ICC Jakarta – Kalau kita mendengar nama Imam Khomeini (1902-1989), pertama kali yang hadir dalam imajinasi bahwa beliau itu seorang pemimpin kharismatik revolusioner pendiri Republik Islam Iran, sama seperti ketika bangsa Indonesia mendengar nama Ir. Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan bangsa.
Di dalam kepemimpinan Ayatullah Khomeini, secara resmi Iran menjadi Republik Islam pada 1 April 1979, serta mengakhiri masa pemerintahan monarki Muhammad Reza Pahlevi.
Ingatan kolektif orang tentang Ayatullah Khomeini sebagai seorang pemimpin politik dengan konsep Wilayat al-Faqih yang terkenal. Padahal Imam Khomeini bukan hanya pemimpin besar pada wilayah politik. Pribadi beliau adalah sebuah kompleksitas, sesuai dengan latar belakangnya yang telah menyauk berbagai sumber hikmah serta ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang pemikir besar beliau telah mengarang 40 buku serta, secara kongkret telah menerjemahkan “Hikmah Muta’aliyah” Mulla Sadra, kepada “Siyasah Muta’aliyah” pada tataran yang lebih kongkret sehingga dimensi perjalanan rohaninya sebagai seorang arif, berjalan paralel dengan transformasi serta spirit revolusi yang dibawanya bagi rakyat Iran. Beliau adalah seorang mujtahid, fuqaha, serta sebagaimana Maulana Rumi, Ferdawsi, Sa’di, serta Hafiz Shirazi, juga adalah seorang penyair yang meneguhkan jalan cinta mistik dengan tema sentral fananya segala maujud, di hadapan Allah sebagai Wujud Mutlak.
Sajak-sajak Ayatullah Khomeini, mengandung dimensi ‘irfani secara filosofis. Di Iran yang mayoritas Syi’ah, memang tidak dikenal istilah tasawuf sebagaimana di dunia Sunni yang telah memiliki dasar-dasar ontologis, epistemologis, serta aksiologis yang mapan. Yang lebih dikenal di Iran adalah ‘irfan sebagaimana pada Mulla Sadra, sebagai filosof yang mencapai puncak kegemilangan dari kekayaan tradisi ini. Imam Khomeini sendiri tidak hanya memahami tradisi ‘irfan ini secara teoritis, tetapi pada penghayatan serta prilaku praktis seperti pada disiplin pelaksanaan riyadhoh untuk menapaki jenjang maqamat sufi, serta puisi-puisinya, merupakan bagian dari ekspresi seorang pelaku suluk rohani. Dengan demikian Imam Khomeini bisa dikatakan sebagai pelaku ‘irfan amali atau di dunia Sunni disebut tasawuf amali.
Istilah ‘irfan berakar dari bahasa Arab ‘arafa. Maknanya paralel dengan makrifat, yang memiliki arti mengetahui Allah dari dekat. Tapi ‘irfan ini tampaknya berbeda dengan ilmu (`ilm). Dalam sudut pandang filosof Iran mutakhir, Mehdi Hairi Yazdi, “Ilmu Hudhuri, Prinsip-Prinsip Epistemologi di Dalam Filsafat Islam”, pengetahuan ‘irfan ini yang disebutnya sebagai “pengetahuan yang dihadirkan” (‘ilm hudhuri) yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang disebut sebagai “pengetahuan yang dicari” (‘ilm muktasab) (1994:47-48)
Sajak Keterjagaan
Memahami serta menghayati sajak “Keterjagaan” dari buah renungan filosofis serta mistis Ayatullah Khomeini, pembaca pasti dikejutkan dengan cara pandang sangat unik, yang menjadi ‘jahan bini’ (pandangan dunia) yang khas dari kaum sufi seperti Abu Yazid al-Busthami serta al-Hallaj. Sajak “Keterjagaan” diambil dari terjemahan Abdul Hadi WM dari Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi 4, 1992:22).
Karya “Keterjagaan” ini merefleksikan pencapaian kedudukan rohani sangat tinggi dari seorang yang telah mencapai Maqam ‘irfan atau Makrifat. Pengalaman spiritual itu kemudian disimbolisasi dengan menggunakan metafora-metafora yang profan sehingga seperti pengalaman hidup sehari-hari, padahal sedang menggambarkan aspek kerinduan azali terhadap Kekasih Sejati, Sang Mutlak.
