ICC Jakarta – di antara sifat-sifat Allah yang sangat mengemuka dan di antara kaum muslimin menjadikannya sebagai salah satu sifat utama dan menjadi salah satu dari ushuluddin adalah sifat adil. Mereka mengatakan bahwasanya Allah Swt memiliki sifat adil. Sifat adil ini dipisahkan dari sifat-sifat yang lain, dikhususkan dalam sebuah pembahasan, karena beberapa hal. Salah satunya adalah karena banyak sekali sifat Allah yang kembali kepada sifat keadilan ini. Yang menjadi permasalahan adalah jika sekelompok muslimin yang dikenal dengan kelompok ‘adliyah yaitu kelompok yang mengedepankan dan meyakini masalah keadilan Allah apakah berarti hanya mereka yang meyakini Allah adil, sementara kelompok yang lain tidak? Jawabannya adalah bukan seperti itu. Seluruh kaum muslimin—dengan berbagai macam mazhab, dengan berbagai macam latar belakang dan pemikiran—meyakini bahwa Allah adalah Zat yang Mahaadil.
Link Download Buletin Khotbah Jumat
Allah tidak mungkin akan melakukan kezaliman. Apalagi Allah Swt di dalam ayat-ayat suci-Nya menyebut diri-Nya sebagai Zat yang tidak akan pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Dalam surah al-Nisa ayat 40 Allah, mengatakan, Innallāha lā yaẓlimu miṡqāla żarrah, “Allah sebesar żarrah pun tidak akan pernah melakukan kezaliman”. Pada ayat yang lain surah Yunus ayat 44 Allah berfirman, Innallāha lā yaẓlimun-nāsa syai`a, “Allah tidak akan pernah menzalimi manusia sedikitpun”. Pada ayat 18 Surah Ali Imran Allah berfirman, Syahidallāhu annahụ lā ilāha illā huwa wal-malā`ikatu wa ulul-‘ilmi qā`imam bil-qisṭ. Ia juga menunjukkan bahwasanya Allah memegang teguh keadilan. Dia berdiri atas dasar keadilan karena itu tidak ada seorang pun yang mengaku sebagai muslim dan mengimani Alquran beriman kepada Allah lalu mengatakan Allah berbuat zalim. Semua mengatakan bahwa Allah adalah Zat yang Mahaadil.
Bahwa Allah bersifat adil seandainya tidak ada ayat-ayat Alquran pun, akal manusia sudah bisa menyatakan bahwa Allah adalah Zat yang Mahaadil. Karena kezaliman adalah sebuah sifat atau perilaku yang muncul karena kekurangan. Kezaliman adalah sesuatu yang yang buruk sementara keadilan adalah sesuatu yang sempurna bagi pelakunya dan keadilan adalah sesuatu yang baik di mata semua orang. Allah pasti kita jauhkan dari segala bentuk kezaliman, segala bentuk keburukan dan segala bentuk kekurangan.
Tadi sempat saya katakan bahwasanya banyak sifat Allah yang kembali kepada sifat keadilan. Contohnya, kita mengatakan Allah al-hakim yang berarti bijaksana. Kita juga mengatakan Allah al-Rahman yang artinya Maha Pemurah. Kita juga meyakini Allah al–Razzaq yakni Maha Pemberi Rezeki. Sifat-sifat yang semacam ini kembalinya kepada sifat keadilan Allah. Pertanyaannya adalah apa makna keadilan? Keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Itu adalah makna keadilan ketika Allah disebut-sebut sebagai Zat dan Tuhan yang Mahabijaksana. Artinya, segala perbuatan yang Allah lakukan, yang berasal dari Allah pasti perbuatan yang sesuai dengan hal yang semestinya. Tidak mungkin Allah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Itulah kebijaksanaan yang kembali kepada sifat keadilan.
Ketika Allah menciptakan makhluk-Nya lalu meletakkan makhluk-Nya seperti manusia di bumi, apakah Allah akan membiarkannya tanpa memiliki sesuatu yang bisa menyambung hidupnya? Ketika Allah menciptakan manusia dan menempatkannya di bumi pasti Allah—sesuai dengan sifat keadilan-Nya—harus menempatkan sesuatu untuk bisa dimakan oleh manusia. Muncullah sifat razzaq yang berarti pemberi rezeki, yang sifat razzak ini juga munculnya dari sifat keadilan Allah. Dan, berbagai macam sifat lainnya yang sumbernya adalah sifat keadilan Allah.
