ICC Jakarta – Sebagai tambahan pengantar terkait persoalan ghuluw atau ghulat, masalah ini bukanlah sebuah hal baru yang muncul dalam kehidupan beragama. Apabila kita telusuri dalam sejarah, hal ini telah terjadi pada umat-umat yang lalu sebagaimana itu telah disinggung dalam al-Qur’an.
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ
Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?[1]
يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ اِنَّمَا الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللّٰهِ وَكَلِمَتُهٗ ۚ اَلْقٰىهَآ اِلٰى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِّنْهُ ۖفَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۗ وَلَا تَقُوْلُوْا ثَلٰثَةٌ ۗاِنْتَهُوْا خَيْرًا لَّكُمْ ۗ اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۗ سُبْحٰنَهٗٓ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗ وَلَدٌ
Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga,” berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari (anggapan) mempunyai anak..[2]
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوْٓا اَهْوَاۤءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوْا مِنْ قَبْلُ وَاَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَّضَلُّوْا عَنْ سَوَاۤءِ السَّبِيْلِ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.”[3]
Dari kutipan ayat-ayat di atas secara jelas bisa kita lihat bahwa ghuluw atau melebih-lebihkan sesuatu melewati batasnya adalah dilarang dalam Islam. Tidak hanya itu bahkan beberapa riwayat pun secara tegas menyatakan kekeliruannya, bahkan dalam hal ini akal sehat juga menghukumi sama.
Fenomena ini sejatinya dapat terjadi dimana dan kapan saja, tidak dikhususkan bagi umat, agama maupun mazhab tertentu. Oleh sebab itu predikat ghuluw dapat menempel pada siapa saja.
Adapun fenomena ghuluw yang terjadi dalam agama Islam khususnya dalam mazhab Syiah, adalah mereka yang melebih-lebihkan Imam Ali atau keturunannya As dengan penisbatan ketuhanan, kenabian atau sebutan-sebutan lainnya yang melewati batas. Hal ini pada dasarnya telah merusak pondasi keislaman sendiri, artinya bukan lagi masalah mazhabnya tapi lebih mendasar lagi, status keislamannya pun dipertanyakan. Sebab jelas bahwa status muslim disandang oleh seorang yang bersaksi (syahadatain) bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt. dan Muhammad Saw adalah utusan-Nya, Rasul dan Nabi terakhir.
Sayid Muhammad Baqir al-Sadr, salah satu tokoh besar ulama Syiah kontemporer (wafat 1980) membagi ghuluw ke dalam tiga kelompok; pertama, pada tingkatan ketuhanan, kedua, pada tingkatan kenabian, ketiga, pada perkara yang berkaitan dengan sifat sang pencipta dan perbuatan-Nya[4].
Ghuluw pada tingkatan ketuhanan
Dalam hal ini terdapat tiga gambaran:
Terkadang berupa keyakinan seseorang terhadap orang yang ia ghuluw terhadapnya, adalah Allah Swt. artinya menuhankan seseorang sebagai Allah itu sendiri.
Yang kedua adalah meyakini seseorang selain Allah sang Wajibul Wujud, sebagai sekutu-Nya dalam ketuhanan, serta memiliki hak untuk disembah.
Yang ketiga ialah meyakini hulul Allah Swt atau menyatunya Ia (Allah Swt) dengan seseorang.
Dari semua itu beliau mengatakan bahwa semuanya adalah kufur, dengan alasan yang pertama merupakan bentuk ingkar pada Allah Swt, yang kedua adalah ingkar terhadap tauhid serta yang ketiga bahwa hulul dan ittihad akan kembali pada penisbatan ketuhanan terhadap selain Allah Swt[5].
Ghuluw pada tingkatan kenabian
Yaitu meyakini seseorang lebih utama dari Nabi (Muhammad Saw), atau setara dengan Nabi sedemikian rupa sehingga risalah beliau Saw tidak meliputinya. Dari kedua bentuk tersebut ia juga menghukumi bahwa keduanya menyebabkan kekufuran dengan alasan bertentangan dengan syahadat yang kedua[6].
Ghuluw dalam tataran sifat dan perbuatan
Yakni menisbatkan sifat dan perbuatan pada seseorang yang bukan pada kapasitasnya. Jika kekhususan sifat dan perbuatan bagi Allah Swt adalah bagian dari prasyarat agama, maka penisbatan tersebut termasuk dalam bentuk ingkar terhadap prasyarat tadi[7].
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat sendiri bagaimana seorang ulama Syiah menyikapi fenomena ghuluw ini, tentunya dengan bersandar pada al-Qur’an serta riwayat-riwayat yang menunjukkan kekeliruan, larangan juga imbauan dari Nabi dan para Imam setelahnya. Terkait hal ini pula Allamah Majlisi dalam kitabnya Biharul Anwar jilid ke-25 Kitab al-Imamah, mengumpulkan berbagai riwayat dari para maksum dalam sebuah bab khusus yang berjudul Bab Nafyil Ghuluw Fin Nabi Wal Aimmah atau bab pengingkaran ghuluw terhadap Nabi Saw dan para Imam As.
yang menjadi catatan adalah apakah pengutamaan yang dilakukan oleh Syiah terhadap Imam Ali As atau Ahlulbait Nabi Saw adalah sesuatu yang berlebihan atau ghuluw? Jawabannya tentu saja tidak, sebab semua itu tidak bertentangan dengan apa yang dibahas di atas, bahkan berlandaskan apa yang disampaikan oleh al-Qur’an serta hadis-hadis mu’tabar seperti yang telah kita bahas pada awal-awal kajian shiaologi.
sumber: muslimmenjawab