ICC Jakarta – Tanggal 29 Agustus 2013, hari kelahiran Ustadz Jalaluddin Rakhmat diperingati secara sederhana di kediaman beliau di Kemang, Jakarta. Selepas Isya dan setelah pembacaan Doa Kumayl dan Doa Tawasul, beliau memberikan renungan yang sangat menyentuh. Aris Thofira mentranskrip pesan renungan tersebut di bawah ini.
Alhamdu lillahilladzi khalaqal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala
Asyhadu an la ilaaha illallahu wahdahu la syarikalahu
Wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad.
Seperti firman Tuhan di dalam Alquran:
“Wa ayatun lahum annaa hamalna dzurriyyatahum fil fulkil masykhun”. Aku hanyalah salah seorang diantara para penumpang bumi yang dibawa untuk berputar mengelilingi matahari dalam wisata alam semesta yang menjadi nasib kita semua.
Hari ini aku sudah memutari matahari untuk ke 65 kalinya. Masa telah meninggalkan jejak-jejaknya dalam uban di kepala, dalam rabun di mata, dalam keriput di kulit, dalam keringkihan di seluruh tubuh.
Betapa inginnya sang waktu memberikan kepadaku kearifan dalam akalku, kebersihan dalam hatiku, kesucian dalam ruhaniku, dan kezuhudan dalam hidupku.
Tapi dalam usia senjaku, aku temukan butir-butir airmata penyesalan karena menghabiskan banyak masa dalam mengejar ambisi pribadi. Aku dapatkan jeritan hati kesedihan, karena malaikat lebih banyak menuliskan keburukanku dari kebaikanku.
Tiba-tiba, angka 65 tahun dionggokkan di depan mataku. Oleh mereka yang mencintai aku, mengikuti jalan hidupku dan berbagi tempat dalam hayatku. Oleh kalian semua yang melihatku sekarang, melewati puncak bukit, menuruni jalan tajam ke lembah kematianku.
“Setiap tarikan napasmu adalah satu ayunan langkahmu menuju kematianmu,” Kata Imamku Sayyidul Balaghah, Amirul Mukminin.
I’m running out of time now.
Lihat jam pasirku menyisakan tinggal sejumput butir pasir di bagian atasnya.
Pada hari ini, seorang ukhti dari Karbala mencantumkan hadis berikut ini di dalam Blog-ku.
“Nabi saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menciptakan malaikat yang turun setiap malam, malaikat itu berseru memanggil kalian semua,
‘Hai manusia yang berumur 20 tahunan! Bekerja keraslah kalian.
Hai manusia yang berumur 30 tahunan! Janganlah kamu tertipu oleh kehidupan dunia.
Hai manusia yang berumur 40 tahunan! Apa yang sudah kamu persiapkan untuk berjumpa dengan Tuhanmu.
Hai manusia yang berumur 50 tahunan! Sudah datang kepadamu sekarang pembawa peringatan.
Hai manusia yang berusia 60 tahunan! Sudah tiba masanya menuai panenmu.
Hai manusia 70 tahunan! Kamu telah dipanggil, jawablah panggilan itu.
Hai manusia yang berumur 80 tahunan! Telah datang padamu hari-hari terakhirmu, dan kamu dalam keadaan lalai’.’
Kemudian Allah berfirman, ‘Sekiranya tidak ada hamba-hamba yang rukuk dan sujud, kalau tidak ada orang-orang tua yang khusuk, kalau tidak ada anak-anak yang menyusu dan hewan yang merumput, akan aku curahkan kepada kalian hujan siksa’.”
Barakallahu fi Ukhtina Karbala’iyah.
Aku adalah padi yang sudah siap disabet sabit. Aku adalah pohon pisang yang segera tumbang. Aku adalah buah matang yang telah tiba saatnya dipanen Malaikat Maut.
Orang Inggris mengucapkan selamat ulang tahun dengan “Many Happy Returns”, berharap bahwa aku memperoleh banyak keuntungan dari pertambahan umurku.
Orang Jerman menyatakan “Alles Gute Zum Geburstag”, berharap aku beroleh semua yang bagus pada hari kelahiranku.
Orang Prancis berkata, “Joyeux Anniversaire”, menegaskan bahwa hari ulang tahunku adalah hari bahagiaku.
Orang Indonesia mengucapkan “selamat ulang tahun,” mendoakan keselamatan bagiku.
Dan orang Sunda mengucapkan, “Wilujeng Milangkala”, Selamat menghitung waktu sebelum maut menjemputmu. Ungkapan orang Sunda itu lebih dekat dengan ucapan selamat ulang tahun dalam Alquran: Salamun ‘alaihi yauma wulida wa yauma yamutu wa yauma yub’atsu hayyan. Sejahteralah bagi dia pada hari dilahirkan, dan sejahteralah dia pada hari dia mati, dan sejahteralah dia pada hari dibangkitkan hidup kembali.
Dalam ucapan selamat ulang tahun itu disebutkan juga selamat menempuh kematian dan selamat menghadapi pengadilan Ilahi.
Menurut Alquran, yang harus kita ingat pada peringatan hari lahir adalah ujung dari perjalanan kita, yaitu kematian, dan ujung dari kehidupan yang kedua yaitu hari ketika kita dibangkitkan kembali; Ketika kita berteriak: Man ba’atsana min marqadina hadza, Siapa gerangan yang membangunkan kami dari tidur kami. Dan dijawab Allah: Hadza ma wa’ada al-rahmanu wa shadaqal mursalun, Inilah yang dijanjikan Tuhan Yang Mahakasih dan benarlah para utusan.
