ICC Jakarta – Setiap tahun ketika akan memasuki bulan Muharam al Haram, kelompok kecil Wahabi Indonesia khususnya mendekati tanggal 10 Muharam, tepat hari dibantainya Imam Husain AS secara sadis oleh para pecinta Dunia yang berjubahkan Islam. Menghiasi jagad maya dengan kedengkian dan kebencian.
Berbagai tuduhan pun dilontarkan, isu-isu lama digodok kembali ke permukaan, jawaban-jawaban logis yang sudah diberikan tahun-tahun sebelumnya sama sekali tidak digubris, tujuan mereka hanya satu menyebarkan isu-isu kebencian, menyebarkan hoaks, memasuki masyarakat umum maupun kelompok-kelompok pecinta Ahlul Bait. Kadang menasihati namun juga sering dengan imbuhan tumpukan caci maki beruntun.
Ini adalah ujian bagi para pecinta ahlul bait, dalam menghadapi situasi ini Imam Sajad memberikan solusi cerdas, ketika ada orang yang turut membunuh di Padang Karbala dan membantai Keluarga termasuk ayahanda Imam Sajad, orang itu datang dan bertamu di rumah Imam Sajjad As, beliau memperlakukan tamu yang sudah ia ketahui identitasnya sejak awal itu dengan sangat baik, disediakan tempat tinggal untuk menginap, disediakan makanan, disedikan berbagai fasilitas yang dibutuhkan, ketika hendak pulang pun diberikan uang pesangon untuk bekal diperjalanan. Tamu itu sangat heran, dan menangis dengan perlakukan itu, dia mengira Imam tidak mengenalinya sehingga dia diperlakukan sedemikian baik, akhirnya dia membuka suara, dan berkata apakah engkau tidak tahu aku adalah orang yang turut menyerang orang tua anda, Imam Menjawab, Iya saya tahu sejak awal siapa engkau , tapi itu adalah akhlak kalian, dan seperti inilah akhlak kami (keluarga Nabi).
Ini adalah pelajaran besar Asyuro, dengan spirit asyuro para pecinta Imam Husain as harus istiqomah untuk berakhlak baik.
Mungkin sepanjang zaman para pembela Muawiyah akan selalu ada, tanpa henti mencaci dan membenci Keluarga Nabi, kebencian yang membuat sosok seperti Muawiyah berharap kumandang Syahadat kenabian untuk tidak lagi dikumandangkan.
Masing-masing muslim walau sudah bertahun-tahun hidup di lingkungan orang Islam, lahir dari orang tua Islam, setiap minggu ada tahil dan yasin berjamaah, setiap Jumat melaksanakan salat Jumat, sudah belajar agama Islam dari guru-guru agama Islam dari SD, SMP, dan SMA. Untuk tidak malu kembali meraba konsep ketauhidan diri, karena ketauhidan seseorang sebagaimana halnya keimanan adalah sesuatu yang mengalami pasang surut, bisa bertambah bisa berkurang.
Pemahaman atas Tauhid Ilahiah secara cermat dan tepat, juga dipahami secara benar akan memberikan implikasi kepada Konsep kenabian pada tahap selanjutnya, pemahaman benar dan tepat dalam Kenabian juga akan menjadi bekal penting dalam memahami konsep kepemimpinan Ilahiah para wakil Nabi ketika Mabi Muhammad Saw sudah meninggal dunia. Memahami hanya dalam ranah hafalan tentu tidaklah cukup, ketauhidan, dan kenabian harus sampai pada tahap keyakinan yang mendarah daging, sampai pada titik dimana diri dengan akal dan pikiran yang dimiliki sudah tidak dapat lagi mencari argumen penolakan atas kebenaran Tauhid billah dan juga Kenabian Rasulullah. Sudah seutuhnya pasrah menerima Allah dengan segala ketentuannya.
Tanpa pemahaman komprehensif dari Tauhid dan Nubuwah, maka tidak aneh ketika ada orang yang mengatakan, sedih atas meninggalnya seseorang itu hal normal, tapi momentum saja, cukup membaca innalillahi wa innailaihi rajiuan, semoga amal dan perbuatan baiknya diterima disisi Allah, semua salah dan dosanya dimaafkan oleh Allah Swt. Apalagi Imam Husain adalah seorang penghulu pemuda surga, beliau sudah sampai ke tahap tertinggi kesyahidan, mengapa kita tangisi, setiap tahun, apalagi disebut-sebut setiap hari adalah asyuro setiap tanah adalah Karbala. Hal ini adalah sangat berlebih-lebihan.
Jelas hal ini tidak akan muncul jika memahami gradasi ketaatan dari Allah, Rasullullah, dan Ulil Amri[1]. Ketaatan mutlak tak terbantahkan Allah yang mana dengan itu Allah memerintahkan untuk taat kepada Rasulullah dan Ulil Amri, Rasulullah dengan wewenang yang diamanatkan Allah kepada beliau, beliau juga memerintahkan ketaatan tanpa alasan dari semua orang yang sudah masuk Islam kepada Ulil Amri. Begitu juga ketika Ulil Amri menunjuk seseorang sebagai wakil darinya, mentaati orang yang ditunjuk oleh Ulil Amri juga ketaatan tanpa sarat, tanpa harus bertanya lagi mengapa orang itu yang jadi wakil bukan yang lain dan seterusnya.
Allah Maha Benar, Nabi juga maksum tidak pernah melakukan kekeliruan maupun kesalahan, Ulil Amri pun sama tidak pernah keliru atau salah, mereka manusia suci disucikan Allah Swt. Ketaatan kepada Yang Maha Benar, kepada Nabi pilihan Allah yang maksum tidak pernah salah dan lupa, juga kepada Ulil amri yang juga maksum jelas hal yang sangat logis, tidak ada ketaatan lain yang lebih utama dibanding bentuk garis ketaatan ini. Tidak ada sedikit pun keraguan.
Ketika hal ini sudah secara sempurna dipahami dan dijalankan secara sempurna lalu memandang apa yang terjadi pada 10 Muharam 61 H maka sudut pandangnya akan berbeda. Bisa melihat lebih universal, tidak hanya sepenggal-sepenggal lalu melalaikan sudut-sudut penting yang lain. Melihat Imam Husain tidak hanya sebagai personal saja, melihat beliau sebagai bagian dari Rasulullah, bagian dari Islam, dan lebih dari itu bagian dari Ulil Amri, sosok yang ketaatan kepadanya tidak ada keraguan sedikitpun.
Orang dengan bekal pemahaman ini tidak akan meremehkan syahadah dari Imam Husain as beserta keluarga, menerjemahkan apa yang terjadi pada 10 Muharam itu pada kejadian-kejadian masa sekarang. Bagaimana merespon orang-orang dzalim, bagaimana mensikapi orang-orang yang tertindas.
[1] Catatan atas Kajian yang disampaikan oleh Ust. Dr. Muhsin Labib, falsafah revolusi Imam Husain