagai syiah (pengikut) Musa- dan seorang dari bangsa Qibti. Keduanya berkelahi. Dikatakan, si Qibti memusuhinya karena bangsanya adalah musuh bani Israil, dan bahwa bani Israil kala itu mengaku dalam keagamaan mereka dari para pendahulu mereka, yang adalah para nabi; Ibrahim, Ishaq dan Yaqub (as). Namun kenyataannya mereka memuja Fir’aun. Dalam ayat lainnya, QS. ash-Shaffat 83:
وَ إِنَّ مِنْ شيعَتِهِ لَإِبْراهيمَ
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk pengikut Nuh.”
Jadi, nabi Ibrahim as adalah seorang pengikut nabi Nuh as. Artinya, ia berada di atas jalannya di dalam ketauhidan, keadilan dan mengikuti kebenaran. Dikatakan, maksudnya bukanlah mengikuti dalam arti orang yang dipimpin mengikuti pemimpinnya. Tetapi maksudnya ialah bahwa yang sepakat dengan fulan di jalannya adalah syiahnya. Terlepas siapa yang dahulu masanya di antara dua pihak ini. Sebagaimana dalam QS: Saba` 54, terkadang orang-orang dahulu dikatakan- adalah syiah orang-orang sesudah mereka:
وَ حيلَ بَيْنَهُمْ وَ بَيْنَ ما يَشْتَهُونَ كَما فُعِلَ بِأَشْياعِهِمْ مِنْ قَبْلُ
“Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu.”
Dengan kata lain, umat-umat yang kafir di masa silam sebagai “syiah” kaum kafir di masa risalah. Makna syiah di sini ialah sepakat dan serupa dalam kekafiran.
Apa yang diterangkan dalam kitab-kitab kamus Arab terkait kata ini, bila dicermati terdapat unsur-unsur di dalam makna kebahasaannya, antara lain: mengikuti (kepatuhan), menolong dan kesepakatan.
Demikianlah makna “syiah” secara bahasa. Adapun secara istilah, kata ini memiliki beberapa penggunaan:
1-Keyakinan pada Imamah Ali bin Thalib as.
2-Keyakinan pada Keutamaan Ali as atas Semua Sahabat.
3-Pernyataan Cinta kepada Ahlulbait Nabi saw.
1-Keyakinan pada Imamah Ali bin Thalib as
Secara istilah, syiah digunakan pada keyakinan akan imamah atau kepemimpinan Amirul mu`minin Ali secara langsung (bi lâ fashl) bagi umat Nabi saw. Karena ia sebaik-baik sahabat dan karena Nabi saw telah mengangkat dia sebagai pemimpin umat sesudah beliau. Juga keyakinan pada imamah para putranya dari Sayidah Fatimah az-Zahra as., dan tak seorangpun selain mereka yang berhak atas imamah ini.
Syaikh Mufid dalam Awail al-Maqalat menjelaskan bahwa dengan alif lâm (baca: asy-syiah) menunjukkan pengkhususan bagi para pengikut Amirul Mukminin Ali as, dalam arti (mereka) meyakini imamahnya sesudah Nabi saw bi lâ fashl.
Jika alif lam itu diangkat darinya (as-syiah menjadi syiah) dan ditambah huruf “min” sebelumnya, maka maknanya menjadi umum mencakup selain mereka. Misalnya, dikatakan min syiati bani umayah atau min syiati bani al-abbas (dari golongan/kelompok/pengikut bani Umayah atau bani Abbas) atau min syiati fulân (dari golongan si fulan).
Terkait pengkhususan itu Syaikh Mufid menambahkan: Sebagaimana kata “al-islâm” (dengan alim lâm) adalah sebuah nama bagi umat Muhammad saw secara khusus, kata ini kendati pada dasarnya secara bahasa berlaku juga bagi selainnya.. Yakni, sekiranya tanpa alif lâm, maka kata “islâm” berlaku bagi kaum Yahudi karena mereka istislâm (menerima) dan percaya kepada Musa as. Juga berlaku bagi kaum Nasrani dan yang lainnya.
Pengkhususan tersebut juga terlihat jelas dalam definisi “asy-Syiah”, yang disampaikan oleh Abdulkarim Syahrestani (al-Milal wa an-Nihal, juz 1, hal 144). Kemudian ia mengatakan bahwa para pengikut Ali as meyakini imamahnya secara nash, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Keyakinan mereka bahwa imamah takkan keluar dari putra-putra Ali as, sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Jurjani dalam kitab at-Tarifat (hal 93).
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya (hal 196) mengatakan: Syiah menurut fuqaha dan mutakallimin (para teolog Islam) dahulu maupun belakangan, adalah para pengikut Ali dan putra-putranya ra serta mazhab mereka. Syiah ini sepakat bahwa imamah bukanlah kepentingan umum yang diserahkan pada pandangan umat… sampai pada- Nabi (saw) harus menentukan seorang imam bagi mereka (umat), dan ia mashum dari dosa-dosa besar dan kecil. Ali ra. lah yang telah beliau saw tentukan.
Referensi:
“Durus fi asy-Syiah wa at-Tasyayu”
sumber: Safinahonline