ICC Jakarta – Bertolak dari dasar-dasar yang ada sesuai dengan apa yang dimaklumkan oleh para ulama dan para penyeru persatuan, kami mencanangkan beberapa prinsip dan norma supaya menjadi garis besar kebijakan yang mesti diperhatikan oleh barisan penyeru pendekatan dalam upaya mewujudkan cita-cintanya. Beberapa prinsip dan norma itu ialah sebagai berikut.
Pertama: Bekerja Sama dalam Segala Hal yang Sudah Disepakati
Apa yang sudah disepakati di berbagai bidang sangatlah banyak sehingga tersedia banyak area kolektif, baik di bidang akidah maupun tasyri’iyyah—yang menurut sebagian ulama jumlahnya mencapai 90% lebih dari total area umum—, atau di bidang-bidang moral di mana kesepakatan hampir menyentuh titik sempurna. Demikian pula di bidang-bidang pengetahuan dan peradaban Islam, dan bahkan berkenaan dengan perjalanan sejarah dan kebudayaan—tentunya pada sendi-sendi utamanya—meskipun memang terdapat perselisihan pendapat dalam penilaian terhadap kasus-kasus tertentu.
Mengenai langkah-langkah operasional semuanya sepakat untuk mempersatukannya melalui kebersamaan dan solidaritas sosial serta melalui kesatuan kebijakan sosial yang menjadi tanggung jawab para pemimpin negara yang sah.
Tak syak lagi bahwa kerja sama menyangkut bidang-bidang kolektif pemikiran artinya ialah bahu membahu menanamkannya sebagai sebuah kesadaran bersama, menghindari segala sesuatu yang menjurus pada pelanggaran terhadapnya, dan pada gilirannya ialah mengukuhkannya pada garis besar perjalanan. Sedangkan kerja sama dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku individual, sosial dan kultural tentu sudah jelas dan meliputi beberapa bidang strategis semisal penerapan syariat Islam, pengagungan syiar-syiar ilahiah seperti salat Jumat dan ibadah haji, dan realisasi karakteristik umat Islam seperti persatuan.
Patut pula disebutkan di sini bahwa gerakan pendekatan antarmazhab harus berjalan optimal untuk membuka lahan-lahan kolektif tersebut serta memberikan pencerahan kepada khalayak umum atau bahkan kepada elite intelektual, sebagaimana perluasan lahan kolektif itu sendiri bisa dilakukan misalnya melalui pemberian indikasi bahwa perselisihan bersifat verbal, bukan substansial, atau melalui pencerahan dengan metode lain yang menjadi titik temu kedua pihak yang berselisih.
Kedua: Kelapangan Hati Ketika Terjadi Perselisihan
Selagi kita meyakini keterbukaan pintu ijtihad serta memandangnya sebagai keadaan alami yang tidak dapat dibendung dengan suatu keputusan, dan selagi sebab-sebab perbedaan hasil-hasil ijtihad tetap ada dan alamiah pula maka ini berarti kerelaan untuk menerima perbedaan pendapat dan fatwa. Patut pula untuk kita ingat di sini bahwa kita tidak menemukan larangan Islam terhadap perbedaan pendapat. Larangan yang ada hanyalah terhadap pertikaian untuk kekuasaan, keberpencaran dalam agama, sektarianisme yang memecah belah, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan rasionalitas Islam.
Atas dasar ini, seorang muslim baik yang sudah berilmu maupun yang masih belajar, baik mujtahid maupun pengikut, harus siap menghadapi perbedaan pendapat dan tidak perlu menggunakan cara-cara intimidasi, pendiskreditan dan lain sebagainya. Dengan demikian, perselisihan tetap tidak akan mengusik rasa persaudaraan dan kasih sayang.
