ICC Jakarta – Kita berada di hari-hari peringatan duka Asyura, duka syahadah Sayyid al-Syuhada Imam Husain as. Saat ini adalah momen-momen yang paling tepat bagi kita untuk mencari ilham dan mengambil pelajaran yang berharga dari Asyura dan dari perjuangan Imam Husain as yang mengorbankan segalanya di bulan Muharam.
Kalau berbicara mengenai pelajaran apa saja yang bisa kita dapatkan dari perjuangan Imam Husain as dan peristiwa Asyura, jawabannya adalah kita bisa mengambil sedemikian banyaknya, sampai ribuan pelajaran bisa kita petik. Akan tetapi, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil supaya bisa kita terapkan dalam kehidupan kita.
Gerakan Imam Husain as yang berujung pada peristiwa Asyura di Karbala berbeda dengan gerakan-gerakan revolusioner yang kita kenal dalam sejarah kehidupan manusia. Gerakan yang dipimpin oleh Imam Husain as ini secara substansial berbeda dengan semua gerakan sepanjang zaman, dari zaman Nabi Adam as sampai sekarang tidak pernah sejarah Islam maupun sejarah kemanusiaan mencatat peristiwa gerakan seperti yang dipimpin oleh Imam Husain as. Karena itu, kita bisa dapatkan berbagai dimensi dari gerakan Imam Husain ini, baik dimensi itu berhubungan dengan masalah politik, sosial, bahkan sastra budaya keislaman, dan segala hal yang bisa kita pikirkan.
Beberapa Pelajaran
Pelajaran pertama adalah masalah penjagaan terhadap agama Imam Husain as dan para sahabatnya yang berkorban di Karbala. Mereka melakukan gerakan dan pengorbanan besar ini bukan untuk tujuan-tujuan duniawi atau materi. Tujuan utama mereka adalah untuk menjaga kelestarian agama dan kemurnian agama yang pernah diajarkan oleh baginda Rasulullah saw. Ketika memulai pergerakannya Imam Husain as telah mengumumkan bahwa gerakan beliau ini tidak bertujuan untuk merebut kekuasaan. Imam Husain as tidak memiliki ambisi untuk bisa menjadi pemimpin, untuk bisa menjadi khalifah. Imam Husain tidak memikirkan kedudukan apa pun di dunia ini dalam gerakannya. Tujuan gerakan beliau telah diumumkan sendiri oleh beliau dalam kata-katanya yang singkat.
Beliau mengatakan, “Aku keluar bukan untuk unjuk kekuatan, bukan untuk mencari gara-gara. Aku keluar ini bukan untuk melakukan kefasadan dan atau melakukan kerusakan di muka bumi. Aku juga tidak keluar dengan tujuan untuk melakukan kezaliman, tetapi aku keluar dengan memulai gerakan ini tujuannya adalah untuk mencari islah, perbaikan pada umat-umat kakekku, Rasulullah saw. Aku ingin melakukan amar makruf dan mencegah dari kemungkaran.”
Artinya Imam Husain as dengan kata-katanya ini mengatakan bahwa sebab kebangkitanku adalah untuk perbaikan pada umat kakekku, Rasulullah saw.
Dalam kata-kata yang lain Imam Husain as mengatakan,“Wahai sekalian umat manusia, tidakkah kalian menyaksikan bahwa hak tidak lagi dijalankan bahwa batil tidak lagi ditinggalkan.” Hal yang senada yang menunjukkan tujuan dari gerakan ini disampaikan pula oleh pahlawan dan kesatria sejati Bani Hasyim di Karbala yaitu Abu Fadhl Abbas bin Ali bin Abi Thalib ketika tangannya terputus di medan pertempuran yang tak seimbang itu. Beliau mengatakan, “In qata’tumu yamin. Jika kalian memotong tangan kananku, aku tidak akan pernah berhenti untuk membela agamaku. Inni uhaami ‘abadn ‘an dini, Selamanya aku akan membela agamaku.”
