Oleh: Rini Kustiasih
Islam Nusantara adalah Islam yang sudah paripurna karena terbentuk dari dialog antarbudaya di berbagai peradaban besar dunia, seperti Persia, Turki, India, Cina, Siam, dan peradaban lainnya.
Ini adalah pendapat KH Said Aqil Siroj seperti tertuang dalam biografinya, Meneguhkan Islam Nusantara.
Menarik sekali menyimak pendapat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj di hadapan sekitar 400 peserta International Summit Of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) dalam acara pembukaan pada Senin (9/11) lalu.
Dengan bahasa Arab yang fasih dan berapi-api, kiai asal Cirebon, Jawa Barat, itu membagikan pemikiran KH Hasyim Asyari tentang Islam dan nasionalisme serta bagaimana Islam di Indonesia berjalin hangat dengan kebudayaan lokal.
Kiai Said berbicara di depan peserta yang tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
Panitia mencatat ada 35 delegasi dari 25 negara asing yang hadir dalam konferensi itu, antara lain Inggris, Amerika Serikat, Austria, Yaman, Jordania, Sudan, Afrika Utara, Belarus, Rusia, bahkan Afganistan.
Ia menyitir ungkapan lama di NU, “Belum lengkap iman seseorang tanpa cinta Tanah Air.”
Perkataan itu sudah seperti sabda bagi orang NU, bahkan banyak warga NU yang mengira itu adalah hadis yang sahih. Padahal, itu adalah pendapat KH Hasyim Asyari, pendiri NU.
“Kiai Asyari adalah reformer, penggiat reformasi sejati. Ia juga seorang nasionalis tulen. Di masa penjajahan, ia menolak ketidakadilan penjajah yang hanya memperuntukkan sekolah bagi kalangan elite, sedangkan pribumi tidak boleh sekolah. Penjajah tahu, kalau pribumi tidak sekolah, mereka terus bodoh dan bisa terus dijajah,” kata Kiai Said.
Cinta Tanah Air, menurut Kiai Said, adalah karakter dasar bagi Islam Nusantara yang dibawakan NU. Islam Nusantara bukan mazhab baru atau sekte baru dari Islam.
Sebab, Islam Nusantara hanyalah sebutan atau konsep dari Islam yang secara alami berkembang di tengah budaya Nusantara.
Tanpa disebut Islam Nusantara pun, pemahaman dan pengakuan pada budaya dan kearifan lokal sedari dulu dilakukan NU.
Sejarah mengenal wali sanga atau wali sembilan yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa sejak abad ke-15. Mereka menggunakan metode dakwah yang lembut dengan akulturasi budaya lokal.
Wayang yang merupakan budaya Hindu menjadi sarana dakwah Islam. Begitu juga dengan musik, tari-tarian, sampai nyanyian kanak-kanak.
“Semua pesantren NU jika ditelusuri, pasti punya kaitan genealogis dengan wali sanga. Jika penelusuran itu tidak sampai pada wali sanga, itu bukan pesantren NU,” ujar Abdul Ghaffar Rozin, Ketua Asosiasi Pesantren NU.
Oleh karena itu, pola pendidikan dan dakwah yang dikembangkan di dalam pesantren NU sangat mengakomodasi seni budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar sebagaimana diwariskan wali sanga.
Santri lulusan pesantren NU tidak anti budaya dan karena itu relatif toleran. Sebab, mereka dibekali pemahaman bahwa budaya yang berbeda-beda adalah kenyataan sekaligus bagian dari keunikan Tanah Air yang harus dijaga.
Perbedaan tafsir
Namun, tidak semata-mata akomodasi budaya. Islam Nusantara juga merupakan hasil dialog antarbudaya, seperti diungkapkan Kiai Said dalam kutipan biografinya di atas.
Teks utama Islam yang berasal dari kultur Arab dipertemukan dengan realitas Nusantara yang multikultur. Ada Persia, Cina, Arab, Jawa, Melayu, Madura, Aceh, dan sebagainya.