Ada banyak nas yang menyerukan kepada orang yang beriman agar bersabar, toleran berlapang dada, dan bisa jadi kebalikan dari kenyatakan kita dewasa ini. Di sini kami ingin menyinggung nas dari Imam Ja`far Shadiq as ketika keadaan suatu kaum sedang dibicarakan. Perawi berkata, “Aku berlepas diri dari mereka karena mereka tidak sependapat dengan kita.” Imam berkata, “Mereka mencintai kami meski mereka tidak sependapat dengan kami, apakah kalian berlepas diri dari mereka?” Perawi berkata, “Ya.” Imam berkata, “Kami memiliki sesuatu yang tidak kalian miliki, maka apakah kami harus berlepas dari dari kalian….” Imam lantas berkata lagi, “Maka cintailah mereka dan jangan berlepas diri mereka. Sesungguhnya di antara orang-orang Islam ada yang memiliki satu saham dan ada pula yang memiliki dua saham … Maka tidaklah patut apabila urusan pemilik satu saham dilimpahkan kepada urusan pemilik dua saham….”15
Perilaku para imam mazhab satu sama lain juga menjadi teladan yang baik mengenai hakikat ini. Tentu akan berkepanjangan jika kami memaparkan di sini apa yang termuat dalam sejarah tentang ini.16
Kita juga melihat mereka tidak menutup pintu ijtihad bagi yang lain. Mereka bahkan mengharamkan seseorang mengikuti pendapat mereka jika orang itu mendapatkan dalil yang bertentangan pendepat mereka. Tentang ini cukuplah kiranya kami memaparkan beberapa keterangan sebagai berikut.
Imam Malik bin Anas berkata, “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, bisa benar dan bisa salah, maka ukurlah pendapatku dengan kitab suci dan sunah.”
Imam Syafi’i berkata, “Jika ada hadis yang bertentangan dengan pendapatku, campakkan pendapatku ke dinding.”
Imam Hanafi berkata, “Inilah pendapatku dan inilah yang menurutku terbaik, maka kami menerima pendapat yang tidak sesuai dengan pendapatku, dan haram orang lain berfatwa dengan pendapatku jika dia tidak mengetahui dalilku.”
Imam Hambali berkata, “Barangsiapa yang tidak banyak mengetahui ilmu rijal, hendaknya bertaklid kepada tokoh.”
Sikap yang sama juga ditekankan oleh para ulama besar sesudah mereka.17
Ketiga: Menghindari Pengafiran, Pemfasikan dan Tuduhan Bidah
Kami menganggap masalah pengafiran sesama muslim (takfir) sebagai salah satu petaka besar yang menimpa sejarah kita. Meskipun banyak nas suci yang menjelaskan batasan-batasan muslim di satu sisi dan melarang pengafiran sesama muslim di sisi lain18, namun kita melihat keadaan yang membekukan akal ini justru mewabah. Kita bahkan melihat ada orang menulis buku berisikan pernyataan bahwa penolakan terhadap apa pun yang ada dalam buku itu dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir. Ini jelas mengherankan.19
Atas dasar ini kami menyerukan peralihan dari jargon “iman dan kafir” menjadi tahap “benar dan salah” dengan spirit al-Quran yang menyerukan sportivitas, bahkan dalam perdebatan dengan orang yang memang kafir, manakala Rasulullah saw bersabda kepada mereka,
“Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.”20
Keempat: Tidak Terpancang Pada Konsekuensi Pendapat
Adalah sesuatu yang wajar apabila seseorang bertahan pada pendapatnya dan membelanya dengan saksama dan sekuat tenaga. Sayangnya, kita terbiasa berdebat berdasar konsekuensi pendapat sehingga terjadilah aksi pengafiran dan tuduhan bidah, padahal orang yang berpendapat itu belum tentu menerima konsekuensi tersebut.
