Bagaimana cara bertransaksi dengan hutang piutang menurut Ahlulbait As?
Jawaban:
Islam merupakan ajaran yang sempurna dan lengkap yang mengatur seluruh sisi dan dimensi kehidupan umat manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengatur tatacara beribadah saja, tetapi juga mengatur tatacara muamalah, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dengan itu, ajaran Islam juga mengatur masalah hutang piutang, baik di dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis dan riwayat. Dalam surah Al-Baqarah ayat 282 dengan jelas Allah Swt telah memberikan aturan mengenai hutang piutang. Secara singkat dan global –berdasarkan ayat tersebut- dapat kami sampaikan sebagai berikut:
1.Apabila seseorang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain, maka hendaklah ia mencatatnya dengan baik. Hal itu demi menghindari kesalah pahaman yang mungkin bisa saja terjadi di masa mendatang.
2.Anjuran mencatat itu tidak hanya khusus dalam masalah hutang piutang saja, bahkan berbagai muamalah lainnya pun hendaknya dilakukan pencatatan yang baik dan jelas. Hal itu dapat dipahami dari kata “Addain” yang memiliki makna lebih luas dari kata “Al-Qardh”.
3.Hendaknya yang mencatat hutang piutang dan muamalah tersebut adalah orang ketiga yang bisa dipercaya oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Hal itu untuk menjaga kepercayaan dan keyakinan masing-masing pihak atas keabsahan transaksi yang mereka lakukan dan demi menghindari ikut campurnya salah satu pihak dalam pencatatan tersebut. Tetapi apabila kedua belah pihak sudah saling percaya dan merasa aman dari kesalah pahaman, maka dalam mencatat teransaksi tersebut tidak lagi diperlukan orang ketiga.
4.Orang ketiga yang bertugs mencatat muamalah dan transaksi tersebut, hendaknya bersifat jujur, menjaga amanat dan senantiasa membela yang haq sehingga ia mencatat segala realita yang ada dan yang semestinya. Lebih dari itu hendaknya si pencatat akad dan transaksi tersebut mengerti hukum-hukum muamalah dengan baik, memperhatikan syarat-syarat kerjasama yang baik dan mempunyai tekad untuk menolong kedua belah pihak yang melakukan muamalah atau hutang piutang.
5.Hendaknya salah satu pihak yang melakukan muamalah dan hutang putang itu, khususnya pihak yang berhutang atau yang meminjam (madin) mendiktekan muamalah dan kesepakatan tersebut secara terperinci, seperti jumlah harta atau uang yang dipinjamnya, masa pengembaliannya, jenis mata uangnya, dan lain sebagainya. Dan si pencatat hendaknya mencata semua yang didiktekan oleh madin(yang berhutang) kepadanya dan jangan ada yang ditinggalkan sedikitpun.
6.Dan setelah transaksi dan hutang piutang itu dicatat dengan baik dan lengkap, hendaknya ditandatangani oleh kedua belah pihak.
7.Kemudian ayat tersebut juga menjelaskan poin-poin penting lainnya terkait dengan masalah hutang piutang dan muamalah lainnya, seperti masalah peranan wali atas seseorang yang tidak memenuhi syarat dalam suatu muamalah karena masih kecil atau kurang sehat akalnya atau sebab-sebab lainnya. Sebagaimana pula disinggung masalah saksi, baik lelaki maupun wanita. Untuk mengetahui hal itu secara detil, Anda bisa merujuk kitab-kitab tafsir yang menjelaskan maksud ayat tersbut.
8.Aturan hukum Islam lainnya terkait dengan masalah hutang piutang dan pinjam meminjam adalah bahwa meminjamkan uang kepada orang lain jika dengan syarat adanya riba atau bunga atau kelebihan, maka hal itu termasuk riba yang diharamkan dan termasuk dosa besar. Dan hal itu termasuk “Riba Qardhi” yang dosanya paling rendah adalah seperti seseorang yang berbuat zina dengan ibunya sendiri. Baik syarat adanya bunga itu diucapkan secara terang-terangan ataupun dengan isyarat ataupun sudah menjadi kebiasaan masyarakat umum. Baik bunganya itu berupa uang atau jasa atau lainnya, dimana bunga dan manfaat itu kembalinya kepada si pemeberi pinjaman atau utuk keuntungan si pemberi pinjaman (da’in).
9.Apabila seorang muslim memberikan pinjaman tanpa bunga dan tanpa syarat apapun, maka si peminjam dianjurkan untuk berbuat ihsan atau berbuat baik kepadanya dengan memberikan hibah atau hadiah sebagai tanda terimakasih kepadanya.
10.Dengan membaca kitab-kitab fikih dan risalah amaliyah maraji’ dapat dipahami bahwa seseorang yang ingin meminjam uang atau sesuatu kepada orang lain (madin) tidak dibolehkan dan tidak dibenarkan berjanji atau memeberikan syarat ketika akad untuk memberikan sesuatu kepada si peminjam, baik berupa uang atau benda lainnya yang manfaatnya kembali kepada si pemberi pinjaman (da’in) dan hal itu termasuk riba yang diharamkan juga.
11.Apabila si peminjam (madin) ingin berbuat baik kepada si pemberi pinjaman (da’in), maka hendaknya ia harus menyembunyikan niat berbuat baiknya itu di dalam hati dan tidak boleh diucapkan ketika akad atau ketika sedang menyampaikan
hajatnya untuk meminjam sesuatu, baik berupa uang atau benda lainnya. Barulah nanti ketika si peminjam (madin) ingin membayar atau mengembalikan hutangnya itu, ia tambahkan dengan hadiah atau ihsan/kebaikan berupa uang atau benda lainnya. Dan hal ini sangat dianjurkan dan sangat terpuji di dalam ajaran Islam.
12.Adapun janji atau syarat dari pihak muqtaridh (peminjam) yang disampaikan ketika akad atau ketika meminjam kepada muqridh (pemberi pinjaman), apabila janji atau syarat itu berupa manfaat akhirat, maka hal itu dibolehkan. Misalnya si peminjam (muqtaridh atau madin) berkata kepada si pemberi pinjaman (muqridh atau da’in): Apabila Anda memebrikan pinjaman kepada saya berupa uang sebesar 10 juta rupiah, maka saya berjanji akan menyampaikan salam Anda kepada Rasulullah Saw ketika saya tiba di kota Madinah, maka janji semacam ini dibolehkan. [Tanya Islam.Net]