ICC Jakarta – DI bulan Rabiulawal ini kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memperingati hari kelahiran Rasulullah Saw. Ulama Ahlusunnah kebanyakan meyakini bahwa Rasulullah saw lahir pada tanggal 12 Rabiulawal, sementara sebagian besar ulama Syi’ah atau sebagian dari ulama Syi’ah meyakini bahwa kelahiran Rasulullah saw jatuh pada tanggal 17 Rabiulawal. Masalah perbedaan tanggal kelahiran Rasulullah adalah masalah sejarah. Betapa banyak masalah-masalah sejarah orang berselisih pendapat mengenai peristiwanya dan tanggal terjadinya peristiwa tersebut.
Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, melihat perbedaan ini sebagai kesempatan untuk mengumumkan pekan persatuan untuk menyatukan dua pendapat antara Ahlusunnah dan Syi’ah mengenai tanggal kelahiran Rasulullah saw. Di pekan itulah orang menggelar acara peringatan dan kegembiraan untuk memperingati kelahiran Rasulullah saw dalam sebuah suasana persaudaraan di antara kaum muslimin. Sebagian komunitas atau masyarakat muslimin di dunia memperingati milad Rasulullah saw dengan waktu yang panjang. Bukan hanya pada tanggal belasan melainkan pada seluruh bulan Rabiulawal. Banyak pula di negara-negara lain yang memperingati milad Rasulullah saw bahkan lebih dari satu bulan seperti misalnya di Indonesia.
Sementara ada sekelompok orang dari kaum muslimin yang menamakan dirinya Salafiyah—atau yang lebih dikenal dengan sebutan kelompok Wahabi—menyebut bahwa memperingati milad Rasulullah saw adalah sebuah perbuatan yang bid’ah. Karena itu, mereka menolak dan bahkan menentang pelaksanaan seperti ini. Dalam menjawab apa yang mereka katakan, kita katakan bahwasanya masing-masing orang punya pendapatnya dan masing-masing orang punya kebebasan untuk memilih pendapat apa pun. Ulama kaum muslimin, selain kelompok Salafi dan Wahabi, menggelar peringatan milad Rasulullah saw bukan memandangnya sebagai sebuah perbuatan yang bid’ah. Mereka menggelar peringatan itu dengan tujuan supaya bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Swt melalui peringatan-peringatan tersebut. Karena itu, tidak wajar jika sekelompok kaum muslimin memaksakan kehendak dan pandangannya kepada kaum muslimin lainnya untuk mengikuti mereka.
Apa pun juga peringatan milad Rasulullah saw adalah kesempatan bagi kita untuk melihat dan mempelajari ulang keteladanan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, baik dari kehidupan beliau maupun perilaku beliau, atau kata-kata beliau dan sifat-sifat beliau bagi kaum muslimin. Akhlak Rasulullah saw dan keteladanan yang beliau miliki bukanlah cerita dan dongeng yang membuat takjub dan terheran-heran dengan ketinggian akhlak beliau. Akhlak dan perilaku Rasulullah saw adalah sebuah keteladanan yang mesti kita ambil dan kita terapkan dalam kehidupan kita supaya hal-hal yang berhubungan dengan Rasulullah saw tidak hanya berada pada wacana, pemikiran belaka atau dalam teks-teks tertulis. Akan tetapi, ia bisa disaksikan dalam kehidupan nyata dalam kehidupan kaum muslimin.
Rasulullah saw adalah seorang pemimpin yang tidak ada duanya dalam sejarah umat manusia. Beliau adalah seorang pemimpin yang berhasil menyelamatkan bangsa dan masyarakatnya yang terpuruk dalam lembah kenistaan dan kejahiliahan lalu diangkat sedemikian tinggi menjadi sebuah masyarakat yang ideal dan teladan bagi masyarakat-masyarakat lain. Karena itu, tidak salah jika dikatakan Rasulullah saw adalah pemimpin agama politik dan sosial yang tidak ada tandingannya dalam sejarah.
