ICC Jakarta – Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai pentingnya institusi keluarga dalam Islam. Pentingnya keluarga sedemikian sehingga sehatnya sebuah masyarakat tergantung dari bagaimana keadaan-keadaan keluarga yang membentuk sebuah masyarakat. Setelah menyinggung mengenai anjuran-anjuran untuk mengikuti sunah Rasulullah, kemudian Islam menjelaskan beberapa filosofi pernikahan yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
- Pernikahan, kunci ketenangan dan kedamaian
Dalam al-Quran surat Al-A’raf ayat 189, Allah Swt berfirman: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa tenang.” Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari diri yang satu dan pernikahan sebagai kunci ketenangan. Dalam surat Ar-Ruum ayat 21, Allah Swt berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadnya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Pernikahan akan menghadirkan ketenangan, karena laki-laki dan perempuan adalah pelengkap dan pemberi rasa bahagia satu sama lain. Ia tidak akan sempurna tanpa kehadiran pasangannya dan setiap yang kekurangan akan terdorong untuk mencari kesempurnaan. Begitu juga setiap yang membutuhkan akan memiliki kecenderungan alamiah untuk memenuhinya. Oleh karena itu, wajar jika ada daya tarik yang kuat dan alamiah antara seseorang dengan pelengkapnya dan ia akan merasa damai jika sudah meraihnya.
Dalam pernikahan, manusia akan memperoleh ketenangan dan kedamaian jasmani dan ruhani serta ketenangan dan kedamaian individual dan sosial. Sementara stabilitas kehidupan seseorang akan terganggu dengan meninggalkan pernikahan dan tidak tersalurkannya kebutuhan biologis. Orang yang belum membentuk rumah tangga juga kurang begitu peduli dengan tanggung jawab sosial dan sering terlibat dalam tindakan kriminal. Namun, mereka yang sudah berumah tangga akan merasa lebih bertanggung jawab dan lebih percaya diri, seolah-olah mereka menemukan jati diri baru.
Setelah menyinggung masalah ketenangan, al-Quran memaparkan prinsip mawaddah dan rahmah. Pada dasarnya, unsur ini adalah perekat dan penyatu masyarakat. Mawaddah dan rahmah antara suami-istri akan menciptakan nuansa kedamaian dan ketenangan.
Ayatullah Syahid Murthadha Mutahhari mengatakan, “Tidak mengherankan jika sebagian orang tidak bisa membedakan antara syahwat dan kasih sayang. Mereka mengira bahwa hal yang merekatkan suami-istri hanya terbatas pada hawa nafsu dan syahwat. Mereka tidak mengetahui bahwa ada kecenderungan-kecenderungan lain dalam diri manusia selain sifat egoisme dan oportunis, yang justru menjadi sumber pengorbanan dan manifestasi kemanusiaan. Hal ini dalam al-Quran dinamakan mawaddah dan rahmah.”
Pada intinya, sumber ketertarikan suami-istri dan ketenangan suami di bawah pancaran kasih sayang istri adalah mawaddah dan rahmah yang diberikan Allah Swt kepada keduanya. Tentu saja mawaddah dan rahmah ini terpisah dari hawa nafsu yang juga dimiliki oleh binatang.
2. Menjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia
Masalah penting dalam budaya Islam adalah menjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia. Islam melarang segala sesuatu yang akan menjatuhkan harga diri dan kemuliaan seseorang. Dan sebaliknya, mengajurkan sesuatu yang menyebabkan terjaganya kemuliaan manusia. Dalam surat al-Baqarah ayat 187, Allah Swt berfirman: “Istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan engkau juga pakaian bagi mereka.” Suami-istri ibarat pakaian satu sama lain dan akan menutupinya dari segala hal yang menjatuhkan kehormatan dan harga diri. Mereka saling menjaga diri agar tidak terseret ke dalam lembah dosa.
Suami-istri harus saling menjaga rahasia dan menjadi hiasan bagi sesama. Pakaian selain berfungsi sebagai hiasan, juga penutup rahasia keluarga agar aman dari akses orang asing. Mereka juga dianjurkan untuk berupaya menyelesaikan problema-problema rumah tangga secara tertutup, karena al-Quran menilai hubungan rumah dan keluarga sebagai perjanjian yang kuat dan tidak boleh menodainya dengan berbagai alasan. “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS: An-Nisaa:21).