Berikutnya lagi, mengapa masalah keadilan Allah sedemikian penting? Karena salah satu permasalahan inti dalam tauhid dan dalam akidah adalah masalah kebangkitan Hari Kebangkitan. Dikatakan bahwa semua agama dan semua pemikiran yang bersifat Ilahi pasti memiliki tiga keyakinan utama yang salah satu dari keyakinan itu adalah kepercayaan akan Hari Akhir. Orang-orang yang memercayai Hari Akhir itulah orang-orang yang beragama. Bisa kita tanya dan bisa kita uji ke semua agama, mereka meyakini bahwa setelah kehidupan ini akan ada kehidupan yang berikutnya.
Yang mengikuti agama Ilahi, agama Ibrahimi, agama samawi, mengatakan setelah kehidupan dunia ini adalah kehidupan akhirat. Di sanalah orang akan menerima balasan, yang baik dibalas dengan surga, yang buruk dibalas dengan neraka. Pertanyaan: Untuk membalas seorang hamba yang berbuat baik dimasukkan ke surga, yang berbuat buruk dimasukkan ke neraka adakah tolak ukurnya selain keadilan? Mengapa Allah harus membuat suatu alam yang setelah alam ini yaitu alam akhirat? Para ahli teolog dalam membuktikan bahwa ada Hari Akhirat salah satu dalilnya adalah jika orang melakukan keburukan di dunia melakukan kezaliman, membunuh ribuan orang jika dia kemudian tertangkap dan dihukum di dunia ini, maka hukuman yang didapatkannya tidak sebanding dengan perbuatan dosa yang dilakukannya. Harus ada tempat untuk bisa memberikan dia ganjaran atau balasan perbuatan yang telah dia lakukan di dunia yang sedemikian besar dosa yang dilakukannya.
Umur manusia terbatas, rasa sakit yang didapatkan terbatas, siksaan yang bisa didapatkan oleh manusia di dalam kehidupan ini terbatas, harus ada kehidupan setelah ini, yang mana kehidupan setelah inilah yang akan memberikan jawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukannya dan itulah alam akhirat. Para teolog mengatakan bahwasanya salah satu dalil Hari Kebangkitan adalah seperti ini, dan itu munculnya dari sumber keadilan Allah. Karena Allah Mahaadil, pasti Allah akan memberikan suatu kesempatan bagi orang untuk mendapatkan ganjaran atas apa yang diperbuatnya di dunia. Jika baik, dia akan mendapatkan kebaikan; jika buruk, dia akan mendapatkan keburukan di akhirat.
Ketiga, sifat keadilan Allah juga merupakan sumber atau pijakan dan dasar dari keyakinan kita akan kenabian. Juga keyakinan kelompok pengikut mazhab Ahlulbait, Mazhab Syi’ah Imamiyah, yang meyakini bahwa setelah Rasulullah saw, ada silsilah para Imam dari Ahlulbait as. Dalil tentang risalah ataupun imamah berasal dari keadilan Allah. Penjelasannya adalah mungkinkah Allah akan membebankan kepada kita sebuah tanggung jawab, jika kita melakukannya, kita akan diberikan pahala; jika kita tidak melakukannya dan ingkar terhadap itu, mengesampingkan kewajiban-kewajiban itu, kita akan mendapatkan siksa di neraka? Mungkinkah Allah membebankan hal itu di kalangan umat manusia?
Allah berfirman semacam ini dan memerintahkan kita untuk salat. Mungkinkah akal manusia bisa mencerna, bisa mencapai pada kesimpulan bahwa manusia harus melaksanakan salat lima waktu dalam satu hari? Akal mungkin menunjukkan kepada manusia ia harus beriman kepada Tuhan; bahwa di sana ada Tuhan; bahwa di sana ada Tuhan yang Maha Esa; bahwa dia harus menghamba kepada Tuhan yang Maha Esa, tapi akal tidak akan pernah bisa menunjukkan kepada kita bahwa penghambaan itu salah satunya adalah dengan melaksanakan salat Subuh dua rakaat, salat Zuhur empat rakaat, dan salat Magrib tiga rakaat? Akal tidak akan pernah menunjukkan kita kepada hakikat-hakikat semacam itu. Yang bisa menunjukkan adalah syariat, yang bisa menunjukkan adalah para rasul. Mungkinkah kita diperintahkan untuk salat, sementara tidak ada berita pada kita berita datang dari para rasul?