Hal itu dia tidak hanya diakui oleh kaum muslimin yang memang mengagungkan Rasulullah saw, tetapi juga diakui oleh orang-orang nonmuslim. Misalnya, Michael H. Hart, penulis berkewarganegaraan Amerika, pernah menulis satu buku yang mengupas tentang seratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia (Buku yang dimaksud berjudul The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History—red.)Dia menempatkan Nabi Muhammad saw di urutan pertama. Dia menyatakan bahwasanya Rasulullah saw adalah satu-satunya orang yang telah berhasil mengubah sebuah masyarakat yang terbelakang dan masyarakat yang tenggelam dalam kenistaan menjadi masyarakat yang teladan dan menjadi model contoh bagi masyarakat yang lain.
Keberhasilan Rasulullah saw ini tidak lepas dari metodologi yang telah dilakukan beliau dalam menyampaikan amanah tablig ini, yang semua itu ditunjukkan dalam perilaku dan kata-katanya. Apa yang beliau sampaikan adalah apa yang beliau lakukan dan yang beliau lakukan adalah yang beliau sampaikan. Beliau adalah seorang pemimpin yang bukan hanya berteori tapi juga mempraktikkan apa yang telah disampaikannya. Karena itu, sebagai umatnya kita harus mengambil peristiwa ini atau kisah biografi Rasulullah dan keteladanan ini sebagai ilham yang kita wujudkan dalam kehidupan keseharian kita.
Hati yang Lapang
Pada kesempatan ini saya hanya akan menyampaikan satu contoh saja dari sifat mulia Rasulullah saw yang kita tahu bahwasanya beliau memiliki segudang keutamaan dan kemuliaan. Satu hal yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini adalah hal yang sangat penting di dalam mendukung keberhasilan beliau dalam bertablig yaitu sifat syarh al-shadr, hati yang lapang. Salah satu nikmat besar yang Allah berikan kepada Rasulullah saw dan Allah Swt menyinggungnya dalam ayat suci-Nya adalah nikmat hati yang lapang. Allah Swt berfirman kepada Rasulullah saw, Alam nasyrah laka shadrak. Bukankah Kami telah membuat hatimu itu lapang. Apa yang disebut dengan syarh al-shadr atau hati yang lapang itu?
Hati yang lapang adalah hati yang terbuka, yang bisa menerima semua orang, bisa menerima kondisi apa pun juga. Dia tidak mudah diguncangkan oleh kondisi apa pun dan tidak mudah terbawa oleh emosi terhadap orang lain. Itulah yang disebut dengan syarh al-shadr. Dan Allah memberikannya kepada Rasulullah saw sebagai salah satu karunia besar kepada beliau. Hal inilah yang diperlukan oleh kita semua sebagai orang yang hidup di sebuah masyarakat yang di masyarakat kita pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran yang beragam ada di hadapan kita.
Orang yang memiliki lapang dada bisa menghadapi pemikiran-pemikiran yang berbeda, yaitu dengan hati yang lapang dan tidak terbawa oleh emosi saat menghadapinya. Itu pulalah pesan Imam Ali bin Abi Thalib ketika beliau mengatakan dan memberikan pesan kepada mereka yang memiliki kedudukan bahwa kalau orang ingin menjadi pemimpin, maka alat atau sarana yang harus dimilikinya adalah hati yang lapang. Hal itu pula yang diingatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib ketika beliau mengutus gubernur baru ke Mesir yaitu Malik Asytar.
Beliau berpesan kepada Malik Asytar, “Wahai Malik, orang-orang yang akan engkau hadapi ada dua kelompok. Satu kelompok adalah saudaramu sesama muslim dan seagama. Kelompok yang lain adalah yang tidak seagama denganmu, tapi dia satu jenis denganmu sebagai sesama manusia. Karena itu, lapangkanlah dadamu ketika berhadapan dengan mereka. Perlakukan mereka dengan kasih sayang.”
