ICC Jakarta – Seni itu wahana kebebasan. Begitu umumnya didengungkan kalangan seniman. Wajar kiranya hal itu diulang dan diyakinkan, karena seni dan keindahan tanpa kebebasan akan kehilangan nilainya. Dalam seni terkandung pesan. Sekalipun galibnya berkesan implisit, pesan dan muatan normatif sebuah seni justru lebih kuat ‘melukai’ emosi dan ‘menggoret’ kesadaran. Saking lekatnya dengan perilaku manusia, seni oleh sebagian ahli diangkat bahkan sebagai definisi dan esensi manusia itu sendiri; dengan seni, manusia dikenal dan, dengan seni pula ia menyatakan eksistensinya. Manusia yang tak berseni hanya punya dua opsi: keluar dari spesis sebagai manusia atau ia, sadar atau tidak, sedang berdusta.
Masing-masing orang punya kelebihan dan keunikan. Salah satu nilai uniknya muncul dari kekuatan imajinasi. Sama seperti binatang, manusia juga berimajinasi, hanya bedanya: ia berimajinasi tanpa batas, bebas sebebas-bebasnya. Manusia yang realitas hidupnya dirasakan begitu sempit dan menyesakkan akibat tekanan, ancaman dan ketakutan, masih punya dunia yang bisa dibuatnya sendiri sesuka hatinya, tanpa ada ketakutan terhadap siapa pun. Itulah dunia imajinasi. Ia bisa mengotak-atik apa saja yang ada dalam khazanah imajinasi, daya khayalnya akan mengolah menjadi bentuk sesuka-sukanya. Bagi ulama setingkat sufi, di dunia itulah manusia seolah jadi Tuhan, tidak tunduk selain semua bergantung pada kehendaknya. Tidaklah keliru sepenuhnya bila esensi manusia juga didefinisikan sebagai makhluk berkhayal; orang yang tidak berkhayal apalagi takut berkhayal bukan manusia.
Maka, seni bukan hasil ajar belajar, kendati bisa diperoleh dengan pola seperti itu. Seni adalah bakat sebagai anugerah kodrati seintim dengan imajinasi itu sendiri. Lalu apa hubungannya dengan Logika? Bukankah logika hanya menyediakan aturan-aturan bagaimana berpikir benar dan terhindar dari berpikir salah? Dan sebagai aturan, tentu ada keterikatan dan pengetatan yang tidak koheren dengan kebebasan ijmanasi dan keindahan seni?
Pada mulanya, tampak inkonsistensi dan ketakselarasan antara seni dan Logika. Namun pada selanjutnya, akan dijumpai sejumlah kesamaan. Setidaknya, baik seni maupun logika merupakan bakat dan anugerah kodrati dari Tuhan. Beginilah kita sudah diciptakan dengan membawa seni dan Logika; punya kecenderungan mengelola hidup dengan logika kebenaran dan seni keindahan. Kedua-duanya diperlukan manusia; bagaikan dua sayap yang secara seimbang dan bekerja sama melambungkan seseorang meraih tujuan dan kesempurnaan hidupnya.
Uniknya, dalam logika konvensional, yakni logika yang didisiplinkan sebagai bidang ilmu, tepatnya, oleh Aristoteles, seni justru menjadi salah satu bab besar, yaitu seni puisi. Dalam sistematika Logika Aristotelian, puisi menempati bab penutup, jatuh secara berurutan setelah Iasagoge, Categoria, Interpretatione, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, Sophistics, Rhetorics. Kata puisi ini sendiri tampaknya serapan dari istilah Logika: poetics.
Mengapa puisi juga ditangani oleh Logika? Pada dasarnya, sekali lagi, Logika menyediakan aturan-aturan yang menata pola pikir kita agar berproses dan menghasilkan kebenaran dan terhindar dari kesalahan. Berpikir satu dari sekian aktivitas manusia yang, dalam banyak kondisi, tidak membutuhkan kata selain, menurut sebagian ahli, kata-kata dalam-pikiran. Sekalipun, katakan saja, manusia tidak punya bahasa, ia masih bisa berpikir dan mengolah data dalam pikirannya. Logika adalah aturan-aturan pengolahan data.
Logika sendiri sebuah derivatif dari logos yang, dalam bahasa Latin, berarti ‘kata’. Dalam Bahasa Arab, Logika ini dipadankan dengan mantiq, dari nathaqa yang berarti ‘berbicara’. Baru pada tahapan berikutnya, melalui pemaknaan asosiatif, ia mengandung arti ‘berpikir’, yakni bagaimana mengonsepsikan dan mengargumentasikan sesuatu. Seolah ada hubungan erat antara berpikir dan berkata pada diri manusia.
