ICC Jakarta – Bulan Syakban adalah bulan yang penuh dengan berkah. Bulan yang penuh dicintai oleh Rasulullah saw. Sering kali kita mendengar penjelasan mengenai keutamaan bulan Syakban, kemudian disebutkan bahwa bulan Syakban merupakan bulannya Rasulullah saw. Dalam hadis yang terkenal Rasulullah saw mengatakan, “Bantulah saya dengan kecintaan kalian kepada saya melalui puasa di Bulan Syakban.”
Salah satu peristiwa yang terjadi di bulan Syakban adalah peristiwa kelahiran Imam Mahdi afs. Kepercayaan kepada Imam Mahdi as adalah bahwa kelak di hari-hari mendekati hari kiamat atau mendekati akhir zaman akan ada seorang yang bergelar Al-Mahdi yang akan memimpin umat ini menuju kepada keadilan dan menyingkirkan segala bentuk kezaliman dari muka bumi. Kepercayaan akan datangnya orang yang memenuhi dunia dengan keadilan merupakan kepercayaan yang dianut bukan hanya oleh kelompok muslimin Syi’ah, tetapi bisa dikatakan seluruh kaum muslimin memercayai bahwa kelak akan ada orang yang memimpin umat ini menuju kepada keadilan.
Bahkan kepercayaan kepada Al-Mahdi dengan nama yang lain atau istilah yang lain dan gelar yang lain, dianut oleh umat-umat yang lain. Kita mengenal dalam sejarah panjang umat Bani Israil atau umat Yahudi, ada sebuah nama yang sering kali didengungkan bahwa mereka menantikan kedatangan mesias atau mesiah yang kelak akan menjadi juru selamat bagi mereka. Dalam kepercayaan dan tradisi umat-umat yang lain juga ada kepercayaan yang mirip dengan itu. Hanya saja kalau kita mau menyoroti dalam tubuh umat Islam kepercayaan tentang adanya Imam Mahdi as merupakan kepercayaan yang menyeluruh. Walaupun harus diakui di antara seluruh mazhab yang ada, mazhab Syi’ah Imamiyah lebih banyak berbicara mengenai Imam Mahdi as dibandingkan dengan muslimin mazhab yang lain.
Permasalahannya adalah kembali pada pemaknaan dari masalah imamah itu sendiri. Ketika Syi’ah Imamiyah menganggap bahwa imamah merupakan kepanjangan misi Rasulullah saw dan bahwa imamah merupakan hujah bagi Allah atas umat manusia di muka bumi, maka orang akan memandangnya sebagai suatu yang sangat penting. Muslimin Syi’ah memasukkannya dalam salah satu kepercayaan dasar dalam akidah. Kita kenal dalam akidah yakni ushuluddin yang lima adalah tentang imamah, dan imam ke-12 adalah Imam Mahdi afs. Karena itu, bagi muslimin Syi’ah masalah ini adalah masalah yang benar-benar krusial dan penting.
Hal kedua, mengapa masalah ini penting bagi muslimin Syi’ah adalah karena dalam kepercayaan muslimin bermazhab Dua Belas Imam, mereka memercayai bahwa Imam Mahdi as masih hidup di tengah-tengah kita. Bagaimana orang ketika meyakini bahwa pemimpinnya ada di tengah-tengah mereka, mungkin mereka tidak bisa bertemu, mungkin tidak ada hubungan secara langsung tetapi hubungan emosional tetap terbentuk. Karena apa? Karena Imam yang diyakini sebagai hujah Allah di muka bumi ada dan hadir di tengah-tengah kita. Walaupun ada jarak di antara kita. Ini permasalahan mengapa kaum muslimin Syi’ah Imamiyah 12 Imam lebih banyak berbicara mengenai Imam Mahdi. Padahal pembicaraan mengenai Imam Mahdi diyakini oleh seluruh kaum muslimin.
