ICC Jakarta – Fenomena takfir dipandang sebagai satu fenomena berbahaya yang mengancam eksistensi umat Islam. Ada beberapa masa dalam sejarah Islam yang memperlihatkan munculnya kelompok-kelompok yang menjadikan slogan “mengafirkan kaum muslim” sebagai metode dalam dakwahnya dan mereka menyerukan hal tersebut kepada masyarakat. Mereka berdalih, seruan mengafirkan tersebut sebagai upaya untuk melindungi, menyelamatkan, dan menjaga akidah dari setiap bentuk penyimpangan dan perubahan.
Berdasarkan kaidah “setiap orang merasa benar”—yaitu prinsip yang merusak pada sebagian besar masa—muncullah kelompok-kelompok ekstrem ini yang mengafirkan setiap orang yang tidak mengikuti kelompok mereka, tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan mereka, dan tidak beramal sesuai dengan ketentuan mereka. Mereka menilai kafir kelompok-kelompok, mazhab-mazhab, aliran-aliran pemikiran modern, para hakim, bangsa-bangsa, dan sistem-sistem yang tidak sejalan dengan mereka. Bahkan, mereka mengafirkan orang-orang karena melakukan suatu dosa, seperti yang dilakukan kelompok Khawarij.
Ada juga kelompok-kelompok yang mengafirkan masyarakat muslim seluruhnya dengan alasan karena mereka setuju dengan hukum jahiliah dan pemerintahan tagut serta tidak berusaha untuk mengubah sistem yang berlaku di negeri-negeri Islam. Gelombang takfir ini semakin kuat pada masa sekarang. Ia berdiri tegak serta mengancam, membunuh, menghancurkan, merampas, mencuri, dan mengebom. Semua itu dilakukan atas nama Islam.
Para penulis menulis, para filsuf membahas, orang-orang saleh memberi nasihat, para ulama akhlak dan pemuka masyarakat berusaha sungguh-sungguh menjelaskan penyakit ini dan cara mengatasinya. Namun, apakah hal itu manjur? Apakah penyakit itu kemudian sembuh atau kian parah? Apakah hal itu dapat mengekang nafsu dan ada pengaruhnya terhadap perbaikan? Apakah kondisi manusia berubah dari tabiat asli dan takdir asalnya? Bukankah jiwa-jiwa ini, setelah sikapnya yang melewati batas, masih saja saling lempar dalam cerobong-cerobong udara?
Mari kita lihat, pernahkah sehari saja bumi ini kering dari hujan darah manusia yang ditumpahkan sia-sia oleh manusia terhadap saudaranya sesama manusia, dicabik-cabik sabit permusuhan manusia terhadap manusia? Berapa sering Anda mendengar pembicaraan tentang upaya menciptakan kedamaian di bumi Islam dan konferensi-konferensi tentang persatuan melawan teror? Apakah Anda mendapati itu semua seakan-akan hanya gelombang-gelombang di udara, seakan-akan lukisan di atas air?
Apakah tokoh-tokoh agama dan para pemuka mazhab berlapang dada membawa masyarakat ke arah toleransi agama, keadilan Ilahi, jalan keteladanan, dan sunah lurus yang tidak tampak adanya kebengkokan dan penyimpangan? Apakah mereka mampu membujuk sebagian orang bahwa semua agama tidak memperkenankan kebinasaan dalam fanatisme, ambisi untuk menghancurkan, tunduk pada kezaliman, akhlak buruk dan kekejian, saling tinju dan saling mencerca, yang setiap orang menyakiti saudaranya, merusak syariat-syariat dan syiar-syiarnya yang suci, apalagi jiwa, harta, dan kehormatannya? Maka, bagaimana dengan Islam? Bagaimana dengan seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim? Bahkan, kita lihat sebagian orang yang disebut pemikir agama justru ikut menyalakan api fitnah, menambah kayu bakar pada bara api, mengafirkan si ini, si itu, kelompok ini, kelompok itu, dengan cara-cara yang tidak diridai Islam, bahkan tidak diridai kemanusiaan.
Puncaknya, jika saja kita mau merujuk, jangankan pada substansi agama kita, pada tepian dan pinggirannya sekalipun tidak kita temukan satu dalil pun yang membolehkan sebagian mereka melakukan tindakan tersebut kepada sebagian yang lain. Apalagi dengan keseluruhannya. Siapa yang tidak tahu bahwa tidak ada dalam agama Islam dalil yang membolehkan menyakiti orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan rukun-rukun Islam, apalagi membunuhnya, menumpahkan darahnya, merampas hartanya, dan merusak kehormatannya.
Tujuan dari seluruh tulisan ini adalah untuk menyadarkan kita bahwa kejahatan telah demikian memuncak di wilayah Islam sehingga sudah mencapai taraf melampaui batas. Hasutan tidak lagi terbatas pada celaan dalam buku-buku, artikel-artikel, dan media massa. Setiap orang merusak kehormatan mazhab lain, bahkan melampaui batas hingga seperti apa yang Anda dengar dan lihat setiap hari, yaitu darah yang ditumpahkan, kehormatan yang dinodai, bangunan yang dirobohkan, kehidupan yang dirusak, dan setiap hal yang membuat kulit manusia merinding, menusuk relung batin, dan menimbulkan jeritan kepada Allah.
Dampak yang lebih besar dari keadaan ini adalah pandangan dunia dan agama-agama lain terhadap Islam itu sendiri. Seakan-akan Islam adalah agama keji. Padahal, Islam sendiri berlepas diri dari fanatisme dan justru Islam yang sebenarnya menyerukan toleransi, saling kasih, saling sayang, menyebarkan spirit kasih sayang kepada setiap bangsa, dan ia bersama dengan kelompok mana pun.
Tampak jelas semua itu berpangkal dari kepentingan politik dan hegemoni internasional yang membentangkan tali-temalinya untuk memangsa, memecah belah, dan mencerai-beraikan kita. Menyibukkan sebagian kita dengan sebagian yang lain sehingga lupa pada masalah substansial serta keburukan rupa Islam dan penganutnya di mata semua agama dan negeri lain. Bahkan, hampir-hampir kekuatan itu mencapai tujuan dan menggapai harapannya.
Dari sinilah muncul pentingnya membahas masalah Islam ahlikiblat serta kriteria-kriteria keislaman dan kekafiran sehingga kita mampu keluar dari jaring laba-laba setan yang dipasang untuk kita. Dari sini pula muncul ide untuk menulis buku ini yang dimaksudkan untuk menyingkap tirai dari pandangan para cendekiawan dan pemikir Ahlusunnah tentang Syi’ah dan apa-apa yang dikemukakan para cendekiawan tersebut, yaitu penghormatan dan kecintaan terhadap kelompok yang teraniaya ini. Pun buku ini mengetengahkan beberapa fatwa bersama yang dikeluarkan terkait keislaman Syi’ah.