Ada beberapa contoh yang direkam oleh sejarah dan buku-buku riwayat yang menceritakan bagaimana Rasulullah saw menunjukkan hati beliau yang lapang dalam kehidupan beliau. Kisah pertama adalah kisah seorang Badui yang masuk menemui Rasulullah saw saat beliau sedang bersama dengan para sahabatnya. Orang desa itu, biasa disebut dengan Badui itu, berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku sudah biasa berkumpul dengan istriku saat aku sedang dalam keadaan puasa.”
Tanpa menghardiknya dan tanpa marah kepadanya Rasulullah saw berkata, “Kalau begitu, supaya bisa mengobati kesalahanmu, maka merdekakanlah seorang budak.”
Si badui berkata, “Ya Rasulullah—sampai menujuk kepada lehernya, “Ya Rasulullah, ini adalah adalah leherku, leherku adalah leher seorang budak. Aku seorang budak ya Rasulullah.”
Lalu Rasulullah saw mengatakan kepadanya, “Kalau begitu, puasalah dua bulan berturut-turut.” Orang itu berkata, “Ya Rasulullah, satu hari saja aku berpuasa, aku melakukan perbuatanku yang salah itu, bagaimana aku bisa berpuasa dua bulan berturut-turut.”
Kata Rasulullah saw, “Kalau begitu, berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Dia menjawab, “Ya Rasulullah aku tidak punya apa-apa.”
Rasulullah saw kemudian meminta sahabat-sahabatnya untuk mengumpulkan harta untuk diberikan kepadanya sebagai tebusan harta zakat yang diambil untuk diberikan kepada orang itu supaya dia bisa memberikannya kepada orang fakir sebagai kafarah atas apa yang dilakukannya pada siang hari di bulan Ramadaitu.
Ketika dia sudah mendapatkan zakat itu, mendapatkan pemberian dari Rasulullah saw itu, ia mengatakan, “Ya Rasulullah, kalau engkau ingin melihat di seluruh Kota Madinah dan sekitarnya, jika engkau mencari orang yang paling miskin, maka engkau tidak akan temui kecuali aku.”
Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw tertawa sampai gigi seri beliau terlihat. Para sahabat beliau juga tertawa. Lalu Rasulullah saw mengatakan, “Ambil zakat ini. Beri makan keluargamu dengan ini dan istigfarlah kepada Allah.”
Kisah kedua adalah seorang Badui datang kepada Rasulullah ketika beliau sedang berada di masjid bersama para sahabatnya. Badui ini berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ampunilah aku dan ampuni Muhammad. Jangan engkau ampuni orang lain selain kami berdua.” Rasulullah saw bertanya, “Wahai ‘Arabi, wahai Badui, mengapa engkau berdoa seperti itu? Kalau berdoa, doalah yang luas yang bisa mencakup orang-orang lain.”
Ternyata hal itu dipicu oleh sebuah kejadian yang kejadiannya adalah Badui ini, ketika berada di Masjid Nabi, tiba-tiba dia berdiri dan berdiri di pojok masjid. Lalu dia membuang air kecil di situ. Para sahabat—yang melihat perbuatan orang tersebut, yang menajisi Masjid Rasulullah—bangkit dan akan memukul orang itu. Rasulullah saw menahan para sahabatnya dan mengatakan, “Biarkan sampai dia menyelesaikan hajatnya.”
Setelah selesai Rasulullah saw meminta para sahabat untuk membawa air lalu beliau membersihkan dan menyucikan tempat yang najis tadi. Lalu beliau berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang diutus dan dibangkitkan oleh Allah untuk memberikan kemudahan bukan memberikan kesusahan.”
Lalu Rasulullah menoleh kepada orang Badui tadi dan berkata, “Wahai Badui, ketahuilah bahwa ini adalah masjid. Masjid bukan untuk dinajisi tetapi dibangun untuk tempat orang beribadah dan menyembah kepada Allah.”
