ICC Jakarta – Tanggal 7 Safar merupakan hari kelahiran Imam Musa Kazhim as. Beliau lahir pada tahun 128 H dan merupakan Imam ketujuh dari urutan para Imam Ahlulbait as. Bulan Safar artinya adalah bulan duka keluarga Rasulullah saw, hari-hari ketika para tawanan dari keluarga Imam Husain as diarak dari Kufah menuju Damaskus, Suriah. Hari-hari seperti ini mereka masih berada dalam perjalanan. Karena itu saya berusaha menggabungkan dua momen penting ini. Satu sisi adalah apa yang bisa kita ambil dari Imam Musa Kazhim as dan pada saat yang sama apa yang kita bisa ambil dari kebangkitan Imam Husain yang masih berlanjut pasca-Asyura dengan perjalanan para tawanan Imam Ali Zainal Abidin as, para wanita, dan anak-anak keluarga Imam Husain yang merupakan keluarga Rasulullah saw.
Salah satu yang bisa disampaikan adalah sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Musa Kazhim as yang dalam riwayat itu menunjukkan apa yang menjadi tugas kita sebagai seorang mukmin. Imam Musa Kazhim as menyebutkan dalam sebuah riwayat yang disebutkan di dalam surat di dalam kitab Tuhaf al-‘Uqul halaman 386, Imam Musa Kazhim bersabda, Mâ ba’tsallahu anbiyâ-ahu wa rasûluhu ilâ ‘ibadihi illa liya’qilu ‘anillah faahsanuhum istijabâtan ahsanuhum ma’rifatan lillah wa ‘alamuhum bi amrillah ahsanuhum ‘aqlan wa’aqalahum ‘arfauhum darajatan fi al-dunya wa al-âkhirah.
Dalam hadis Imam Musa Kazhim as yang sangat pendek ini mengandung berbagai mutiara yang sangat berharga dalam kehidupan kita. Hal itu juga sekaligus pelajaran dari kebangkitan Imam Husain as, bahwa kita hidup haruslah memahami dan mengenal dengan baik apa tugas kita dalam kehidupan ini. Imam Musa Kazhim as bersabda, “Allah Swt tidak mengutus para nabi-Nya dan para rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya kecuali hamba itu harus atau untuk mengenal siapa Allah Swt. Maka sebaik-baik orang yang kemudian memenuhi tujuan adalah mereka yang paling baik pengenalannya terhadap Allah Swt, dan sebaik-baik mereka yang memiliki pengetahuan adalah mereka yang paling baik akalnya, dan paling berakalnya mereka adalah yang paling tinggi derajatnya di dunia dan di akhirat.”
Dan kebangkitan Imam Husain adalah kebangkitan yang mengajak manusia untuk sadar terhadap berbagai tugas yang dimiliki oleh manusia. Karena itulah kebangkitan Imam Husain tidak mengenal zaman. Benar kejadian itu (Asyura) telah terjadi pada waktu tertentu, tetapi ia adalah sebuah momentum, sebuah kejadian dalam sejarah yang akan hidup sepanjang masa karena membawa nilai-nilai yang universal, nilai-nilai yang mengingatkan kita, khususnya pada hari-hari seperti ini, apa yang menjadi tugas kita sebagai seorang manusia, tugas sebagai hamba Allah Swt. Mereka yang berhasil bersama Imam Husain saat itu adalah mereka yang mengenal dengan baik tugas-tugas mereka. Dan mereka yang tidak mampu menundukkan hawa nafsunya untuk mengalahkan berbagai hal lainnya sehingga tidak bersama Imam Husain, bahkan berada di barisan musuh, adalah mereka yang tidak mengenal tugas-tugas mereka. Mereka yang tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai hamba Allah. Karena itu, mengenal tugas adalah sesuatu yang sangat penting.