Pengungkapan Hal atau kondisi spiritual yang dipenuhi dengan penghayatan mistik, menjadi penuh cita-rasa estetis karena memang dimaksudkan untuk menyampaikan kerinduan terhadap aspek jamaliyah-Nya, dengan simbolitas-simbolitas “bibir molek merah delimamu”, “pandang pilumu, menusukku”. Serta puncak dari kerinduan itu kondisi fana yang telah yang telah membebaskannya dari segala ketersiksaan “namun fana dalam Kau membuat diriku yang tersiksa jadi bebas”.
Bibir molek merah delimamu, titik hitam bundar di dahimu
Menjerat hatiku, kekasihku, dan bagai merpati aku terkurung
Pandang pilumu, menusukku hingga aku pun sakit dan merana
Namun fana dalam Kau membuat diriku yang tersiksa jadi bebas
Kupukul kendang “Ana al-Haqq,” seperti Mansur aku tahu
Apa tanggungannya, biar kurelakan nyawaku melayang
Sebab itulah jiwaku sembuh, terpana sembilan waktu
Dan pintu kedai anggur-Mu terbuka siang malam
Pada madrasah dan masjid aku sudah bosan
Jubah Fuqaha ini pun tak sanggup memberiku hiburan
Maka kukenakan baju fakir bertambal sulam
Yang membuatku sefar di tengah nyala api dan asap
Khutbah ulama menyebabkan mataku tertidur lelap
Nafas sempoyongan berbusa anggur menyampaikan kata emasnya
Tahu kau apa yang menyentak hingga terjaga?
Tangan molek pelayan kedai anggur membangunkan aku
Bagi Ayatullah Khomeini, sufi martir Mansur al-Hallaj yang banyak dipermasalahkan dari sisi syariat tampaknya memiliki kedudukan yang istimewa sebagai model penempuh jalan kearifan dengan ungkapan “Kupukul kendang “Ana al-Haq”. Ungkapan bombastis “Ana al-Haq”, ketika al-Hallaj sendiri berada dalam kondisi puncak pengalaman spiritual serta jubah kemanusiaan hancur serta segalanya larut dalam dimensi Lahutiyah-Nya.
Seperti pada Maulana Rumi yang menggambarkan kondisi fana dengan mempergunakan metafora “kedai anggur”, maka demikian pula Imam Khomeini. Kedai anggur sebagai sebuah tempat jamuan spiritual yang selalu terbuka sepanjang waktu. Kedai anggur yang merupakan tempat rahasia pertemuan manusia-manusia pilihan yang mengalami mabuk Ilahi, tempat di mana berbagai hijab yang membawa pada kelezatan spiritual dibukakan. Terdapat sikap kritis Ayatullah Khomeini terhadap aspek formal seperti pada “madrasah”, “mesjid”, “jubah fuqaha”, serta “khutbah ulama”.
Sebagai seorang ulama, yang dikritisinya adalah syariat tanpa hakikat yang membuat seseorang terjebak pada aspek lahiriah semata. Sedangkan untuk mencapai kondisi “terjaga” yang membuat mata batinnnya selalu terbuka terhadap limpahan berbagai rahasia Ilahi yang disimbolisasi “tangan molek pelayan kedai anggur membangunkan aku” tentu saja lahir dari kemampuan untuk mengintegrasikan syariat dengan hakikat sehingga puncak pengalaman irfan atau makrifat itu bisa didapat.
Demikianlah aspek ‘irfan yang terdapat pada puisi “Keterjagaan” Ayatullah Khomeini. Sebagai sebuah karya sastra yang merupakan ekspresi estetik dari sebuah pengalaman spiritual, sajak “Keterjagaan” beserta karya-karya puisi Imam Khomeini yang lain, telah turut memperkaya khasanah karya sastra sufi dunia.
*Penulis adalah Penanggung Jawab Iranian Corner UIN Sunan Gunung Djati Bandung serta aktivis LESBUMI-Nahdlatul Ulama.
Sumber: parstoday