Karena itu, setelah peringatan malam-malam duka ini berakhir, setelah Asyura kita lewati, kita harus keluar dari kondisi itu dalam keadaan membawa pesan Imam Husain as dan pesan Abu Fadhl Abbas dalam kehidupan keseharian kita. Kita harus menegakkan makruf dalam kehidupan, kita harus menolak kemungkaran dalam kehidupan kita. Jangan sampai ada satu kewajiban kita tinggalkan dan jangan sampai ada satu perbuatan maksiat kita lakukan. Kita harus tegakkan semua hal yang diperintahkan oleh Allah, harus kita jalankan dalam kehidupan kita. Itulah hasil yang harus kita dapatkan setelah kita memperingati malam-malam duka untuk Abu Abdullah Husain as.
Pelajaran kedua adalah rasa tanggung jawab terhadap kehidupan sosial. Dalam Alquran Allahberfirman, Waqifûhum, innahum mas’ulun. Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya (37: 24). Pada hari kiamat mereka semua akan dimintai pertanggungjawaban, akan ditanya tentang apa yang mereka perbuat.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa semua orang di hari kiamat nanti akan dimintai pertanggungjawaban dan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan dalam kehidupan mereka di dunia. Dalam hadis Rasulullah saw bersabda, “Kalian semua adalah memiliki tanggung jawab, kullukum raa’in. Kalian semua adalah pemimpin. Dan kalian harus mempertanggungjawabkan apa yang ada di pundak kalian.”
Salah satu tanggung jawab yang ada di pundak kita adalah tanggung jawab terhadap urusan sosial dan kemasyarakatan. Sebagaimana hadis Nabi saw yang terkenal, beliau mengatakan, “Barang siapa yang pagi hari dia hidup, sementara dia tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka orang itu jangan pernah mengaku sebagai bagian dari kelompok kaum muslimin.”
Imam Husain as sebenarnya bisa memilih untuk duduk di rumah, mengurusi masjid kakeknya, Masjid Nabawi, dan menyibukkan beliau dengan beribadah dan memberikan ilmu-ilmu kepada umat di masjid kakeknya, Masjid Madinah. Tetapi beliau tidak melakukan itu, padahal hal itu adalah nasihat banyak orang kepada beliau, yang disampaikan oleh sekelompok orang di zaman itu yang tidak menyibukkkan diri mereka dengan hiruk-pikuk masalah sosial dan masalah politik. Tetapi Imam Husain as tidak mau diam di rumah dan tidak mau mengurusi hal-hal yang bersifat personal. Beliau merasa bahwa beliau memiliki tanggung jawab yang berat terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan umat yang ada di sekeliling beliau. Demi bisa untuk menunaikan tugas dan tanggung jawab sosial itu, beliau rela mengorbankan dirinya, keluarganya, dan mereka yang beliau cintai di jalan Allah. Hal itu supaya bisa menunjukkan dan melaksanakan tugas beliau sebagai bagian dari sebuah masyarakat.
Karena itu, kita semua memikul tanggung jawab di pundak kita, tanggung jawab sosial terhadap negeri kita, tanggung jawab terhadap masyarakat kita. Masing-masing dari kita harus memainkan peran tersendiri dalam masyarakat ini untuk menunjukkan tanggung jawab kita. Ini dilakukan oleh semua orang dan harus dilakukan oleh semua orang di komunitas-komunitas di masyarakat dimana mereka ada.
Saya mendapatkan laporan tertulis bahwa di Amerika dari sekian banyak jumlah pensiunan yang ada di sana, 50 persen dari mereka terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial secara sukarela. Di Perancis juga jumlah ini kurang lebih 30% dari seluruh mereka yang sudah sampai pada usia pensiun. Kalau kita melihat semacam itu, kita seharusnya sebagai masyarakat muslim memainkan peran yang lebih daripada yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, karena agama kita memerintahkan kita untuk melakukan hal-hal seperti itu. Saya ingin menyampaikan apresiasi dan penghargaan saya yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudara di Indonesia ini yang ketika muncul bencana seperti bencana banjir, bencana gempa, tsunami, atau yang lainnya, banyak sekali yang turun ke tengah lapangan sebagai sukarelawan memberikan bantuan. Ini sesuatu yang layak dan patut untuk diapresiasi dan dihargai.