Sebagaimana dalam hadis ini, Imam Musa Kazhim as menyebutkan kepada kita bahwa setiap kita harus mengenal tugas kita, tugas sebagai hamba Allah harus mengenal Allah Swt. Dengan mengenal Allah kita akan mengenal nabi kita, dan dengan mengenal nabi kita, kita juga akan mengenal para Imam yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw sebagai perintah dari Allah Swt, setelah wafatnya Rasulullah saw, yang harus menjadi panutan-panutan di setiap zamannya. Dengan begitu, kita akan tahu apa tugas-tugas keseharian kita.
Penting untuk disadari bahwa masing-masing kita punya tugas yang sama, tetapi juga ada tugas-tugas khusus bagi masing-masing kita. Memang semua kita punya tugas yang sama, mengabdi, menyembah Allah Swt, melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan oleh Allah Swt kepada kita, baik itu berhubungan dengan fisik kita seperti kewajiban salat lima kali sehari semalam, kewajiban berangkat menunaikan umrah dan haji bagi mereka yang mampu, yang berhubungan dengan fisik kita sebagaimana juga ada kewajiban puasa di bulan suci Ramadan, dan ada juga kewajiban untuk mengeluarkan sebagian harta kita dalam bentuk khumus, zakat, infak dan sejenisnya.
Itu semua adalah kewajiban yang sama rata bagi setiap orang setelah memenuhi persyaratan-persyaratannya. Tetapi ada kewajiban-kewajiban yang berbeda sesuai profesi kita, sesuai dengan sejauh mana pengetahuan kita, sesuai dengan apa yang kita pilih untuk kita berada di dalamnya. Karena itu, menyamakan semua orang untuk berkewajiban yang sama, selain apa yang telah kami sebutkan tadi misalnya sebagai seorang laki-laki yang berkewajiban untuk menghidupi keluarganya itu adalah sebagai sesuatu yang salah. Masing-masing kita punya kewajiban-kewajiban yang berbeda. Jika Anda sebagai seorang polisi, kewajibannya akan berbeda dengan Anda sebagai seorang dokter. Begitu juga Anda seorang dokter, berbeda kewajibannya dengan Anda sebagai seorang guru atau dosen. Jika Anda sebagai seorang guru atau dosen, berbeda kewajibannya dengan Anda sebagai seorang pedagang, businessman, misalnya, ataupun Anda menjadi pegawai negeri dan pegawai swasta di berbagai bidang.
Semua punya kewajiban dan itu akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah atas berbagai kewajiban yang harusnya Anda penuhi. Tapi jika Anda tidak lakukan atau ketika Anda mengabaikan dan berbuat yang tidak sempurna pada tugas-tugas Anda, maka itu juga bagian yang akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. Ulama kita mengajarkan betapa kewajiban-kewajiban itu haruslah ditunaikan. Apalagi ketika berhubungan dengan waktu. Ketika Anda punya kewajiban menggunakan waktu dari jam tertentu sampai jam tertentu, maka tidak boleh Anda mengabaikannya. Atau Anda mengisi dengan waktu yang lain. (Jika itu terjadi) Anda korupsi dari sisi waktu. Semua itu ada hitungannya di sisi Allah Swt.
Ulama kita bahkan dalam kitab-kitab fikihnya seperti Imam Ali Khamenei, misalnya, dalam jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan fatwa, beliau menyebutkan ketika ditanya, “Bolehkah kita melakukan, katakanlah, membaca Alquran atau melakukan salat-salat sunnah di jam-jam kantor kita?”, beliau menjawab, “Itu tidak boleh kecuali dilakukan pada waktu istirahat yang memang hak kita untuk tidak berada pada jam kantor kita.” Ini adalah sesuatu yang harus kita pahami dengan baik sehingga tidak kita abaikan begitu saja dan, yang kedua, sehingga kita tidak melakukan hal-hal lain yang bukan tugas kita, yang bukan profesi kita, yang bukan tanggung jawab kita.
