Ada sebuah ungkapan dari Imam Ali Karramallahu Wajha yang menyebutkan ketika beliau ditanya apakah engkau melihat Tuhanmu. “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak Aku lihat.” Sepintas dapat disimpulkan bahwa Tuhan itu dapat dilihat dan disaksikan oleh manusia. Namun persoalannya bahwa segala sesuatu yang dapat dilihat dan diindera oleh penglihatan sifatnya materi dan tentu Tuhan tidak memiliki identitas sebagaimana segala sesuatu yang dapat dilihat. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini. Terima kasih.
Jawaban:
Dalil-dalil rasional memberikan kesaksian bahwa Tuhan tidak akan pernah dapat dilihat oleh indra penglihatan. Karena, mata kepala hanya dapat melihat benda-benda atau -lebih tepatnya- sebagian kualitas dari benda-benda tersebut. Dan mata tidak akan pernah dapat melihat sesuatu yang bukan benda atau tidak memiliki kualitas kebendaan. Dengan kata lain, sekiranya sesuatu dapat dilihat dengan mata kepala, niscaya ia memiliki ruang, sisi dan materi. Sementara Dia lebih unggul dari semua ini. Ia adalah wujud Nir-batas. Atas dasar ini, Dia berada di luar alam materi, sebab materi segala sesuatu itu terbatas.
Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menceritakan –misalnya- Bani Israel dan permintaan mereka untuk melihat (ru’yah) Allah Swt. Dengan tegas, Al-Qur’an menafikan kemungkinan untuk dapat melihat Allah Swt.
Anehnya, mayoritas pemeluk mazhab Ahli Sunnah berkeyakinan bahwa sekiranya Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, Dia akan dapat dilihat pada Hari Kiamat kelak. Penyusun tafsir Al-Manâr menegaskan, “Ini adalah akidah Ahlusunah dan ulama hadis.”[1]
Lebih aneh lagi, para pemikir kontemporer (baca: para cendekiawan) juga cenderung kepada penafsiran seperti ini, bahkan, dengan getol membela pendapat ini. Sementara kerapuhan pandangan ini sangat jelas sehingga tidak memerlukan pembahasan. Karena, relasi dunia dan akhirat (dengan memperhatikan prinsip Kebangkitan [ma’âd] Jasmani) tidak berbeda dalam masalah ini. Yakni, apakah Allah swt yang memiliki wujud nonmateri pada Hari Kiamat akan berubah menjadi wujud materiel dan dari derajat “Nir-batas” akan merosot ke derajat “terbatas”? Apakah Dia pada Hari Kiamat akan berubah menjadi benda dan subjek sifat-sifat benda? Dan apakah dalil-dalil rasional atas kemustahilan melihat Allah Swt. tidak memberikan perbedaan antara dunia dan akhirat? Sementara dalil rasional dalam ranah pembahasan ini tidak dapat berubah.
Adapun dalih yang dibawakan oleh sebagian mereka, yaitu bahwa boleh jadi di alam lain, manusia dapat melihat dan menangkap dalam pola lain, tidak dapat diterima sepenuhnya. Sebab, sekiranya maksud melihat ini adalah menangkap dengan pola materiel dan fisikal, bukan dengan mata hati dan kekuatan akal yang dapat menyingkap keindahan Tuhan, asumsi ini mustahil berlaku pada Tuhan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Maka itu, pandangan di atas yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan di dunia ini, akan tetapi mukminin dapat melihat-Nya pada Hari Kiamat, adalah sebuah kepercayaan yang irasional.
Satu-satunya alasan yang menyebabkan mereka membela kepercayaan ini adalah hadis yang disebutkan di dalam kitab-kitab induk hadis mereka yang menyebutkan bahwa Tuhan bisa dilihat pada Hari Kiamat. Akan tetapi, tidakkah kerapuhan pandangan ini –berdasarkan hukum akal- merupakan dalil atas adanya intervensi terhadap hadis itu dan invaliditas kitab-kitab yang memuat hadis-hadis seperti ini? Jika kita tidak tafsirkan hadis ini sebagai penyaksian mata hati atau sesuai dengan hukum akal, selayaknya kita tinggalkan saja hadis-hadis semacam ini.
Atau, jika dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur’an terdapat redaksi -yang secara lahir- menyiratkan bahwa Tuhan dapat dilihat, seperti ayat: “Wajah-wajah ketika itu berseri-seri, sembari melihat kepada Tuhannya” (QS. al-Qiyamah [75]: 23-24) dan ayat: “Tangan Tuhan berada di atas tangan mereka” (QS. al-Fath [48]: 10), semua itu mengandung arti figuratif (majâzi), lantaran tidak satu pun ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum akal.
Menariknya, hadis-hadis Ahlul Bait menafikan dengan tegas kepercayaan keliru seperti ini, dan dengan redaksi yang telak mengkritisi orang-orang yang memegangnya. Misalnya, salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s., Hisyam berkata, “Aku berada di sisi Imam Ash-Shadiq a.s. ketika Muawiyah bin Wahab (salah seorang sahabat Imam, -AK.) datang dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah! Apa pendapat Anda tentang riwayat yang datang dari Nabi saw. yang menyebutkan bahwa beliau melihat Allah Swt.? Bagaiamana Nabi saw. dapat melihat-Nya? Demikian pula dalam riwayat lain yang dinukil dari beliau saw., bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Allah Swt. di Surga. Bagaimana mereka akan melihat-Nya?’
Imam Ash-Shadiq a.s. tersenyum dan berkata, “Wahai Mu’awiyah bin Wahab! Alangkah buruknya manusia yang telah berusia tujuh puluh -(atau delapan puluh)- tinggal dan hidup di kerajaan Tuhan dan menikmati karunia-Nya, tetapi belum juga mengenal-Nya dengan baik.
“Wahai Muawiyah bin Wahab! Nabi saw. sekali-kali tidak pernah melihat Allah Swt. dengan indra penglihatan ini. Ada dua macam penyaksikan; penyaksian dengan mata hati (batin) dan penyaksian dengan mata kepala. Setiap orang yang berkata bahwa Nabi saw. menyaksikan Tuhan dengan mata hati, ia telah berkata benar. Namun, bila ia mengatakan bahwa Nabi saw. menyaksikan-Nya dengan mata kepala, ia telah berdusta dan ia telah mengingkari Tuhan dan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena, Nabi saw. bersabda, ‘Barangsiapa menyerupakan Allah dengan hamba-Nya, sungguh ia telah kafir.’”[2]
Dalam riwayat yang lain sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Tauhid Ash-Shaduq yang dinukil dari Ismail bin Fadhl yang berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s., ‘Apakah Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat?’ Beliau menjawab, ‘Allah Swt. suci dari semua ini …. Mata tidak dapat melihat selain segala sesuatu yang memiliki warna dan kualitas, sementara Allah adalah pencipta warna-warna dan kualitas-kualitas.’”[3]
Menariknya, di dalam hadis ini khususnya disebutkan
kalimat warna. Dewasa ini, terbukti bahwa benda itu sendiri tidak dapat
dilihat; ia akan terlihat beserta warnanya. Maka, jika suatu benda tidak
memiliki warna, ia tidak akan pernah terlihat.[4]
[1] Tafsir al-Manâr, jilid 7 hal. 653.
[2] Ma’âni al-Akhbâr sesuai dengan nukilan dari tafsir al-Mizân, jilid 8, hal. 268.
[3] Nûr ats-Tsaqalaîn, jilid 1, hal. 753.
[4] Tafsir Nemûneh, jilid 5, hal. 381.