ICC Jakarta – Dalam beberapa dekade terakhir ini timbul gerakan pendekatan (harakat al-taqrib). Gerakan ini adalah sesuatu yang mengakar pada periode-periode Islam terdahulu karena memang bertumpu pada prinsip-prinsip syariat yang agung. Gerakan ini semakin terasa mendesak setiap kali wilayah tanggung jawab umat ini meluas dalam pembangunan budaya insaniah, atau minimal turut andil di dalamnya. Gerakan ini belakangan juga telah berubah menjadi satu strategi yang aktif.
Para ulama dan tokoh terkemuka pada 40 tahun terakhir ini telah meletakkan batu pertama gerakan suci ini dan berjuang maksimal menjelaskan idealisme yang terkandung di dalamnya serta menuliskan risalah-risalah agar idealisme itu tertanam dalam sanubari umat, sesudah mereka mengukuhkannya dan menjelaskan akar-akar syar’i serta urgensinya yang terus berkembang.
Kita semua berbahagia sekali karena benih ini telah tumbuh dan berubah menjadi ibarat pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.
Dasar-Dasar
Kami percaya bahwa keyakinan menyangkut pendekatan antarmazhab ini sangat logis apabila kita mengacu pada beberapa dasar—yang notabene diyakini oleh seluruh mazhab tanpa kecuali—sebagai berikut.
Pertama, keimanan kepada prinsip-prinsip besar akidah Islam, yaitu tauhid (dalam zat, sifat, perbuataan dan ibadah), kenabian terakhir Rasulullah saw dan kitab suci al-Quran yang beliau bawa, dan hari kiamat.
Kedua, konsistensi sepenuhnya kepada hal-hal yang pasti dalam Islam (dharuriyyāt al-Islām) serta rukun-rukunnya berupa salat, zakat, puasa, dan haji, dan selain keduanya.
Ketiga, konsistensi sepenuhnya kepada keyakinan bahwa al-Quran al-Karim dan Sunah nabi adalah dua sumber utama untuk mengetahui pandangan Islam dalam semua urusan, yakni pandangannya tentang alam semesta, kehidupan, dan manusia, baik berkenaan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan kehidupan dunia dan akhirat, serta hukum dan syariatnya yang mengatur kehidupan dan perilaku individu dan sosial. Adapun prinsip-prinsip dan sumber-sumber lain seperti akal, qiyas, ijmak dan lain sebagainya, semua ini tidak memiliki validitas apa pun kecuali jika disandarkan pada al-Quran dan Sunah. Jika terbukti bahwa semua itu tidak bersandar pada keduanya, apalagi sampai bertentangan dengan keduanya, mau tidak mau harus ditolak.
Seluruh imam mazhab telah menegaskan hakikat ini dengan sangat jelas, dan bahwa mereka menimba tak lain dari dua sumber tersebut. Selain itu, banyak pula riwayat dari Ahlulbait as yang menegaskan hakikat ini. Imam Ja`far Shadiq as, misalnya, berkata;
كل شيء مردود الى الكتاب والسنة
“Segala sesuatu harus dikembalikan kepada kitab dan sunah.”12
Imam Malik bin Anas berkata, “Aku hanyalah manusia biasa, bisa benar dan bisa salah, maka ukurlah pendapatku dengan kitab suci dan sunah.”13 Pertanyaan senada juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.14
Keempat, konsisten pada keyakinan bahwa Islam memperkenankan ijtihad karena ijtihad adalah pengerahan segenap upaya untuk menggali hukum syariat dari sumber-sumbernya yang sah, dan merupakan jalan untuk mengetahui Islam. Ijtihad juga berperan dalam penegasan terhadap fleksibeliteas syariat dan kemampuannya untuk merespon perkembangan zaman berdasar tolok ukur dan kriteria tertentu. Semua ini menunjukkan bahwa tidak tertutup kemungkinan untuk mengaitkan semua hasil ijtihad dengan Islam, walaupun hasil-hasil ijtihad itu berseberangan satu sama lain akibat perbedaan persepsi, sudut pandang, dan kepuasan, sebagaimana telah diajarkan dalam ilmu-ilmu keislaman dengan tema “sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat.”
Kita melihat Islam memperkenankan ijtihad karena agama ini adalah agama yang realistis dan fitri, dan memang tidak ada jalan selain ijtihad untuk mengetahui syariat apa pun yang lestari sepanjang zaman sedangkan wahyu sudah terputus dan insan maksumpun sudah meninggal dunia, walaupun ijtihad terkadang terjebak pada subjektivitas dan menghasilkan pendapat yang berseberangan satu sama lain dan sebagian di antaranya tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Islam dalam ilmu Allah Swt.