3. Pintu menuju keberkahan
Pada dasarnya, kebanyakan laki-laki dan perempuan menghindari menerima tanggung jawab pernikahan dengan bermacam alasan seperti, kemiskinan dan ketidakmampuan finansial. Namun, al-Quran secara jelas mengingatkan bahwa pintu menuju rezeki dan berkah adalah pernikahan. Dalam surat An-Nuur ayat 32, Allah Swt berfirman: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ayat tersebut tidak hanya mengajak kedua orang tua untuk mempersiapkan mukaddimah pernikahan putra-putrinya, tapi juga menyeru siapa saja yang mampu untuk saling membantu. Jika ada kekhawatiran terkait masalah ekonomi, Allah Swt akan menganugerahkan karunia-Nya kepada mereka. Orang-orang yang masih sendiri kurang merasa bertanggung jawab dan tidak memanfaatkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh pendapatan halal. Akan tetapi setelah berumah tangga, mereka akan menjadi seorang pribadi sosial dan merasa bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Mereka akan memanfaatkan seluruh kapasitasnya dan mengambil inisiatif untuk mengatasi berbagai problema hidup.
Imam Jakfar Shadiq as berkata: “Barangsiapa yang meninggalkan perkawinan karena takut miskin, maka ia telah berburuk sangka kepada Allah Swt.” Dalam riwayat lain, Imam Shadiq as berkata: “Rezeki ada bersama istri dan anak-anak.” Selain bantuan materi, pertolongan ghaib Tuhan juga akan membantu orang-orang yang menikah demi menjaga kemuliaan dan kesuciannya.
4. Kelanjutan dan kelestarian generasi manusia
Dalam kitab Tauhid Mufaddhal, Imam Jakfar Shadiq as menganggap kebutuhan-kebutuhan yang didasari oleh syahwat sebagai faktor kelanjutan hidup manusia. Allah Swt telah menempatkan sebuah penggerak dalam struktur psikologi manusia, yang akan mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Imam Shadiq as berkata: “Renungkanlah aktivitas-aktivitas manusia mulai dari makan, tidur, dan menyalurkan kebutuhan biologis serta hal-hal lain yang sudah diatur. Sesungguhnya Allah Swt telah menempatkan kekuatan penggerak dalam diri manusia. Kekuatan itu akan mendorong mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.”
5. Kesehatan mental dan keterjagaan dari dosa
Kebutuhan biologis merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan pada estetika, kasih sayang dan cinta. Naluri kebinatangan akan membawa manfaat bagi manusia selama disalurkan secara benar, proposional, dan legal, namun akan tergolong sejenis penyakit jika bersikap berlebihan. Kini, para ilmuan menemukan berbagai jenis penyakit akibat menuruti keinginan hawa nafsu dan menyalurkannya dengan cara-cara yang tidak benar.
Islam mengadopsi dua cara untuk menjaga kesehatan mental seseorang. Jalan pertama adalah pernikahan. Sementara cara kedua adalah menerapkan batasan-batasan tertentu untuk mencegah pergaulan bebas, yang dapat meruntuhkan nilai-nilai dan menghancurkan sebuah bangsa.
Kesimpulan
Keluarga sebagai poros pencipta ketenangan dan kasih sayang, memiliki tempat istimewa dalam Islam. Orang tua dan keluarga punya peran dominan dalam rumah tangga untuk memberi bimbingan dan petunjuk kepada putra-putrinya. Problema keluarga mendapat perhatian berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti, sosiologi, psikologi, kriminologi dan ilmu pendidikan.
Kajian terhadap sejumlah ayat dan riwayat akan mengantarkan kita pada filosofi pernikahan antara lain, pernikahan, faktor ketenangan dan kedamaian, penjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia, pintu menuju keberkahan, jalan melestarikan generasi umat manusia, dan solusi menjaga kesehatan mental dan terhindar dari dosa.
Oleh karena itu, kegoncangan bangunan keluarga dan keruntuhan sistem luhur masyarakat harus dicegah dengan menjaga lingkungan privasi keluarga, mendorong pernikahan, mencegah pergaulan bebas, dan mempermudah pernikahan. Metode seperti ini akan melahirkan keluarga bahagia dan masyarakat yang sehat. (Sayyid Eshaq Hosseini Kohsari)