Rasulullah saw adalah seorang nabi yang mendapatkan berita-berita gaib dari Allah Swt. Beliau tahu di antara mereka yang berada di sisi beliau ada orang-orang munafik. Kita tahu bahwasanya dalam Alquran al-Karim ada surat yang diberi nama dengan Surah al-Munafiqun yang membahas tentang orang-orang munafik. Selain itu juga ada beberapa surah dan ayat-ayat suci Alquran yang jumlahnya cukup banyak yang membahas tentang orang-orang munafik. Rasulullah saw tahu siapa saja mereka dan Rasulullah juga tahu apa yang ada di hati mereka, rencana-rencana jahat dan hati-hati busuk mereka. Beliau telah mengetahuinya berkat wahyu dari Allah. Meski demikian, ketika melihat mereka datang ke masjid dan salat bersama beliau dan para sahabat lain, beliau membiarkan mereka dan memperlakukan mereka dengan baik.
Yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap mereka adalah memperlakukan mereka sama seperti beliau memperlakukan para sahabatnya yang mukmin. Tidak membedakan antara mereka dengan kaum mukminin. Ketika mereka masuk ke masjid dan salat bersama Rasulullah saw, beliau tidak membedakan perlakuan beliau terhadap mereka dengan perlakuan beliau kepada yang lain. Ketika beliau membagikan harta dari baitulmal kepada kaum muslimin, Rasulullah saw juga memberikan kepada mereka. Ketika berada dalam sebuah peperangan dan mendapatkan rampasan perang, mereka juga mendapatkan bagian sebagaimana orang-orang yang lain mendapatkan bagian.
Abdullah bin Ubay bin Salul
Yang kedua, beliau tidak memperlakukan mereka dengan kasar dan keras. Padahal semua tahu bahwa orang-orang munafik seringkali mengganggu Rasulullah saw dan melakukan tindakan-tindakan keji terhadap Rasulullah saw. Di antara kaum munafikin ada yang paling tersohor di antara mereka yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Banyak sekali ayat Alquran menceritakan makar busuk Abdullah bin Ubay dan kelompoknya. Salah satunya adalah ayat yang ada di surah al-Munafiqun. Allah berfirman, yaqûlûna lain raja’nâ ila al-madînati layukhrijanna al’aazzu minha al–adzalla. Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.” (63: 8). Maksudnya, orang-orang yang mulia adalah mereka, sementara yang disebut orang-orang hina adalah kaum muslimin akan kami usir mereka dari Kota Madinah. Allah mengatakan, “Mereka yang mengatakan begini tidak tahu bahwa kemuliaan adalah milik Allah, milik Rasul dan milik kaum mukminin, sementara orang-orang munafik tidak mengetahuinya.”
Ketika ayat ini turun, yang menceritakan tentang kata-kata busuk dan kata-kata buruk yang dialamatkan kepada Rasulullah saw dan mukminin yang keluar dari mulut Abdullah bin Ubay, sebagian sahabat mendatangi Rasulullah saw dan mengatakan, termasuk di antaranya Khalifah Kedua Umar bin Khaththab, “Ya Rasulullah, izinkan kepada kami untuk menebas leher munafik ini.” Tapi Rasulullah saw tidak mengizinkannya. Beliau menjawab, “Aku tidak ingin orang-orang menyebut bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri.”
Ketika kasus Abdullah bin Ubay merebak sedemikian luas di tengah kaum muslimin, anak dari orang munafik ini yang kebetulan juga bernama Abdullah, yakni Abdullah bin Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, mendatangi Rasulullah saw dan mengatakan, “Ya Rasulullah, aku tersiksa sekali dengan apa yang dilakukan ayahku kepadamu. Aku juga mendengar bahwasanya sahabat-sahabat mengusulkan untuk membunuh ayahku. Ya Rasulullah, jika engkau izinkan, biar aku saja yang membunuh ayahku. Jangan orang lain karena aku tidak mau hubungan antara aku dengan ayahku menyebabkan ketika aku melihat pembunuh ayahku ada di tengah-tengah masyarakat, pada tengah-tengah kaum muslimin. Aku menuntut balas balas dendam kepadanya sehingga Allah masukkan aku ke dalam neraka.”
Rasulullah saw menjawab apa yang dikatakan oleh anak yang mukmin ini. Dengan mengatakan, “Tidak, aku tidak akan pernah memerintahkan sahabat untuk membunuh ayahmu. Aku maafkan dan kita akan memaafkan dia. Dan kita akan sabar terhadap perilaku buruknya.”