Dalil berikutnya bahwasanya masalah keadilan sedemikian penting adalah bahwa keadilan inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya alam semesta. Keadilan inilah yang menjadi dasar dari segala kehidupan. Rasulullah saw bersabda, “Langit dan bumi ini berdiri di atas fondasi keadilan.” Allah tidak mungkin akan menzalimi seseorang, Allah tidak mungkin akan mengambil hak seseorang lalu diberikan kepada orang yang lain. Allah juga tidak mungkin akan menistakan hak seseorang jika itu adalah haknya. Allah tidak akan berbuat zalim. Karena itulah, Allah tidak menghadapi siapa pun berbuat zalim. Jika terjadi kezaliman, akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan, baik kehidupan sosial ataupun bahkan kehidupan di alam semesta. Tatanan alam semesta dibangun di atas dasar keadilan.
Di sini muncul sebuah permasalahan berikutnya. Apakah keadilan artinya sama dengan kesamaan? Apakah orang yang memberikan dua orang sahabatnya dengan hak yang sama berarti dia telah melakukan keadilan? Apakah persamaan sama dengan keadilan? Jawabannya, tidak. Keadilan adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, sementara persamaan kita tahu maknanya seperti apa. Jika Allah swt menciptakan ikan paus yang sedemikian besar lalu Allah swt memberikan misalnya alat pencernaan di perut ikan paus, apakah mungkin alat pencernaan yang Allah berikan kepada ikan paus itu besarnya seperti pencernaan yang ada di perut semut? Jika Allah memberikan dua makhluk yang berbeda bentuknya dan berbeda besar dan kecilnya ini dengan sesuatu yang sama, maka itu bukanlah keadilan justru itulah kezaliman.
Jika ada dua orang yang bekerja di suatu instansi yang satu adalah orang yang bekerja di bagian yang umum, sementara yang satu adalah tim ahli, apakah mungkin gaji atau honor yang didapatkan oleh kedua orang itu sama? Jika misalnya disamakan, apakah itu merupakan keadilan atau justru kezaliman? Apakah gaji yang didapatkan oleh seorang gubernur akan sama dengan gaji yang didapatkan oleh seorang kepala sekolah di suatu desa yang terpencil? Tentunya tidak sama. Persamaan atau penyamaan honor dan gaji untuk dua orang ini bukan keadilan. Malah justru layak disebut-sebut sebagai sebuah kezaliman.
Permasalahan berikutnya yang muncul di tengah kaum muslimin dalam masalah keadilan adalah sekelompok kaum muslimin meyakini bahwa Allah swt tidak mungkin berbuat zalim. Akal kita yang mengatakan seperti itu. Akal kita bisa mencerna bahwa Tuhan tidak mungkin melakukan kezaliman. Karena akal kita bisa mencerna mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Di antara Ahlusunnah yang meyakini teori dan pemikiran semacam ini adalah kelompok Mu’tazilah. Selain Mu’tazilah, kelompok Syi’ah Imamiyah meyakini hal tersebut. Sementara di kalangan kaum muslimin, ada sekelompok orang lain yang meyakini bahwasanya kebaikan dan keburukan itu tidak bisa dipahami oleh akal manusia. Yang bisa memahami dan bisa memberikan penjelasan kepada kita bahwa ini baik atau buruk adalah syariat.
Jika Allah mengatakan lakukan berarti baik. Jika Allah mengatakan jangan lakukan berarti buruk. Jika Allah melakukannya itu adalah baik, jika Allah tidak melakukannya dan mencelanya berarti itu buruk. Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang meyakini hal itu. Karena itu, menurut teori kelompok pertama, jika Allah memasukkan Firaun yang berbuat zalim ke surga dan memasukkan Nabi Musa yang merupakan kekasih Allah dan nabi yang suci, dimasukkan ke dalam neraka, Allah telah melakukan kezaliman dan tidak mungkin hal itu dilakukan oleh Allah.
