
Oleh Ammar Fauzi Heryadi. Ph.D
ICC Jakarta – Galibnya, peribahasa mengungkapkan makna yang dalam, lahir dari kesadaran yang bijak. Lain halnya dengan satu peribahasa Persia ini: Dandang berkata pada dandang, “Mukamu hitam!” Bagi keluarga yang menanak nasi dengan dandang di atas api minyak tanah atau mungkin di atas kayu bakar, akan sulit ditemukan bagian bawah dandangnya tidak hitam. Bagian bawah itu disebut muka dalam peribahasa karena dandang biasanya disimpan dalam keadaan terbalik, sehingga awal kali yang tampak di muka adalah bagian bawahnya, sementara hitam itu sendiri berarti aib, dosa atau apa saja yang mencoreng kepribadian. Hitamnya muka dandang adalah sebuah kenyataan. Kalaupun hitam itu diungkap oleh dandang lain yang juga hitam mukanya, tetap saja kedua-duanya sama-sama hitam dan aib yang harus diterima sebagai kenyataan.
Seperti lazimnya dandang, kebanyakan kita juga barangkali punya catatan hitam dan kesan buruk di ‘wajah batin’. Tidak ada satu pun yang senang hidup dengan catatan dan kesan demikian, karena fitrah yang tertanam dalam diri setiap orang menginginkan untuk menjadi yang terbaik, terpuji dan sempurna. Untuk itulah kita selalu berusaha, setidak-tidaknya, merahasiakan apa pun aib dan catatan buruk, menutupi segala kekurangan dan kekeliruan. Yakni menjaga harga diri, inilah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar. “Harga diri seseorang adalah apa saja yang membuat dirinya baik”. Seberapa tinggi harga diri dan murninya fitrah seseorang dapat pula diukur dengan bagaimana dia memperlakukan catatan hitam dan keburukan dirinya. Orang yang membanggakan dosa dan mempertontonkan keburukan diri sendiri di hadapan orang lain sesungguhnya bukan lagi manusia waras; dia mempermalukan diri sendiri dan berperilaku menyimpang dari fitrah serta naluri insaninya.
Saking kuatnya keinginan fitrah untuk menjaga harga diri, acapkali kita malah tak lagi santun menghadapi kritik dan teguran yang datang dari orang lain. Alih-alih dipandang positif dan disambut untuk berbenah diri dan berlaku insaf, teguran sering dibalas dengan membongkar kesalahan. Orang tua kerap jengkel saat nasehatnya dijawab enteng sang anak, “Bapak/Mamah juga begitu, ah!” Hal yang sama barangkali dirasakan guru kalau saja tahu bagaimana seorang murid mereaksi tegurannya dengan nada yang sama, “Dulu, Ibu juga gak becus!”
Kadang-kadang logika pembelaan diri seperti dandang ini dimaklumi sebagai kekanak-kanakan, lantaran dilakukan oleh anak dan murid yang masih belum dewasa, belum sempurna akalnya, di lingkungan sekecil keluarga dan sekolah. Tapi, ternyata logika ini pun begitu mudah dijumpai di kalangan elite untuk melindungi kepentingan rekan satu golongan dalam skala nasional. Dalam sebuah kasus heboh, misalnya, pembela suatu partai sebegitu gigih melawan arus hujatan dengan berkata, “Kalian ini sok suci! Kayak ga pernah nonton film porno aja!” Logika ini dikedepankan hanya untuk menegaskan, bukan menutupi ataupun meringankan, beratnya aib seorang politisi yang kedapatan lihat video porno.
Bahkan di era Reformasi, ketika tuntutan mengalir deras agar peradilan ditegakkan terhadap pemimpin rezim Orde Baru, sebagian tokoh Reformis justru berusaha membujuk orang, “Sudahlah, semua manusia juga bisa salah. Mari kita maafkan!” Dan kini, kita saksikan bagaimana kebanyakan orang dalam sebuah survei baru-baru ini menfavoritkan Orde Baru hanya karena ketidakpuasan terhadap Orde Reformasi. Padahal, beratnya beban kegagalan rezim Reformis bukanlah alasan yang cukup untuk menimbang ringannya kekejaman rezim otoriter itu.
Yang lebih kerdil lagi tatkala aib orang lain dijadikan alat menutup-nutupi aib sendiri. Ini setidaknya dapat dijumpai dalam berbagai kasus politik sandera; bagaimana seorang politisi jadi bisu, tak berkutik, tidak mau bersaksi, atau malah bersaksi palsu gara-gara tersandera oleh lawan politik yang memegang ‘kartu’ dan catatan hitamnya. Dua politisi yang bermasalah itu memang berhasil mencapai win-win solution, sama-sama lolos dari jeratan hukum. Tapi, itu bukan karena mereka sama-sama bersih, tetapi karena mereka memperalat kesalahan masing-masing untuk saling menjerat dan menyandera satu sama lain.
Dalam tata hukum Latin, pola perilaku buruk seperti ini dirumuskan dalam kalimat “Banyaknya kesalahan tidak membenarkan satu kesalahan.” Seperti dua dandang yang sama-sama hitam itu, membela diri dengan berbalik menyalahkan bukanlah cara yang logis. Cara ini hanya meneguhkan: sama-sama salah, melipatgandakan kesalahan, dan menutup pintu untuk tidak mau berbenah diri dan menyelesaikan masalah. Dampak paling buruk dari pola sikap ini ialah mengajak orang agar acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap dosa, serta memandang kekeliruan sebagai sesuatu yang wajar, misalnya seperti yang sering kita dengar, “Sudahlah, kita juga banyak dosa, gak usah sibuk menyalah-nyalahkan orang lain!” Atau, “Ustadz juga manusia, wajar saja jika melakukan kesalahan.”
Akan sangat bijak bila seseorang—dalam status apa pun—menerima kesalahan sebagai kenyataan aib dirinya dan memandang terlebih dahulu penilaian orang lain sebagai cermin untuk mengoreksi dan menjadi manusia yang lebih baik. Tanpa lagi memakai logika dandang, kehidupan keluarga, sosial, dan politik akan terbangun dengan ketulusan, kepekaan pada gejala buruk, dan penghargaan pada nilai keutamaan. Dengan begitu, anak terbantu untuk tidak lagi membela diri dengan balik menyalahkan, murid terdidik tidak dengan meniru lagi kata-kata kasar, bangsa dan negara terbina tidak sekadar asal terhindar dari ‘yang terburuk’, tetapi bersama-sama memperjuangkan pilihan naluri insani: ‘yang terbaik’.
Artikel ini telah terbit di Majalah Syiar 2011 edisi bulan Juni