Diriwayatkan dalam sejarah bahwa ketika Abdullah bin Ubay sakit dan mendekati ajalnya anaknya datang kepada Rasulullah saw mengatakan, “Ya Rasulullah, biasanya kalau ada orang sakit, engkau selalu mengunjungi dan membesuk anak orang yang sakit itu. Sekarang ayahku sakit. Kalau engkau, ya Rasulullah, tidak membesuk dan tidak mengunjungi ayahku, ini akan menjadi cela dan aib bagi kami sekeluarga. Kami mohon kepadamu, ya Rasulullah sempatkan untuk bisa berkunjung ke ayahku.” Rasulullah kemudian mengatakan pada para sahabatnya, “Ayo kita pergi untuk mengunjungi Abdullah bin Ubay.”
Rasulullah saw berjalan dengan para sahabatnya dan mengunjungi Abdullah bin Ubay yang sedang sekarat. Sampai di sana anaknya mengatakan, “Rasulullah mintakanlah ampun kepada Allah untuk ayahku.”
Rasulullah saw mengabulkan permintaan sang anak dan beristigfar untuk Abdullah bin Ubay yang munafik itu. Ketika menyaksikan Rasulullah saw beristigfar untuk orang munafik itu, para sahabat tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah lalu berkata kepada beliau, “Ya Rasulallah, mengapa engkau beristigfar untuk orang yang jelas-jelas dia adalah munafik.”
Coba kita perhatikan apa yang terjadi. Rasulullah saw diminta oleh anaknya Abdullah bin Ubay untuk beristigfar dan beliau beristighfar. Kemudian para sahabat memprotes Rasulullah saw. Dalam menjawab protes para sahabat, beliau mengatakan, Allah Swt dalam ayat suci-Nya memberikan aku pilihan, aku mau beristigfar untuk orang munafik ataukah tidak dalam ayat-Nya, “Istaghfir lahum aw laa tastaghfir lahum in tastaghir lahum sab’îna marratan fa lân yaghfirallahu lahum. Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. (9: 80). Engkau, wahai Muhammad, beristigfar untuk orang munafik atau engkau tidak beristigfar untuk munafik, Allah tidak akan mengampuni.” Artinya, Allah Swt telah memberikan pilihan kepada Rasulullah saw untuk beristigfar atau tidak. Dan Rasul memilih untuk beristigfar.
Puncaknya adalah yang disebutkan oleh Allamah Majlisi dalam Bihar al–Anwar. Ketika Abdullah bin Ubay meninggal dunia, anaknya mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, ayahku meninggal. Aku minta engkau memberikan bajumu supaya aku bisa menjadikannya sebagai kafan untuk ayahku.”
Rasulullah saw mengabulkan permintaan itu dan memberikan baju beliau kepada anak itu untuk dijadikan sebagai kafan ayahnya. Kita tahu bahwasanya di Madinah pada saat itu tidak ada orang yang paling memendam permusuhan, tidak ada orang yang paling membenci, dan tidak ada orang yang paling keji dalam perbuatannya terhadap Rasulullah saw lebih dari Abdullah bin Ubay. Tapi kita saksikan bagaimana Rasulullah saw perlakukan Abdullah bin Ubay. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua. Jika Rasulullah saw terhadap musuh yang paling berbahaya, musuh bebuyutannya, demikian beliau menunjukkan akhlak beliau, bukankah ini adalah pelajaran berharga bagi kita, khususnya bagi mereka yang memiliki kedudukan. Mereka yang memiliki orang-orang yang berada di bawah mereka supaya bisa merangkul semua. Kita hidup di tengah masyarakat supaya bisa merangkul saudara-saudara kita di tengah masyarakat. Mereka bukan musuh kita. Mereka tidak seperti Abdullah bin Ubay di mata Rasulullah saw.[] Naskah ini merupakan khotbah Jumat Direktur ICC Dr. Abdulmajid Hakimelahi, Jumat 30 Oktober 2020, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.