ICC Jakarta – Apa yang dimaksud dengan kehendak Tuhan? Tentu saja kehendak atau iradah manusia tidak sama dengan kehendak yang ada pada Allah swt. Karena, manusia terlebih dahulu mengkonsepsikan (tashawwur) sesuatu, meminum air, misalnya, lalu ia menimbang manfaat dari meminum air tersebut. Dan setelah memastikan (tashdiq) manfaat itu, keinginan (syauq) dan antusias untuk melakukan tindakan meminum terwujud dalam dirinya. Dan tatkala keinginan mencapai puncaknya, lahirlah perintah untuk mewujudkannya. Maka ia pun bergerak untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Akan tetapi, kita ketahui bahwa tidak satu pun dari konsepsi (tashawwur), afirmasi (tashdiq), syauq (keinginan), perintah, diri (nafs), dan gerakan otot dapat dinisbahkan kepada Allah swt. Karena, semua ini adalah perkara hâdits (sebelumnya tidak ada, kemudian mengada).
Lalu, apakah maksud dari kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Jawaban:
Dalam hal ini para ulama Kalam dan filsafat Islam mengkaji makna yang sesuai dengan wujud Tuhan yang sederhana; tak tersusun (basîth) dan bebas dari segala macam perubahan ini. Mereka menyimpulkan bahwa kehendak (irâdah) Allah swt. terdiri dari dua bagian:
a. Iradah Dzatiyah (kehendak dalam tahap dzat).
b. Iradah Fi’liyah (kehendak dalam tahap tindakan).
a. Kehendak Dzatiyah
Kehendak dzatiyah Tuhan adalah ilmu terhadap sistem terbaik pada alam penciptaan, dan kebaikan para hambanya terdapat pada hukumsyariat.
Ia mengetahui sebaik-baiknya sistem untuk alam semesta. Dan setiap wujud pada setiap tingkatan harus bersifat baru. Ilmu ini merupakan sumber wujud bagi seluruh wujud. Dan kebaruan fenomena-fenomena yang terdapat pada setiap zaman adalah berbeda-beda.
Demikian juga dari sudut pandang hukum, Dia mengetahui letak maslahat seluruh hamba, dan ruh seluruh hukum adalah ilmu-Nya terhadap maslahat dan mafsadat.
2. Kehendak Fi’liyah
Kehendak Fi’liyah (perbuatan) Allah Swt. adalah pengadaan (îjâd) itu sendiri dan termasuk dalam sifat fi’liyah. Oleh karena itu, kehendak Allah Swt. atas penciptaan bumi dan langit adalah pengadaan bumi dan langit itu sendiri. Dan kehendak-Nya atas kewajiban shalat dan keharaman dusta adalah pewajiban dan pengharaman kedua perkejaan itu sendiri.
Pendeknya, kehendak Dzatiyah
Allah Swt adalah ilmu-Nya itu sendiri, dan kehendak Fi’liyah Allah Swt.
adalah pengadaan itu sendiri.[2]
[1] Sebagian filsuf beranggapan bahwa kehendak (irâdah) adalah syauq muakkad (keinginan yang sangat). Sementara, sebagian yang lain beranggapan bahwa selain syauq muakkad, ia juga bermakna perbuatan dan gerakan. Dan ia memandang kehendak (irâdah) itu adalah amalan nafsâni. (Perhatikan baik-baik)
[2] Tafsir Payâm-e Qurân, jilid 4, hal. 153.