Ahli hermeneutik dan semiotik (ilmu bahasa, simbol, dan teks) dari Jerman, Hans-Georg Gadamer, menyebutkan, interpretasi atas teks tidak pernah beku.
Ketika teks sudah diproduksi dan dibaca pembaca, pemahaman atas teks itu melahirkan suatu pemahaman baru yang merupakan hasil dialog antara teks dan pembaca.
Contoh praktisnya, teks Al Quran yang dibaca orang Indonesia bisa jadi berbeda maknanya ketika teks yang sama dibaca orang Eropa atau Amerika Serikat.
“Pemahaman atas teks tak pernah lepas dari konteks,” demikian Gadamer mengatakan.
Dalam kaitannya dengan paham Islam damai dan toleran oleh NU, Abdul Halim yang menulis Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama: Perspektif Hermeneutika Gadamer (2014) menguatkan pandangan itu.
Konteks pembaca yang berbeda melahirkan tafsir yang berbeda atas Al Quran dan hadis. Mengapa? Sebab, manusia pembacanya berasal dari kultur, sejarah, karakter, bahkan motivasi yang berbeda.
Perbedaan itu menyumbang pada hasil dialog atas teks yang berbeda pula. Tafsir atas teks menjadi berbeda.
Dengan kerangka berpikir itu, bisa dipahami mengapa Nico Prucha, peneliti soal Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), di dalam konferensi ISOMIL lalu tak habis pikir bagaimana mungkin sebuah teks yang sama bisa dipahami berbeda.
Peneliti dari University of Vienna, Austria, itu menampilkan video-video kekerasan ISIS yang disertai dengan ayat-ayat Al Quran. Namun, hal semacam itu tidak ditemui di Indonesia.
Apa sebabnya?
Kiai Asyari bertahun-tahun lalu telah menjawab pertanyaan Nico Prucha itu. Dengan landasan berpikir yang ramah dengan budaya dan kearifan lokal, NU menawarkan dialog yang saling menerima dan terbuka.
Tanah Air diterima sebagai bagian integral dari perjuangan keislaman. Nusantara bukan hanya sebuah konsep lokasi, ia menjadi sebuah titik pandang.
“Cinta Tanah Air adalah bagian dari iman,” demikian Kiai Said menyitir kembali ungkapan pendiri NU tersebut.
Oleh karena itu, dalam 16 poin yang menjadi hasil dari konferensi Islam moderat itu, NU tidak hendak memaksakan Islam Nusantara ke negara Islam lain.
“NU tidak bermaksud mendiktekan Islam Nusantara kepada negara Islam lainnya. Namun, NU menawarkan Islam Nusantara ini sebagai wawasan dan perspektif baru yang bisa diteladani negara Islam untuk mewujudkan Islam yang damai,” ujarnya.
Islam Nusantara yang mengakomodasi budaya serta ramah dan terbuka pada pandangan yang lain, menurut NU, adalah obat bagi penyakit radikalisme dan terorisme yang saat ini acap kali dikait-kaitkan dengan Islam.
Lebih dari itu, dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, negara-negara Islam di dunia sebaiknya mulai memikirkan untuk membangun harmoni antara Islam dan kebangsaan sebagaimana dilakukan NU di Indonesia.
“Negara Islam akan hancur jika mereka terus mempertentangkan antara agama dan kebangsaan. Barang siapa tidak punya Tanah Air, ia tidak punya sejarah. Barang siapa tidak punya sejarah, ia akan dilupakan,” ujar Kiai Said.
Hasil konferensi ISOMIL itu diharapkan bisa melahirkan inspirasi baru bagi negara-negara Islam di dunia dalam mewujudkan perdamaian dunia. Kelak, semoga saja waktu akan mengenang Islam Nusantara sebagai kontribusi Indonesia bagi perdamaian dunia.
Sumber: Kompas