Kita juga melihat bahwa metode logis ini juga berlaku pada semua urusan akidah dan konsep, yakni persepsi-persepsi yang dari satu sisi berlandaskan akidah dan dari sisi lain berkaitan langsung dengan realitas kehidupan. Contohnya adalah masalah kekhalifahan, hukum, dan bahkan perspektif Islami perihal beberapa hukum alam.
Kelima, prinsip persatuan Islam adalah cerminan salah satu karakteristik utama umat yang mulia ini sehingga tanpa dasar ini eksistensi umat tidak dapat diklaim berproses ke arah kesempurnaan. Islam telah menentukan perencanaan yang matang untuk merealisasikan persatuan ini berdasar keteguhan kepada tali Allah yang kokoh, yaitu semua jalan yang terpelihara kebenarannya menuju Allah, sebagai penegasan atas kesatuan prinsip, perilaku, tujuan, syariat dan jalan. Islam menyerukan persatuan itu agar umat sama-sama masuk dalam lingkup kepasrahan diri sepenuhnya kepada Allah, melawan rencana-rencana setan. Islam mengingatkan besarnya pengaruh persatuan, menanamkannya sebagai akhlak dan kunci semangat pengorbanan kepentingan sempit demi tercapainya tujuan yang luas dan menyeluruh. Islam menutup celah bagi semua unsur perpecahan seperti bahasa, bangsa, negara, suku dan warna kulit sekaligus menanamkan kriteria kemanusiaan semisal ilmu, ketakwaan, dan jihad. Islam mengharuskan upaya pencarian titik temu dan penggunaan logika yang sehat, logika dialog secara objektif dan dengan kepala dingin. Masih banyak hal lagi yang ditekankan Islam yang karena sedemikian jelas maka sengaja tidak kami sebutkan semua agar tidak terlalu panjang.
Keyakinan kepada prinsip ini mendatangkan beberapa konsekuensi yang insya Allah akan kami singgung nanti, namun terhitung sebagai salah satu pilar gerakan pendekatan antarmazhab Islam.
Keenam, prinsip ukhuwah Islamiah. Prinsip ini sebenarnya merupakan bagian dari perencanaan yang telah kami singgung tadi, namun kami sengaja memberikan penekanan pada masalah ini karena merupakan bagian yang terpenting dan mengatur garis besar hubungan sosial dalam Islam, juga karena kita meyakini bahwa pengaruhnya tidak hanya menyentuh aspek-aspek moral melainkan juga aspek-aspek tasyri’iyyah, dan pengaruh itupun sepenuhnya positif bagi proses ijtihad itu sendiri agar di ranah ini kita tidak menyaksikan hukum-hukum yang berlawanan dengan prinsip tersebut.
Semua prinsip ini adalah yang terpenting untuk dijadikan landasan gerakan pendekatan antarmazhab, dan keyakinan kepada semua ini pada gilirannya melahirkan keyakinan sepenuhnya kepada gerakan pendekatan.
Atas dasar ini,
kami meyakini bahwa pendekatan antarmazhab tidaklah terbatas pada aspek moral
dan simbolik saja, sebagaimana juga tidak terikat pada aspek produksi hukum (tasyri’)
saja, melainkan
dapat menerobos lebih jauh hingga ke berbagai aspek intelektual dan kebudayaan.
Karena itu, semua kalangan elitee fikih dan elitee intelektual dapat dan bahkan
wajib andil bersama dalam pendekatan ini, dan bisa jadi gerakan justru harus
bermula dari kalangan elite baru kemudian ke publik sehingga kalangan elite harus tertempa terlebih
dahulu dengan budaya pendekatan antarmazhab. Sebab, ketika Islam memperkenankan
perbedaan pemikiran yang alamiah dan tidak destruktif di saat yang sama agama
ini sama sekali tidak memperkenankan pertikaian di tataran praktik dan
implementasi menyangkut berbagai persoalan krusial internal dan eksternal. Karena
itu pula, pembangkangan terhadap penguasa
syar’i yang notabene poros pemersatu sikap dan tindakan umat sebagai pembangkangan terhadap Allah karena
ketaatan kepadanya telah disandingkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
12 Wasā’il al-Syī’ah, jilid 18 hal. 79, dan di situ banyak sekali ungkapan serupa.
13 Jalā’ al-Ain, Alusi, dikutip dari Syekh Ibnu Taimiyah, hal. 107.
14 Ibid.