Perkataan dan pembicaraan adalah cermin pemikiran seseorang. Sebaliknya, pemikiran sumber perkataan manusia. Maka, berkata tanpa berpikir tak beda nilainya dengan suara knalpot, semakin bising malah kian mengganggu. Sebagai hasil ungkapan dari berpikir, kata-kata akan menghadirkan kandungan pemikiran sekaligus kesan-kesan yang menyertainya. Pada titik ini, tidak setiap kata mampu menampung bobot pemikiran. Pengetahuan manusia tak ubahnya dengan napas di dada: terpendam rahasia dan global, sedangkan kata-kata berperan sebagai hembusan napas yang nyata dan terurai. Karena itulah orang bijak mengatakan bila rahasia nilai seseorang tersembunyi di bawah lidahnya. Sekali dia berkata, terungkap sudah satu rahasia dari dada dan pikirannya. Inilah salah satu alasan mengapa logika juga membahas kata-kata dalam bab interpretatione (penjelasan dan ungkapan kata).
Agar pesan dapat diungkapkan dengan baik dan penuh, diperlukan alat tatabahasa. Bagi orang yang ingin menyampaikan pesan implisit, tepat kiranya ia menggunakan puisi. Seni ini pertama-tama menyentuh emosi agar dapat menembusnya untuk, pada tahap berikutnya, menyentuh pikiran dan hati. Justru begitu banyak buah pikiran dan rahasia hati yang tak tertuangkan dalam kerangka kata-kata kecuali setelah digubah dalam bentuk puisi. Bagi kaum sufi, secara khusus, puisi menjadi alat paling efisien dalam melepaskan gejolak rahasia dan dahaga keterpanaan di puncak pengalaman ruhani.
Namun, betapapun lentur dan kayanya seni budaya puisi suatu peradaban manusia, tetap saja tidak cukup menghadirkan sepenuhnya pengalaman rahasia yang paling lembut sekalipun. Kekurangan atau, sebut saja, keterbatasan kata dan bahasa ini bukanlah alasan yang cukup untuk lantas menyepelekan kata dan bahasa, apalagi mencampakkannya. Apa pun pertimbangan seseorang, sejauh dan salama ia memutuskan untuk berkata-kata dengan seni puisi sekalipun, suka atau tidak, pasrah untuk tunduk mentaati kaidah dan aturan berkata yang benar.
Bersama ilmu tata bahasa, Logika juga berperan mengarahkan cara mengungkap pemikiran dan kandungan hati agar dapat sepenuhnya menghadirkan apa yang dimaksud pembicara sebagai kebenaran. Berkata dalam pola seni puisi pun perlu arahan Logika. Ilmu ini memfasilitasi penyair bagaimana menggunakan kata, frasa, metafora dan perangkat lainnya agar dapat menyentuh emosi para pendengar sedalam-dalamnya dengan beragam kapasitas mereka. Penyair akan menggunakan kekuatan imajinasinya untuk menghadirkan yang abstrak dan transenden menjadi tampak konkret dan menjelma di hadapan pendengar. Terlihat aneh bila ada seorang sufi, sebagai orang yang mengklaim punya pengalaman emosi cinta paling tinggi dan kaya, menyindir sinis peran logika seperti bait berikut:
Kaki ahli nalar buatan kayu
Kaki buatan kayu begitu rapuh.
Bait ini tidak menyatakan konklusinya, karena sudah begitu jelas hingga memercayakan kepada semua pembaca agar menyimpulkan sendiri bahwa kaki ahli nalar begitu rapuh. Dapat diamati bagaiamana puisi ini tampak dimaksudkan untuk menyatakan ketidakbernilaian penalaran (Posterior Analytics) sebagai satu bab paling menonjol dalam logika. Justru bait ini sendiri dituangkan dengan penalaran Posterior Analytics. Penyairnya membiarkan pembacanya agar menyimpukan sendiri karena, sekali lagi, saking jelasnya lantaran ia sendiri menggunakan penalaran Posterior Analytics dalam polanya yang paling nyata, yaitu figura pertama. Oleh logika sendiri, upaya seperti ini dikategorikan dalam falasi ironi dalam pribahasa, menelan ludah sendiri. Boleh jadi, tidak tepat bila ia ditengarai sekadar mengumbar kata dan emosi. Barangkali ia benar-benar sukses membuat bait sebegitu indah tapi agaknya ia tidak begitu berhasil menyampaikan pesan sepenuhnya dan murni dari kontradiksi di dalamnya.
Jadi, logika akan mendorong kita mengatualisasikan berbagai kapasitas eksistensi kita dalam berpikir, berperasaan dan berkata-kata. Berpuisilah dan pandai-pandailah menyentuh kelembutan emosi manusia dengan seni puisi. Rangkailah barisan kata dan frasa dengan keindahan metafora dan susupkan pesan-pesan agung melalui rongga bait-bait syair hingga menusuk kesadaran, pikiran dan hati. Namun, seluas apa pun imajinasi kita bergerak liar dan sebebas apa pun kita mengungkap seni, semua hanya akan berarti dan bermanfaat bagi kemanusiaan dalam kerangka logika sebagai aturan-aturan bersama dan kodrati manusia dalam berpikir dan berkata.
Sumber Ikmalonline