Misalnya ketika Allah swt berfirman dalam kitab sucinya, Huwalladzii arsala rasuulahu bil huda wa diinil haqqi liyuzhirahu ‘alad diini kullihi walau karihal musyrikuun (61: 9), Dialah Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa dinil haq dengan membawa kebenaran. Liyuzhirahu ‘alad diini kullihi. Untuk menonjolkan dan mengunggulkan agama-agama-Nya di atas semua agama. Para mufasir ketika menafsirkan ayat ini lalu membawakan umumnya riwayat yang dibawakan oleh mereka berkenaan dengan datangnya Imam Mahdi as. Kelak ketika dunia akan dipenuhi dengan keadilan umat berjuang bersama dengan Imam Mahdi as. Dan masih banyak lagi hal yang dibahas dalam sebagian ayat suci Alquran yang menunjukkan bahwasanya keyakinan tentang Imam Mahdi bukan keyakinan yang dimonopoli oleh Syi’ah Imamiyah.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Imam Mahdi as, bagaimana Allah Swt menjelaskan di dalam kitab suci Alquran, Wa laqad katabnaa fiiz zaburi mim ba’diz zikri annal arda yaritsuhaa ‘ibaadiyas shaalihuun (21:105). “Kami telah tetapkan di dalam Zabur setelah zikir bahwasanya bumi ini kelak akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”
Banyak penafsiran mengenai ayat ini hanya saja saya ingin membawakan beberapa poin penting yang bisa kita ambil kesimpulannya dan penafsirannya dari ayat yang barusan. Pertama adalah laqad katabnaa fiiz zaburi. Bahwa masalah yang akan dibicarakan dalam ayat ini adalah masalah yang sudah pernah disinggung oleh Allah Swt dalam kitab suci Zabur yang Allah turunkan kepada Nabi Allah Daud. Artinya, permasalahan ini bukan hanya permasalahan yang ada di dalam umat dan syariat Rasulullah saw.
Ketika Allah mengatakan, laqad katabnaa fiiz zaburi, lalu mengatakan, mim ba’diz zikri, berarti ada satu hal yang disebut dengan zikir yang datangnya setelah al-Zabur. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan dzikir adalah Taurat. Karena kitab Taurat adalah kitab yang turun setelah kitab Zabur Nabi Allah Daud, zamannya jauh setelah zamannya Nabi Musa as. Jadi, kalau ada kitab suci yang bernama Zabur dan turun kepada Nabi Allah Daud. Tentunya dzikir yang disebut yang disandingkan dengan Zabur tentunya tidak kalah keagungan dan kesuciannya dibandingkan dengan Zabur. Jika demikian, makna yang paling tepat adalah bahwa dia adalah kitab suci. Jika ia adalah kitab suci, kitab suci yang dikenal di kalangan Bani Israil, di kalangan agama Ibrahimik, sebelum Zabur, adalah kitab suci Taurat karena setelah Zabur, kitab yang dikenal adalah kitab Injil. Karena itu, bisa kita katakan bahwasanya Allah Swt menyebutkan masalah yang akan disinggung itu dalam kitab Zabur dan juga sebelumnya pada Kitab Taurat.
Mungkin penafsiran dzikir di sini adalah kitab-kitab yang sebelumnya, atau mungkin yang disebut dengan dzikir adalah sebuah ketentuan Allah yang jauh sebelum Allah menciptakan manusia dan menjadi ketetapan Allah di lauh mahfudz sana. Tapi yang jelas ini menunjukkan hal yang akan disinggung oleh Allah dalam ayat Alquran itu bukanlah hal yang baru dan dikenalkan pada zaman syariat Rasulullah Muhammad saw.
Apa isi dari pesan itu? isinya adalah annal arda yaritsuhaa ‘ibaadiyas shaalihuun, bahwa muka bumi yang Aku ciptakan ini kelak akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh. Di sini Allah menyebutkan tentang ardh, tentang bumi, tentang negeri. Kita bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan ardh di sini.
Kalau kita merujuk kepada kisah Bani Israil kemudian kisah bagaimana Bani Israil dizalimi oleh Firaun pada zaman itu sebelum Nabi Musa as datang, lalu Bani Israil harus sabar menanggung segala derita yang mereka alami dari kekejaman Firaun, kemudian Allah melalui nabi-Nya, Musa as, menjanjikan, Wa nuriidu an namunna ‘alaalladziinasastudh’ifuu fil ardi wa naj’alahum a immataw wa naj’amlahumul waaritsiin (28:5) Sebagaimana ditafsirkan oleh kebanyakan mufasirin, arti ardh di situ negeri di situ adalah negeri Mesir. Jadi Allah Swt, dengan ayat ini, mengatakan bahwasanya orang-orang yang ditindas di muka bumi ini, yaitu di negeri Mesir, siapa yang menindak Firaun? Karena ayat sebelumnya berbicara tentang Firaun dan ayat-ayat setelah berbicara tentang Firaun dan kekejamannya. Di situ Allah menjanjikan bahwasanya orang-orang yang ditindas akan mewarisi, akan menjadi penguasa di muka bumi, maksudnya adalah di tempat dia dizalimi yaitu di Mesir.