Pelajaran ketiga adalah mengindahkan hak-hak manusia. Pada malam Asyura, malam ketika esok harinya adalah hari pembantaian hari atas Imam Husain dan para sahabatnya serta keluarganya, Imam Husain as mengumpulkan para sahabatnya dan berbicara di hadapan mereka, bahwa orang yang memiliki utang memiliki tanggungan utang tidak diperkenankan untuk ikut berperang dan terbunuh bersama dengan beliau. Seorang sahabat dari Imam Husain as lalu mengatakan, “Ya Imam, aku punya utang tetapi istriku sudah memberikan jaminan bahwa dia yang akan melunasi utang itu.” Lalu Imam bertanya kepadanya, “Apakah wanita itu ada jaminan akan melaksanakan tanggungan yang ada di pundakmu?” Ini artinya Imam Husain as sangat peduli dengan dengan hak orang lain, jangan sampai hak orang lain yang masih ada di pundak itu dibawa oleh orang yang gugur bersama dengan beliau dalam sebuah syahadah yang terbesar dalam sejarah.
Riwayat ini menunjukkan Imam Husain menginginkan agar orang yang bersama beliau adalah orang yang sudah tulus dan bersih, tidak ada tanggungan hak orang lain di pundaknya. Ini juga berarti bahwa dimata Imam Husain, hak manusia, hak seseorang lain lebih diunggulkan dan lebih dikedepankan dibandingkan perintah untuk melakukan jihad fisabilillah.Walaupun pada saat itu Imam Husain as tentunya memerlukan penolong, memerlukan prajurit, memerlukan orang yang akan membela beliau, beliau tidak akan menerima pertolongan dan bantuan dari orang yang masih memiliki hak orang lain di pundaknya. Ini diharapkan menjadi pelajaran bagi seluruh generasi umat manusia sampai kapanpun juga.
Khususnya di zaman kini, kita menyaksikan banyak sekali orang yang meremehkan dan menganggap enteng hak orang lain yang ada di pundaknya, orang menanggung utang yang sedemikian banyak terhadap orang lain, tapi dia menunda-nunda pembayarannya, malah justru menggunakan uang yang ada di tangannya untuk misalnya pergi haji, umrah, melakukan apa-apa yang bisa dilakukan, padahal sebenarnya yang harus dilakukan adalah setelah dia menyelesaikan tugas-tugasnya, menunaikan hak-hak orang lain, yang ada di pundaknya. Atau pabrik itu menghambur-hamburkan uang dengan nama zakat, para pimpinannya pergi haji. Karena itu, kita harus peduli, harus sangat sensitif terhadap hak-hak orang lain yang ada di pundak kita. Karena amal ibadah kita tidak akan diterima jika masih ada hak orang lain yang ada di pundak kita. Di hari kiamat yang akan ditanya sebelum salat, zakat, puasa, haji, dan amal-amal ibadah yang lainnya, yang pertama kali ditanya adalah tentang hak-hak manusia yang ada di pundak kita.
Menangisi Imam Husain
Dalam kehidupan keseharian, manusia seringkali terjebak dalam kesalahan yang terkadang juga melakukan dosa dan maksiat. Yang pertama yaitu musuh eksternal yang ada di luar manusia adalah iblis dan setan yang telah bersumpah demi keagungan dan kebesaran Allah. Mereka akan menggoda dan akan menyimpangkan umat manusia dari jalan kebenaran. Musuh kedua adalah hawa nafsu kita yang dikenal dengan nafsun ammarah bi su’, yang selalu mengajak kepada keburukan.
Akan tetapi, Allah dengan kemurahan-Nya memberikan kita senjata yang bisa melawan dua virus yang sangat mengganggu ini. Antivirus yang disebutkan tadi jauh lebih kuat dibandingkan kedua virus dan musuh yang mengganggu ini. Ketika antivirus itu datang maka seluruh kuman dan semua virus yang ada yang bisa menyimpangkan manusia akan tersingkirkan.
Lewat firman suci-Nya di dalam Alquran Allahmenyebut antivirus itu yang pertama adalah istigfar, yaitu meminta maaf kepada Allah. Jika istigfar sudah datang, manusia nenar-benar meminta ampun kepada Allah, meminta maaf dengan tulus kepada Allah, maka dosa-dosa yang dimilikinya akan diampuni oleh Allah. Bahkan lebih dari itu, Allah dalam Alquran mengatakan yubaddilullahu sayyiatihim hasanat, Allah akan mengganti dosa-dosa itu dengan kebaikan (25: 70).