Banyak di antara kita yang karena tidak memahami bahwa tugas itu berbeda-beda, menganggap tugas menyampaikan, katakan, menyampaikan dakwah Islam, tugas menyampaikan berbagai ilmu dan ajaran Allah Swt yang kita sebut di dalam fikih akidah atau akhlak Islam menjadi tugas tak tentu, juga sebagian menganggap bahwa itu tugas semua orang, sehingga setiap orang berlomba-lomba—dengan apa yang saat ini kita miliki, di tangan setiap kita, dengan handphone yang kita gunakan—menyampaikan segala sesuatu. Padahal kita tidak dilengkapi dengan ilmu yang cukup banyak. Di antara kita dengan facebook atau whatsapp membahas berbagai pembahasan, padahal kita hanya mengetahui sedikit dan itu bukanlah spesialis kita untuk membahas, katakan apa yang saat ini dihadapi oleh kita semua, kondisi pandemi covid-19, membahas bermacam-macam padahal kita bukan ahlinya. Kita bukan dokter, kita bukan ahli di bidang virus.
Begitu juga ketika seseorang membahas hukum-hukum Islam, berdebat dengan yang lain, berdebat dalam berbagai persoalan agama dan bahkan memberikan penilaian-penilaian bahwa yang begitu salah, yang begitu berlebihan, yang begitu adalah ekstrem, dan seterusnya, padahal itu bukan tanggung jawabnya; padahal itu bukan bagian dari pengetahuan yang harusnya dia kuasai terlebih dahulu, baru kemudian dia berada di jalur itu. Semua itu akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. Tidak cukup niat baik sehingga kita akan bebas daripada tanggung jawab. Tidak cukup niat baik untuk kemudian kita tidak dipersalahkan. Tidak cukup niat baik untuk kemudian kita dianggap akan mendapatkan pahala dengan apa yang kita lakukan. Bisa saja berbagai perbuatan yang menurut kita baik tapi ternyata itu adalah salah, ternyata justru itu menyesatkan, ternyata justru itu menjauhkan kita dari Allah Swt.
Di dalam surah Al-Kahfi, Allah Swt menyebutkan bahwa adanya segolongan orang yang menyangka bahwa dia berbuat baik, Yahsabûna annahum yuhsinûna shun’an. Padahal mereka justru berada dalam kesesatan. Mereka menyangka bahwa mereka melakukan kebaikan, padahal justru apa yang mereka lakukan menyesatkan. Apa yang mereka lakukan justru akan menjauhkan diri mereka dari Allah Swt.
Marilah kita merenung, marilah kita kembali kepada diri kita masing-masing, marilah siapkan waktu untuk kemudian kita memikirkan apa yang menjadi tugas kita. Marilah kita berusaha melakukan tugas-tugas kita sekuat tenaga, tugas yang berhubungan dengan Allah secara langsung, begitu juga tugas sosial yang berhubungan dengan orang di sekitar kita. Baik kita sebagai ayah, atau kita sebagai ibu, atau kita sebagai anak, ataukah kita sebagai mereka yang punya jabatan tertentu di tengah masyarakat. Semua harus kita kenali tugas-tugas kita untuk kita lakukan sebaik-baiknya. Pada saat yang sama, kita kenal bukan tugas kita, maka tidak perlu untuk buang-buang waktu kita, yang pasti membuang waktu itu justru akan mengorbankan waktu yang seharusnya kita gunakan untuk tugas kita yang semestinya.
Dengan demikian, pada Muharam dan Safar ini, kita memperingati kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain yang di dalamnya terdapat berbagai pelajaran penting, yang tidak terbatas oleh tempat dan waktu, di antaranya adalah bagaimana kita seharusnya mengenal tugas-tugas kita dan melaksanakan tugas-tugas kita dengan sebaik-baiknya. Selain itu, memiliki makna bahwa kita harus membumikan, kita harus merefleksikan berbagai nilai yang diperjuangkan oleh Imam Husain dan keluarganya serta sahabat-sahabat setianya, untuk kita juga mengambil peran dalam hidup kita dalam melaksanakan tugas-tugas keseharian.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Abdullah Beik, Jumat 25 September 2020, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda