Siapakah Tuhan itu? Dan dengan dalil apa Tuhan dapat dibuktikan?
Jawaban:
Untuk menjelaskan jawaban kiranya kita perlu memperhatikan beberapa poin penting berikut ini:
- Konsep tentang Tuhan merupakan sebuah konsep yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap manusia bahkan oleh mereka yang mengingkari wujud Tuhan. Konsep ini terdapat dalam benak mereka sendiri. Lantaran semuanya tahu bahwa Tuhan adalah Pencipta seluruh entitas dan eksisten, Maha Kuasa untuk melakukan seluruh perbuatan, Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Hidup dan seterusnya, kendati mereka tidak menerima wujud Tuhan seperti ini.
- Meski konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum, namun mengenal hakikat dan esensi Zat Tuhan mustahil bagi manusia. Karena Zat Tuhan adalah nir-batas dan tanpa ujung. Di samping itu, juga karena zat dan tipologi manusia terbatas sehingga tidak mungkin baginya memahami hakikat Tuhan yang tidak terbatas. “Laa yuhithuna bihi ‘Ilman.” (sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya, Qs. Thaha [20]:110) Boleh jadi atas dalil ini, al-Qur’an dalam memperkenalkan Tuhan menjelaskan sifat-sifat jamal dan jalal seperti Maha Kaya, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Sayang, Maha Kasih, Maha Pencipta dan sebagainya. Di samping itu, melalui media empirik manusia dapat membina interaksi dengan benda-benda luaran dan memperoleh pengetahuan baginya sementara tidak ada yang semisal dan serupa dengan Tuhan Yang Mahakuasa, laisa kamtislihi syai..” (Tiada sesuatu apa pun yang menyerupainya, Qs. Syura [26]:11)
- Meski hakikat Zat Tuhan tidak dapat dikenal secara sempurna akan tetapi manusia melalui banyak jalan dapat memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan Yang Mahakuasa yang dapat dibagi menjadi beberapa jalan:
- Jalan rasional seperti burhân imkan dan wujub
- Jalan empirik dan indrawi seperti argumen keteraturan (burhân nazhm)[i]
- Jalan hati atau argumen fitrah.[ii]
- Jalan termudah dan terbaik untuk mengenal wujud Tuhan adalah jalan hati atau melalui argumen fitrah. Artinya pada lubuk hati manusia yang paling dalam terpendam pengenalan, kecenderungan dan kecintaan kepada Tuhan. Dalam diri manusia senantiasa terdapat poin nurani dan satu daya magnetis yang kuat dalam hati manusia yang merajut hubungan dengan dunia metafisika dan merupakan sedekat-dekat jalan menuju kepada Tuhan.[iii]
- Kendati mengenal Tuhan dan kecendrungan terhadap-Nya dan cahaya tauhid senantiasa terpendam dalam jiwa setiap manusia akan tetapi dengan adanya adab dan tradisi khurafat, pengajaran yang salah, kelalaian dan kesombongan, khususnya tatkala merasa sehat bugar dan sejahtera, maka terbentang tirai yang tebal dan lebar bagi manusia. Namun tatkala badai persoalan datang menghantam, tatkala manusia memutuskan seluruh harapannya pada segala sebab-sebab lahir dan memotong harapan dari segalanya, pada saat seperti ini seluruh tirai tebal dan lebar itu akan tersingkap dan cahaya hati akan memendar. Semakin pikiran yang terkontaminasi dengan kesyirikan teramputasi dari hati dan menjadi murni dengan pelbagai kejadian ini[iv] maka mau-tak-mau manusia tergiring menuju dunia metafisika.
Atas dasar ini, terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang menandaskan bahwa melalui jalan ini, manusia akan mengingat nikmat fitrah dalam mencari Tuhan.[v]
Para pendahulu Islam juga merupakan orang-orang yang acapkali tenggelam dalam keraguan dalam masalah pengenalan kepada Tuhan dengan jalan ini mereka akan terbimbing sebagai contoh perisitwa sejarah berikut ini:
Seseorang yang bingung dalam masalah makrifatullah mengalami keraguan dan sangsi, datang kepada Imam Shadiq As dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Bimbinglah Aku untuk mengenal siapa Tuhan itu? Lantaran was-was telah menguasai dan mencengkram diriku. Imam bersabda, “Wahai hamba Allah! Apakah engkau pernah menaiki bahtera? Katanya, Iya, Pernah. Imam kemudian melanjutkan, “Apakah bahtera (yang pernah engkau naiki) itu rusak dan ketika itu tiada satu pun bahtera yang dapat menyelamatkanmu dan engkau tidak mampu berenang? Katanya, “Iya.” “Dalam kondisi seperti itu apakah hatimu tidak bersandar pada satu entitas yang dapat menyelamatkanmu dari kebinasaan?” sabda Imam Shadiq As. Kata orang itu, “Iya.” Imam Shadiq As bersabda, “Dialah Tuhan yang mampu menyelamatkanmu tatkala tiada satu pun yang mampu menyelamatkanmu atau mendengar suaramu meminta pertolongan.[vi]
Kesimpulannya bahwa setiap manusia memiliki makrifat, pengetahuan dan kecondongan kepada wujud Tuhan Yang Maha Kuasa, Berilmu, Pencipta, Hidup dan Pengasih dan seterusnya melalui jalan hati dan fitrah. Dan apabila ia lalai dari wujud Tuhan lantaran pelbagai pengaruh, namun ia tidak dapat mengingkari dalam kehidupannya sebuah peristiwa tidak terjadi dan seluruh harapannya terputus dari segala sesuatu, dan perhatiannya tidak jatuh kepada wujud Tuhan.[vii]
Terkadang seseorang dengan observasi akurat dan pemikiran teliti dalam sifat-sifat dan hubungan-hubungan pelbagai fenomena empirik maka ia akan terbimbing kepada wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, hikmah, kudrah. Jalan ini, yang berpijak pada penyaksian alam natural dan telaah empirik seluruh fenomena natural disebut sebagai jalan empirik. Dengan memperhatikan beberapa keutamaan tipikal jalan ini, al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap masalah observasi emprik dan dalam banyak ayat al-Qur’an menyeru manusia untuk merenungi fenomena-fenomena semesta yang ada di sekelilingnya, yang sekedudukan dengan tanda-tanda dan ayat-ayat takwini Tuhan. Sebagian periset Muslim, dengan bersandar pada salah satu tipologi alam natural yaitu desain dan keteraturan, mengemukakan sebuah argumentasi atas wujud Tuhan. Argumentasi seperti ini umumnya disebut sebagai argumen keteraturan (argument from design). Atas dasar itu, kita dapat menjadikan argumen keteraturan sebagai contoh nyata untuk mengenal Tuhan melalui jalan empirik.
Mengenal “Ayat“dalam al-Qur’an dan Riwayat
Pada beberapa tempat al-Qur’an, kita dapat menjumpai beberapa ayat (tanda-tanda) yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena natural. Fenomena-fenomena tersebut merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat atas wujud Tuhan dan mengajak manusia untuk memikirkan dan merenunginya. Mengenal Tuhan melalui fenomena merupakan pengenalan tanda-tanda takwini di alam penciptaan yang merupakan contoh nyata jalan empirik terkadang disebut sebagai “pengenalan ayat danafaqi.”[viii]
Sekelompok ayat-ayat lainnya, menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat takwini Ilahi dan keteraturan yang berlaku pada alam keberadaan dan pada wujud manusia, merupakan dalil dan pedoman yang akan membimbing orang-orang yang berakal kepada Sumber Transendental: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran [3]:190); Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Qs. Al-Dzariyat [51):20-21)[ix]
Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung tentang fenomena tertentu dan hal itu dipandang sebagai ayat dan tanda atas keberadaan, ilmu dan kekuasaan Tuhan. Ayat-ayat ini sedemikian banyak sehingga menyebutkan ayat-ayat tersebut memerlukan ruang dan waktu yang lain.[x]
Para pemimpin agama juga menekankan metode al-Qur’an pada “pengenalan ayat” Ilahi. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis kompleks dari Imam Shadiq As yang bertutur-kata kepada salah seorang sahabatnya.“Wahai Mufaddhal! Pelajaran dan dalil pertama atas eksistensi Sang Pencipta adalah pembentukan, pengumpulan bagian-bagian dan keteraturan penciptaan di alam ini. Oleh karena itu, jika engkau berfikir dengan baik dan benar mengenai alam ini, engkau akan dapatkan segala sesuatunya seperti Anda mendapatkan rumah dan istana yang didalamnya telah tersedia seluruh kebutuhan-kebutuhan hamba Tuhan. Langit seperti atap, yang diletakkan dengan tingginya, bumi seperti permadani yang telah dihamparkan, bintang-bintang seperti lampu-lampu yang telah disiapkan, mutiara-mutiara seperti cadangan yang tertimbun di dalamnya, dan segala sesuatunya terletak dalam tempatnya sendiri secara sempurna. Kita juga seperti orang yang diberikan rumah ini, dan segalanya diserahkan dalam ikhtiar kita. Segala jenis tumbuhan dan hewan disiapkan untuk kita untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan.” Segala hal di atas adalah dalil bahwa alam keberadaan ini telah diciptakan dengan ukuran yang sangat jitu, penuh hikmah, teratur, sesuai dan harmonis. Pencipta sesuatu itu adalah satu, Dialah yang Maha Pengatur, Pencipta keteraturan dan mengharmonisasikan bagian-bagian ciptaan-Nya.[xi]
Jalan Akal
Pada jalan ini, keberadaan Tuhan ditetapkan dengan premis-premis, kaidah dan metode yang murni rasional.[xii] Argumen-argumen dan dalil-dalil filosofis merupakan contoh-contoh nyata analisa-analisa akal dalam menetapkan wujud Tuhan. Jalan ini dibandingkan dengan dua jalan yang telah disebutkan di atas memiliki beberapa tipologi dan karakteristik tersendiri sebagaimana berikut ini:
- Kebanyakan argumentasi dan elaborasi rasional untuk menetapkan wujud Tuhan, lantaran berjalin berkelindan dengan pembahasan-pembahasan pelik dan jeluk filosofis sehingga tentu tidak terlalu berguna bagi mereka yang tidak familiar dengan pembahasan filsafat.[xiii]
- Salah satu keunggulan jalan akal adalah dapat digunakan sebagai jawaban ilmiah atas pelbagai keraguan yang dilontarkan oleh kaum atheis dan juga pada tingkatan ekspostulasi (ihtijaj) dan debat, jalan akal ini dapat membongkar kelemahan dan kerapuhan argumen-argumen para pengingkar,serta menjawab pelbagai tantangan rasionalitas yang tidak dapat dijawab kecuali dengan argumen-argumen rasional.