Kalau kita menafsirkan ayat Alquran dalam surah Al-Qashas ayat 5 ini hanya dalam yang berkaitan dengan Firaun saja, maka yang dimaksud ardh dan kekuasaan Allah yang janjikan kepada orang yang ditindas hanya kekuasaan negeri Mesir. Tetapi apakah benar bahwasanya Allah Swt menjanjikan hal itu kepada Bani Israil di Mesir saja.
Janji Allah bukan untuk Bani Israil tapi untuk seluruh manusia yang digelari oleh Allah‘ibaadiyas shaalihuun. Ini kalau kita merujuk pada ayat yang mengatakan, Wa laqad katabnaa fiiz zaburi mim ba’diz zikri annal arda yaritsuhaa ‘ibaadiyas shaalihuun, tentunya ini tidak ada hubungannya dengan Bani Israil. Tapi berhubungan dengan seluruh umat manusia. Jika berhubungan dengan seluruh umat manusia, berarti yang dimaksud dengan ardh bukan negeri Mesir sendirian tapi seluruh muka bumi. Kesimpulannya kelak akan ada satu zaman, zaman di mana bumi dan keseluruhan muka bumi ini akan jatuh ke tangan orang-orang yang saleh. Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang saleh?
Poin yang kedua adalah kata “saleh”. Umumnya orang mengatakan saleh adalah orang yang taat kepada Allah, orang yang patuh kepada Allah menjalankan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Itu adalah orang yang saleh. Lebih saleh lagi orang yang menjalankan hal-hal yang bersifat mustahab atau sunah dan meninggalkan hal-hal yang makruh demi mendapatkan rida Allah, demi mendapatkan derajat-derajat yang lebih tinggi di sisi Allah. Orang yang memiliki amal ibadah sunah lebih banyak dikatakan ini lebih saleh dari orang yang hanya melakukan ibadah yang wajib. Orang yang juga meninggalkan hal-hal yang makruh dipandang sebagai orang yang lebih saleh daripada orang yang hanya meninggalkan hal-hal yang haram.
Semakin orang mendekati kepada hal-hal yang bersifat kesucian, kebenaran, spiritualitas, maka orang itu akan semakin menjadi orang yang saleh. Kita tahu makna orang saleh seperti apa. Karena itu, ketika kita misalnya mendoakan orang yang baru punya anak, maka kita katakan semoga anaknya menjadi anak yang saleh atau salehah. Ketika kita melihat orang menikah, kita doakan semoga mereka mendapatkan keturunan yang saleh. Tentunya, ketika kita berdoa semacam itu apa yang ada di dalam kepala kita, yang ada adalah menjadi hamba Allah yang baik yang nanti ketika meninggalkan dunia akan masuk ke surga. Tetapi apakah makna saleh hanya seperti itu?
Makna Saleh
Mungkin orang yang mengatakan makna saleh adalah hubungannya dengan masalah akhirat saja merujuk kepada ayat-ayat suci Alquran yang mengatakan, Innal ladziina aamanu wa amilus shalihah, selalu iman dan amal saleh. Ketika Allah mengatakan tentang orang-orang bahwa manusia itu rugi, Innal insaana lafii khusr, Allah mengecualikan, Illal ladziina aamanu wa amilus shalihah. Hal-hal yang berhubungan dengan iman sering kali dikaitkan oleh Allah disandingkan dengan wa amilus shalihah. Kalau ditanya apa yang disebut dengan amilus shalihah, jawabannya adalah melaksanakan amal-amal yang baik. Apa amal yang baik melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan apa yang Allah larang itu?
Tapi apakah hanya semacam itu saja yang disebut dengan amal saleh? Jawabannya tentu tidak. Kata saleh artinya layak. Kata saleh artinya patut, cocok, sesuai, itu namanya saleh. Misal, kalau ada orang yang dikatakan memiliki kemampuan, mampu untuk mengetik, mengenal komputer dengan baik, dia bisa mengetik dengan cepat, dia bisa menguasai misalnya program Microsoft Word, kemudian dia akan kita panggil untuk bekerja di kantor untuk mengetik naskah-naskah yang kita miliki. Pertanyaannya, cocokkah dia untuk menempati posisi ini? Jawabannya cocok. Kalau kita gunakan dalam bahasa Arab, apakah dia saleh untuk jabatan ini ataukah tidak? Saleh, artinya sesuai atau cocok.