Tapi menurut kelompok kedua, jika Allah memasukkan Rasulullah Muhammad saw ke dalam neraka dan memasukkan Abu Jahal ke dalam surga bukan suatu kezaliman. Karena apa pun yang dilakukan oleh Allah, adalah hal yang baik. Ingin tahu apa yang baik dan yang buruk lihatlah syariat.
Perbedaan ada di sini di antara dua kelompok kaum muslimin ini. Karena itu, kelompok pertama yang mengatakan bahwa keadilan itu bisa dicerna dengan akal, kelompok itu disebut dengan kelompok ‘adliyah, sementara kelompok kedua tidak disebut sebagai kelompok ‘adliyah. Kelompok pertama mendasarkan akidah-akidah dan kepercayaan mereka pada masalah keadilan, sementara kelompok kedua tidak mendasarkan akidah mereka dalam masalah keadilan.
Saya beri contoh. Misalnya, dalam salah satu ushul al–khamsah yang ada dalam mazhab Mu’tazilah adalah keadilan Allah. Demikian pula dalam ushul al–khamsah Syi’ah Imamiyah keadilan Allah masuk salah satu dari lima ushul al–khamsah. Sementara dalam akidah-akidah Asy’ariyah tidak disebutkan masalah keadilan. Sekali lagi saya tekankan bahwa hal ini bukan berarti orang-orang Asy’ariyah mengatakan Allah mungkin berbuat zalim, tidak seperti itu. Karena Allah sudah mengatakan tidak mungkin akan berbuat zaliman.
Empat Dalil Keadilan
Pertanyaan berikutnya kalau Allah dikatakan sebagai Zat yang pasti berbuat adil, Allah memiliki sifat adil. Pertanyaannya, apa dalil bahwa Allah itu adil? Dalil pertama adalah karena orang atau siapa pun yang berbuat kezaliman terkadang berbuat kezaliman itu karena kebodohannya. Orang terkadang tidak berniat berbuat zalim, tetapi karena ketidaktahuan dia, apa yang disangkanya baik ternyata adalah kezaliman dan Allah tidak mungkin tidak tahu, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kemungkinan kedua kezaliman itu muncul karena kebutuhan seseorang. Orang tahu bahwa bahwasanya ini adalah kezaliman, tapi dia perlu untuk melakukan kezaliman karena dia membutuhkan sesuatu. Jika dia membutuhkannya, dia akan melakukan kezaliman itu. Seperti mencuri barang adalah suatu kezaliman, karena mengambil hak orang lain. Ketika orang merasa terdesak dan dia membutuhkan, maka dia akan terdorong mengambil hak orang lain. Jika dia tidak ada dorongan semacam itu, dia tidak akan melakukannya. Jadi terkadang orang melakukan kezaliman karena dia membutuhkan, sedangkan Allah tidak membutuhkan apa pun juga. Allah mahakaya.
Kemungkinan ketiga orang berbuat zalim karena lemahnya, karena ketidakmampuan dia berbuat kezaliman. Misalnya, terkadang orang mencaci-maki orang, terkadang orang mengumpat orang, terkadang orang menggunjingkan orang, dan ini adalah bentuk kezaliman. Mengapa dia melakukannya? Bisa jadi adalah karena dia tidak mampu untuk bersaing dengan orang itu. Ketidakmampuan terkadang mendorong orang untuk melakukan kezaliman kepada orang lain.
Kemungkinan keempat orang terkadang melakukan kezaliman adalah karena dendam dan permusuhan kepada pihak lain. Semua sifat yang tadi disebutkan adalah sifat-sifat yang buruk yang tidak mungkin ada pada diri Allah. Sifat-sifat yang tadi disebutkan adalah kekurangan dan Allah tidak memiliki kekurangan pada zatnya. Allah berfirman, Innallāha lā yaẓlimun-nāsa syai`aw wa lākinnan-nāsa anfusahum yaẓlimụn, “Allah tidak pernah menzalimi manusia sedikitpun tetapi manusialah yang menzalimi diri mereka sendiri.”[] Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Hafidh Alkaf, Jumat, 19 Februari 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.