Contohnya adalah orang yang meyakini rasionalitas penilaian baik dan buruk kemudian menyatakan bahwa penolakan terhadap keyakinan ini dapat menutup pintu keimanan terhadap kebenaran nabi dengan alasan bahwa hal yang menolak kemungkinan kedustaan nabi yang datang membawa mukjizat adalah hukum akal karena akal memastikan keburukan pembekalan mukjizat bagi seorang pendusta, sehingga jika asumsinya ialah tidak adanya rasionalitas penilaian buruk maka ini berarti bahwa kita telah menutup pintu keimanan kepada kenabian. Demikian pula pernyataan yang mengemuka mengenai ketaatan kepada Allah. Disebutkan bahwa yang mengharuskan kita taat kepada-Nya adalah akal, bukan selainnya.
Dalam konteks inilah kita melihat sebagian orang menuduh syirik pihak lain yang meyakini tawasul dan syafaat, atau bersumpah bukan dengan nama Allah. Pihak yang menuduh beralasan bahwa keyakinan-keyakinan itu konsekuensinya ialah ini, itu dan seterusnya.
Diskusi secara ilmiah dan dengan kepala dingin adalah sesuatu yang diharap. Kita sama sekali tidak menghendaki penutupan pintu diskusi teologis. Logika justru menuntut pembukaan pintu ini. Namun kami menyerukan diskusi yang logis sehingga jangan sampai kita mengaitkan sesuatu kepada orang lain sementara orang itu tidak menerimanya. Selagi dia tidak menerima keniscayaan antara pendapatnya dan pendapat yang lain maka kita harus dapat menutup mata. Dengan cara demikian kita dapat menutup pintu rapat-rapat bagi aksi saling tuduh yang dapat menimbulkan perpecahan.
Kelima: Saling Hormat dalam Dialog
Saling hormat disebabkan kita mengetahui bahwa dialog adalah logika sehat manusia untuk mengemukakan pendapatnya kepada orang lain, dan bahwa al-Quran telah mengemukakan teori yang bagus untuk dialog yang ideal, teori yang mengemukakan mukadimah-mukadimah dialog, kondisi, tujuan dan bahasanya dengan sangat indah tiada tara, termasuk menyangkut kesediaan mendengar berbagai pendapat lalu mengikuti pendapat yang terbaik. Demikian pula menyangkut kesiapan untuk tidak melukai perasaan orang. Al-Quran bahkan menegaskan,
Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.”21
Ayat ini berkenaan dengan ketepatan tatacara dialog Rasulullah saw dengan nonmuslim, penjauhan beliau dari pola-pola yang dapat membangkitkan rasa dendam dan saling tuduh, serta kepedulian kepada logika dialog itu sendiri, yaitu pengindahan yang bahkan menyangkut pilihan kata, sehingga ayat ini tidak menggunakan kata “kami tidak ditanya (pula) tentang dosa yang kamu perbuat” sebagai bentuk penghormatan terhadap pihak lain, padahal kalimat itu sesuai dengan alur kata. Lantas bagaimana dengan kita sendiri, padahal kita berdialog sebagai sesama muslim yang sama-sama meyakini prinsip-prinsip yang telah kami sebutkan dalam penjelasan kami tentang prinsip-prinsip yang harus diindahkan dalam upaya pendekatan antarmazhab. Apalagi dalam sebuah hadis disebutkan, “Hendaknya setiap orang memerhatikan keburukan penghinaan terhadap saudaranya sesama muslim.”22
Keenam: Menghindari Penistaan Hal Yang Disucikan
Masalah ini pada dasarnya mengikuti dasar sebelumnya, dan bahkan sebenarnya lebih utama karena penistaan itu menimbulkan kondisi emosional yang kontraproduktif dan menghilangkan keseimbangan dialog yang diinginkan. Kita melihat al-Quran melarang tindakan demikian. Allah Swt berfirman,
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan23
Dengan roh insaniah inilah Allah Swt mengarahkan orang-orang yang beriman dalam pergaulan mereka sesudah Dia menerangkan kepada mereka tugas-tugas dakwah mereka yang tidak mengandung unsur pemaksaan pendapat terhadap pihak lain, termasuk orang-orang musyrik. Allah Swt berfirman,
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan(Nya). Dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka24
Nas-nas Islam yang melarang hujatan dan pelaknatan sudah masyhur. Jika terhadap orang-orang musyrik pun ternyata perlakuan harus demikian, lantas bagaimana lagi dengan dialog antarsesama muslim yang sudah seharusnya saling bersaudara, memiliki satu tujuan yang sama, satu ikut merasakan jika yang lain sakit atau mendambakan sesuatu. Dengan demikian, penistaan sama sekali tidak dapat ditolerir, khususnya terkait hal-hal yang disucikan oleh pihak lain dan tidak ada kaitannya dengan keyakinan-keyakinannya yang paling pokok.