Seorang lelaki datang menemui Imam Ali as dan berkata “Ya Imam! Aku baru saja membeli rumah dan aku ingin engkau sendiri menandatangani sertifikat jual-beli itu dengan tanganmu sendiri.”
Imam memandang lelaki itu dengan pandangan kearifan yang jauh menembus kalbunya. Imam melihat dunia bertahta diatas singgasana hatinya dan menguasai setiap wilayah dirinya. Kemudian Imam menulis dan menambahkan peringatan tentang rumah yang abadi.
Setelah itu Imam menulis “Seorang yang bakal mati telah membeli rumah dari orang yang bakal mati juga: Inna mayyitan isytara min mayyitin. Seorang yang bakal mati telah membeli rumah dari orang yang bakal mati juga. Di negeri para pendosa, di daerah orang-orang yang alpa, ia akan melewati empat perbatasan, kata Imam. Perbatasan pertama kematian; perbatasan kedua kuburan; perbatasan ketiga hari perhitungan; perbatasan keempat, yang terakhir, berakhir pada salah satu diantara dua hal, surga atau neraka.”
Lelaki kaya itu menangis terisak-isak. Ia tahu bahwa Imam ingin menyingkapkan tirai-tirai kotor dari hatinya yang lalai. Maka ia pun berkata, “Ya Amiral Mukminin! Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa aku sedekahkan rumahku untuk dijadikan rumah singgah bagi para musafir.”
Kemudian Imam menggubah puisi yang terkenal sebagai puisi kecaman bagi pecinta dunia, al-Qashidah al-Ashma’:
Sering diri menangisi dunia, padahal kebahagiaan ialah meninggalkannya.
Tiada rumah yang ditinggali setelah kematian kecuali rumah yang dibangun sebelum matinya. Indahlah rumah jika dibangunnya dengan kebaikan.
Jika dibangun dengan keburukan, celakalah pembangunnya.
Harta yang kita kumpulkan akan menjadi milik pewaris kita
Rumah yang kita bangun, dihancurkan waktu sehancur-hancurnya
Jangan merunduk kepada dunia dan isinya
Karena maut akan menfanakan kita dan menghancurkannya
Beramallah untuk rumah hari esok dengan Ridhwan penjaganya, Ahmad tetangganya, dan Sang Mahakasih Pembangunnya
Burung bertengger di pepohonan meneriakkan tasbih dalam nyanyiannya
Siapa yang membeli rumah di Firdaus, makmurkanlah dengan rakaat salat di kegelapan malam yang ditegakkannya.
Enam tahun sebelum kelahiranku, tahun 1943 Chairil Anwar menulis puisi kematiannya:
Kalau sampai waktu
Kumau tak seorang pun merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Berbeda dengan Chairil Anwar, aku tidak ingin hidup seribu tahun lagi. Selama aku hidup sama seperti Chairil. Biar peluru menembus kulitku, aku akan tetap meradang menerjang. Hidup, sekali berarti, sesudah itu mati. Tapi sekiranya Dia yang menitipkan kepadaku kehidupan ini mengambilnya kembali, aku hanya akan berkata: Inni tubtu ilaika wa inni minal muslimin, Aku kembali kepada-Mu dan aku termasuk orang-orang yang pasrah.
Dan izinkanlah saya mendendangkan puisi gubahan Rendra, beberapa bulan sebelum maut menjemputnya:
Makna Sebuah Titipan
Seringkali aku berkata ketika orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Mobilku hanya titipannya
Rumahku hanya titipannya
Bahwa hartaku hanya titipannya
Bahwa putraku hanya titipannya
Tapi mengapa aku tak pernah bertanya
Mengapa Dia menitipkan padaku
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku
Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali oleh-Mu
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas
Dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan
Seolah semua derita adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya hanya berjalan seperti matematika
Aku rajin beribadah, maka selayaknya derita menjauh dariku
Dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah Mitra dagang dan bukan Kekasih
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusannya yang tak sesuai keinginanku
Gusti…padahal tiap hari kuucapkan hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah
Ketika langit dan bumi bersatu
Bencana dan keberuntungan sama saja
Akhirnya, yang terakhir, izinkanlah aku mengutip kembali tulisan Bung Karno yang mengakhiri hidupnya dalam penderitaan di penjara negeri yang dibangun dengan air mata, keringat dan darahnya:
Saya tidak tahu akan diberi hidup oleh Tuhan sampai umur berapa.
Tapi permohonanku kepada-Nya ialah supaya hidupku itu hidup yang manfaat.
Manfaat bagi Tanah Air dan Bangsa.
Manfaat bagi sesama manusia.
Permohonan ini saya panjatkan pada tiap-tiap sembahyang.
Sebab Dia-lah asal segala asal. Dia-lah Purwaning Dumadi.
Soekarno, 6 bulan 6, tahun 57.
Sembilan tahun kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir, di penjara di negeri yang dibangunnya dengan sekali lagi air mata, keringat, dan darahnya.
Jakarta, 29 Agustus 2013
Jalaluddin Rakhmat