Misalnya, kalau orang yang mempunyai masalah pernapasan atau orang yang harus tinggal di suatu tempat yang udaranya bersih, dia tidak boleh tinggal di tempat yang kotor, lalu dia akan dibawa ke suatu tempat yang udaranya bersih. Pertanyaan, cocokkah tempat ini untuk hidupnya? Orang yang punya masalah ini, kalau kita gunakan dalam bahasa Arab, maka kata saleh yang muncul, apakah daerah ini saleh untuk orang-orang ataukah tidak? Ini mukadimah untuk kita memahami makna yaritsuhaa ‘ibaadiyas shaalihuun, hamba-hamba Allah yang saleh.
Di sini kalau kita merujuk kepada makna lughawi atau makna bahasanya, maka kita tidak akan membatasi kata saleh hanya orang yang melakukan salat tahajjud, yang melaksanakan salat sunah, melaksanakan ibadah sunah, puasa bulan Syakban dan yang lainnya. Kita akan mengatakan bahwa annal arda yaritsuhaa ‘ibaadiyas shaalihuun, bumi Allah ini akan diwarisi oleh orang-orang yang saleh. Artinya, dia saleh di sisi Allah, menjadi hamba Allah yang baik, melaksanakan perintah Allah, meninggalkan seluruh larangannya adalah dia memang layak untuk hidup di muka bumi. Dia akan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk kemakmuran bumi ini dan itu hanya akan terjadi nanti ketika Allah Swt mengizinkan Imam Mahdi as untuk hadir di tengah-tengah kita.
Nisfu Syakban
Nisfu Syakban adalah pertengahan bulan Syakban yang memang merupakan malam yang penuh dengan berkah. Dikatakan Allah memiliki malam yang yufraqu kullu amrin hakiim, di malam itu Allah menetapkan segala urusan, merinci segala urusan. Kemudian malam yang dikatakan, fiihaa yufraqu kullu amrin hakiim. Itu adalah malam lailatul qadr, yaitu Allah menentukan segala hal untuk satu tahun pada malam lailatul qadr, lalu lailatul qadr itu diberi kemuliaan oleh Allah sedemikian agung sehingga dikatakan malam itu para malaikat turun karena tanazzalul malaaikatu warruuhu fiiha, dan untuk lebih jelasnya kepada manusia dan menyentak manusia. Tentang keagungan malam lailatul qadr, Allah mengatakan, lailatul qadri khairun min alfi syahr, malam yang lebih mulia dibandingkan 1.000 bulan, maka ketahuilah jika malam lailatul qadr sedemikian agung. Maka ada malam lailatul qadr yang lebih yang seperti itu tetapi lebih kecil lingkupnya dan lebih kecil fadhilahnya, tapi ketika bandingannya dengan lailatul qadr maka malam ini adalah malam yang sangat besar, ialah malam nisfu Syakban.
Dikatakan dalam riwayat-riwayat, Allah memberikan ketentuan kepada hamba-hamba-Nya, menuliskannya pada malam nisfu Syakban dan menetapkannya pada malam lailatul qadr. Jadi, jangan sampai malam nisfu Syakban lewat begitu saja tanpa kita bisa memanfaatkan. “Ya Allah, hamba-Mu yang sekarang ini, di malam lailatul qadr ini, berusaha untuk mendapatkan rida-Mu. Catatlah hal-hal yang baik untuk kami semua di malam lailatul qadr.”
Jika Allah dan para malaikat menyaksikan bahwa kita di malam lailatul qadr menunjukkan bahwa kita adalah hamba Allah yang saleh, hamba Allah yang ingin menjadi orang yang saleh, setidaknya kita berharap Allah mencatat kita untuk tahun ini dan tahun-tahun berikutnya ke dalam kelompok orang-orang yang saleh. Penting sekali untuk bisa masuk ke dalam kelompok orang-orang yang saleh. Buktinya Nabi Allah Yusuf as dalam doanya juga mengatakan: “Ya Allah, gabungkan aku bersama orang-orang yang saleh.” Karena itu. kita berharap malam lailatul qadr, kita bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Selain itu malam nisfu Syakban adalah hari yang berhubungan dengan kelahiran Imam Mahdi afs. Di dalam kitab Bihar al-Anwar, juz 53 halaman 177, Imam Mahdi as mengatakan dalam sebuah riwayat yang cukup menyentak bagi kita. Kita selalu dalam salawat mengatakan, “Percepatlah, farj, untuk keluarga Muhammad dengan zuhur-nya Imamul Hujjah, Imam Mahdi as.”