Ketujuh: Kebebasan Memilih Mazhab
Kebebasan memilih mazhab adalah karena ketika kita sudah meyakini bahwa mazhab-mazhab yang ada merupakan hasil ijtihad yang notabene diperkenankan oleh Islam maka kita juga harus menganggapnya sebagai jalan-jalan yang mengemuka untuk mencapai keridaan Allah Swt.
Ketika terjadi perbedaan pendapat, sudah sewajarnya seorang muslim mempelajari mazhab-mazhab lain kemudian memilih mana yang lebih baik sesuai dengan tolok ukur yang diyakininya dan yang membuatnya dapat memastikan bahwa dia telah menunaikan kewajiban, amanat dan ikrarnya di hadapan Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada orang lain yang berhak mencela apa yang telah dia pilih, walaupun seandainya dia masih belum puas dengan pilihan itu. Kemudian, tidak ada artinya memaksa seseorang untuk memilih mazhab tertentu karena ini berkaitan dengan kepuasan ideologisnya, dan ini tidak mungkin dicapai kecuali dengan dalil dan argumentasi.
Di sini kami menegaskan bahwa setiap mazhab berhak mengemukakan dan menjunjung pendapatnya tanpa harus mengusik, mengintimidasi dan melukai mazhab-mazhab lain. Karena itu kami tidak menganjurkan penutupan diskusi yang rasional dan sehat berkenaan dengan akidah, fikih dan sejarah. Yang kita tolak adalah upaya-upaya eksploitasi, pelemahan, perdebatan sia-sia, pemaksaan pendapat dan lain sebagainya.
Kami meyakini bahwa pelanggaran yang
terjadi sepanjang sejarah kita adalah akibat inkonsistensi terhadap
kaidah-kaidah dialog yang ideal dan pengabaian terhadap hakikat bahwa semua
mazhab yang ada bekerja demi menjunjung tinggi kalimat Islam sesuai perspektif
masing-masing.
15 Wasā’il al-Syī’ah, cetakan Muassat Ahlulbait (as), juz 16, hal. 160.
16 Silakan meninjau pembahasan Syekh Waid Zadeh tentang ini dalam bukunya Dirāsat wa Buhῡts, jilid 1, hal. 545.
17 Banyak pernyataan senada dari para tokoh yang dikutip dalam berbagai kitab, antara lain Jalā’ al-Ain karya Alusi hal.107, Talbīsu Iblis karya Ibnu Jauzi, dan kitab kontemporer berjudul al-Imām al-Shādiq wa al-Madzāhib al-Arba’ah, jilid 1, hal. 175.
18 Silakan meninjau hadis-hadis bab iman dalam kitab-kitab sahih dan kitab-kitab hadis seperti Jāmi’ al-Ushῡl karya Ibnu Atsir al-Jazari, jilid 1.
19 Kami memiliki data dan buktinya namun tidak perlu kami kemukakan di sini.
20 QS. al-Saba’ [34]: 25.
21 QS. Saba’ [34]: 25.
22 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dalam sebuah hadis yang panjang.
23 QS. al-An’am [6]: 108.
24 QS. al-An’am [6]: 107.