- Jalan rasional untuk menetapkan keberadaan Tuhan dapat berfungsi konstruktif dalam proses penguatan iman seseorang; karena bilamana akal seseorang tunduk di hadapan kebenaran maka qalbu dan hati juga akan mengikuti. Dari sisi lain, peran argumentasi dan inferensi rasional sangat signifikan dalam menguatkan iman seseorang dan juga dalam mengeliminir sangsi dan keraguan.[xiv]
Dengan memperhatikan performa tipikal jalan rasional dari satu sisi dan dengan memperhatikan kecenderungan fitrawi pikiran kuriositas manusia terhadap pembahasan-pembahasan jeluk rasional dan filosofis dari sisi lainnya, karena itu cendekiawan Muslim melakukan riset-riset mendalam pada bidang teologi rasional dimana sebagian dari riset tersebut berujung pada pendirian argumen-argumen baru untuk menetapkan keberadaan Tuhan atau menyempurnakan argumen-argumen sebelumnya. Salah satu argumen rasional yang paling kokoh dalam menetapkan keberadaan Tuhan adalah argumen yang dikenal sebagai burhan wujub dan imkan. Argumen ini telah diulas dalam beberapa model yang akan kita sebutkan salah satu dari ulasan tersebut di sini.
Argumen wujub dan imkan (sesuai dengan salah satu ulasan yang ada) dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Di alam luaran (khârij) sudah barang tentu dan niscaya terdapat sebuah entitas (realitas). Apabila entitas ini Wâjib al-Wujûd maka ideal kita tertetapkan (dimana Wajib al-Wujud ini adalah wujud Tuhan itu sendiri) dan apabila entitas tersebut adalah mumkin al-wujud (contigen being), mengingat kebutuhannya terhadap sebab dan kemustahilan tasalsul (infinite circle) dan daur (circular reasoning), maka ia membutuhkan entitas yang wujudnya bukan merupakan akibat dari entitas lainnya dan entitas semacam ini adalah Wâjib al-Wujûd (baca: Tuhan).
Untuk diketahui bahwa terkait dengan pertanyaan yang Anda ajukan bersifat buram, lantaran pertanyaan ini boleh jadi berkisar tentang wujud Tuhan? Dan juga boleh jadi bertalian dengan pelbagai tipologi dan sifat Tuhan, dari jawaban yang diberikan lebih mengarah pada penetapan dan pembuktian wujud Tuhan. Sekiranya Anda masih ingin mengetahui lebih jauh ihwal sifat-sifat Tuhan, kami persilahkan Anda melayangkan kembali surat ke meja redaksi. [Tanya Islam.Net]
[i]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 161.
[ii]. Metode ini disebut sebagai metode empirik tidak bermakna tiadanya inferensi dan penalaran rasional sama sekali, melainkan menitikberatkan pada fakta bahwa salah satu pendahuluan-pendahuluan asasinya adalah observasi empirik pelbagai fenomena natural.
[iii]. Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif Islâmi, jil. 1, hal. 41.
[iv]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 16, hal. 341-342.
[v]. Ibid, hal. 418-423.
[vi]. Seperti, “Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tetapi tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Qs. Al-Ankabut [29]:65); “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus.” (Qs. Rum (30): 30);”Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Dia-lah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan dengan tulus hati (sembari berkata), “Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.” Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar.” (Qs.Yunus [10]:12, 22 dan 23); “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkanmu ke daratan, kamu berpaling.” (Qs. Isra [17]:67); “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhan-nya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.” Apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Zumar [39]: 8 dan 49).