Kita juga setiap kali berdoa kepada Allah dalam qunut kita atau dalam doa-doa keseharian kita, bahkan salah satu doa yang kita panjatkan saat kita sendirian hanya sedang dengan khusyuk kepada Allah kita memohon, “Ya Allah, percepatlah kedatangan Imam Mahdi as.” Kita selalu memohon supaya Imam Mahdi cepat datang ke tengah-tengah kita, tapi sayangnya apakah kita sudah melakukan hal-hal yang bisa membuat Imam Mahdi datang ke tengah-tengah kita dengan cepat?
Riwayat ini ingin menjelaskan kepada kita bahwa sebenarnya yang membuat Imam Mahdi lambat untuk datang, tidak lain dan tidak bukan adalah karena kita belum layak, kita belum menjadi kelompok orang-orang yang saleh yang layak untuk bersama dengan beliau. Jika belum ada orang-orang yang layak bersama beliau, apakah beliau akan datang? Jika beliau datang saat umat belum siap akan sangat mungkin terjadi peristiwa Karbala akan terulang, bukankah Allah hanya menyisakan satu hujah di muka bumi ini, yaitu Imam Mahdi as?
Jika peristiwa Karbala terjadi, maka habislah hujah, dan itu Allah menjaga supaya jangan sampai beliau mengalami apa yang dialami oleh kakeknya, Al-Husain as. Karena itu, harus ada orang-orang yang layak yang siap bersama dengan beliau. Imam mengatakan, “Andaikata para pengikut kami, orang-orang yang mengaku sebagai pengikut dan Syi’ah kami itu, mereka secara hati sama semuanya, tidak berpecah-pecah hati mereka, untuk apa: untuk menempati janji yang ada pada mereka. Janji yang ada di pundak mereka. Janji di sini bisa berarti janji antara sesama, jadi hubungan antara seorang manusia dengan manusia yang lain;, jika antara kita ada janji dengan orang lain, maka kita harus melaksanakan janji itu, jika ada amanat, harus disampaikan amanat itu, jangan sampai kita merasa bahwasanya merasa sudah menjadi seorang mukmin, kita mengantongi tiket surga. Sehingga kita dalam hubungan dengan manusia yang lain kita tidak menepati janji, amanat tidak kita tunaikan.
Beliau mengatakan, “Seandainya para pengikut kami, para pencinta kami, mereka bersama-sama hati mereka satu di dalam; menepati janji. Pertama, janji di antara mereka; kedua, janji mereka dengan Allah. Kita semua punya janji kepada Allah untuk menjadi hamba-hamba-Nya di dalam ‘alamud dzar, alam Dzar. Di dalam ayat dikatakan Allah berfirman, Alastu birabbikum, “Bukankah Aku adalah Tuhan kalian semua?” Kita mengatakan bala, bahwa “Engkau adalah Tuhan kami.” Dan itu adalah aqad, itu adalah perjanjian dari kita kepada Allah, bahwa kita akan menjadi hamba-Nya. Riwayat ini mengatakan, jika seluruh pengikut Ahlulbait, seluruh pencinta Imam Mahdi as komitmen dengan janji tersebut, maka tidak akan tertunda-tunda pertemuan dengan kami. Mereka akan segera mendapatkan kebahagiaan untuk bertemu dengan kami, untuk berpapasan, untuk bertatap muka dengan kami. Bukan hanya bertatap muka saja, beliau mengatakan, “Pertemuan yang penuh dengan cinta, pertemuan yang penuh dengan pengetahuan, pengakuan ketundukan bahwa kita adalah makmum dan beliau adalah Imam.” Lalu beliau mengatakan, “Kami ini terhalang untuk bisa berhubungan langsung dengan kalian.” Mengapa? Karena yang sampai kepada kami tentang kalian adalah hal-hal yang kami tidak suka.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Hafidh Alkaf, Jumat 26 Maret 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.