[vii]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 41.
[viii]. Disebutkan bahwa dalam tafsir “mengenal ayat” yang diadopsi dari al-Qur’an terdapat beberapa pandangan: Sekelompok periset “mengenal ayat” ini sebagai premis untuk membuat satu inferensi dan penalaran rasional – serupa dengan apa yang dijelaskan pada argumen keteraturan – atas keberadaan, ilmu dan kebijaksanan Tuhan. Namun berdasarkan pada penafsiran lainnya, ayat-ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk berpikir dan berkontemplasi tentang fenomena-fenomena natural, semata-mata mengingatkan adanya pengetahuan fitrawi dalam diri manusia kepada Tuhannya, tidak lain hanya mengingatkan. Pandangan ketiga, ayat-ayat yang menjadi pembahasan pada tataran jadal ahsan (berdialog dengan lebih baik) dengan orang-orang musyrik; mereka dengan keliru berpandangan bahwa berhala-berhala dan sesembahan lancung mereka berperan pada sebagian pengaturan urusan dunia dan tidak memahami dengan baik tauhid rububi. Silahkan lihat, al-Mizân, Allamah Thabathabai, jil. 18, hal. 154; Âmuzesy ‘Aqâid (Iman Semesta), jil. 1-2, hal. 68 dan Tabyin-e Barâhin-e Itsbât-e Wujud-e Khudâ, Jawadi Amuli, hal. 43.
[ix]. Dan juga silahkan lihat, Qs. Al-Baqarah (2):164; Qs. Al-Jatsiyah (45):3-6; Qs. Yunus (10):100-101; Qs. Ibrahim (14):10.
[x]. Ayat-ayat yang menegaskan bahwa fenomena-fenomena tipikal semesta adalah tanda-tanda keberadaan Tuhan dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi umum. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ranah kehidupan manusia seperti, Pertama, sistem umum penciptaan manusia, Jatsiya (45):4; Rum (30):20. Kedua, sistem pembentukan sperma dalam rahim, Ali Imran (3):6; Infithar (82):6-7; Taghabun (64):3; Hasyr (59):24; Nuh ():13-14. Ketiga, sistem epistemologi, Nahl (16):78. Keempat. Sistem perbedaan bahasa dan warna kulit, Rum (30):22; Fathir (35):27-28. Kelima, Sistem distribusi rezeki Ghafir (40):64; Isra (17):70; Jatsiyah (45):5 & 20; Fathir (35):3; Rum (30):4; Saba ():24; Yunus (10):31; Naml (27):64; Mulk (67):21; Anfal (6):26; Baqarah (2):22 & 172; Ibrahim (14):22 dan Dzariyat (51):58. Keenam, sistem tidur, Rum (30):23; Naml (27):86; Furqan (25):47; Naba ():9; Zumar (39):42. Ketujuh, sistem sandang, A’raf (7):26; Nahl (16):14 & 81. Kedelapan, sistem perumahan, Nahl (16):80. Kesembilan, sistem pernikahan, Rum (30:21; Syura (26):11; Fathir (35):11;Najm (53):45; Qiyamah (75):39; Nahl (16):72; Lail (92):3; Naba (78):8 dan A’raf (7):189.
[xi]. Silahkan lihat juga Nahj al-Balâghah, Khutbah 186; Al-Tauhid, Syaikh Shaduq, bab 2, hadis 2 dan Bihâr al-Anwâr, Allamah Majlisi, jil. 3, hal-hal.61, 82, 130 dan 152.
[xii]. Metode ini disebut sebagai metode rasional tidak bermakna bahwa yang digunakan dalam metode ini semata-mata akal, melainkan cukup dengan menggunakan premis-premis dan metode-metode rasional.
[xiii]. Makna ini dengan tidak berseberangan dengan keumuman jalan akal. Karena yang dimaksud dengan keumuman di sini adalah keumuman relatif sebagai kebalikan dari “kekhususan.” Artinya metode rasional tidak terkhusus pada seseorang tertentu, melainkan banyak orang yang dapat mendapatkan manfaat dari metode ini.
[xiv]. Metode rasional sangat bermanfaat bagi mereka yang belum mencapai penyaksian batin Tuhan dan penyaksian dengan mata hati. Menyitir Rumi,
Chesm agar Dari Tu Kurane Maya Warandari Chesm Dast Awar Asha
An Asha Hazm wa Istidlal Ra Cun Nadari Did Mikun Pishwa
Jangan datang dengan keadaan buta jika engkau memiliki mata
Lantaran engkau harus menggunakan tongkat untuk berjalan
Tongkat itu adalah argumen dan penalaran
Karena engkau tak memiliki penglihatan maka ikutilah para cendekia