Terkadang kita sendiri yang mengucapkan istigfar dan minta ampun kepada Allah, kita tahu siapa diri kita, bisa jadi istigfar kita tidak diterima, permintaan maaf kita kepada Allah tidak diterima, karena kita siapa? Tapi bagaimana jika kita meminta seorang manusia yang agung, seorang manusia yang suci, manusia yang dekat dengan Allah untuk memintakan ampun ampunan kepada Allah untuk diri kita, apa yang akan terjadi ketika itu? Allah mengajarkan lewat ayat suci-Nya, “Kalau kita mau beristighfar, meminta ampun kepada Allah, ketuk pintu manusia-manusia agung, para nabi utusan Allah, manusia-manusia yang dekat kepada Allah supaya mereka yang beristigfar untuk kita.”
Karena itu, kita saksikan dalam surah Yusuf, ketika saudara-saudara Yusuf mengakui kesalahan dan dosa mereka terhadap Yusuf, mereka tidak beristigfar sendiri. Mereka meminta ayah mereka, istighfarlana, “Wahai ayah kami, mintakan ampun kepada Allah untuk kami.”
Nabi Yakub as merupakan salah satu nabi dan rasul Allah. Ketika mendengar kata-kata anaknya, anak-anak yang datang meminta supaya ayahnya beristigfar untuk mereka, Nabi Yakub tidak mengatakan kalian sendiri beristighfar, tetapi justru beliau menjawab, “Aku akan beristigfar untuk Allah, supaya Allah mengabulkan dan supaya kalian diampuni dosa-dosa kalian.”
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Orang-orang yang ketika telah melakukan kesalahan lalu mereka datang kepadamu, mereka datang kepadamu ya Rasulullah. Lalu mereka beristighfar, minta ampun kepada Allah melalui Rasul, lalu Rasul pun mendoakan mereka, dan berdoa kepada Allah, istigfar kepada Allah, untuk orang-orang yang melakukan dosa itu, lawajadullaha tawwaburrahîma, Mereka akan mendapati Allah adalah Tuhan yang menerima taubat dan Maha Penyayang.”
Pada kesempatan ini saya ingin memberikan suatu amalan yang jika diamalkan maka Rasulullah saw, Sayidah Fathimah Zahra, Maulana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan Mujtaba, Imam Husain al-Syahid, dan seluruh malaikat Allah akan beristigfar dan memohonkan ampunan atas dosa-dosa kita. Yang dilakukan adalah sesuatu yang sangat ringan dan enteng tetapi pengaruhnya sedemikian dahsyat. Ini diajarkan oleh hujatullah yaitu Imam Ja’far Shadiq as.
Dari sebuah riwayat yang panjang dari seorang bernama Abdullah bin Bukair yang memiliki banyak sekali pertanyaan kepada Imam Shadiq as, lalu Imam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Di bagian akhir riwayat itu, Imam Shadiq as mengatakan bahwa Sayyid al-Syuhada Imam Husain as berada di sebelah kanan Arasy Ilahi, lalu berkata kepada Allah, “Ya Allah berilah apa yang telah engkau janjikan kepadaku.” Dari situlah Imam Husain menatap kepada semua orang yang hadir, yang berziarah kepada beliau, atau memakmurkan majelis-majelis beliau, Imam Husain memandang mereka semua, Imam Husain tahu siapa mereka, tahu nama mereka satu persatu, tahu nama ayah-ayah mereka, dan Imam juga tahu nama anak-anak dari mereka yang hadir di majelis-majelis atau berziarah ke makam Imam Husain as.
Imam Husain juga menyaksikan, memandang,dan memerhatikan orang yang menangisi beliau. Pertama yang dilakukan ketika menyaksikan orang-orang itu, Imam Husain sendiri yang akan beristigfar, memintakan ampun kepada Allah untuk orang tadi. Lalu Imam Husain akan meminta ayahanda beliau yaitu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib untuk beristigfar memohonkan ampun bagi orang tadi. Dalam riwayat lain disebutkan Imam Husain bukan hanya meminta ayahanda beliau tetapi juga meminta kepada ibunda beliau, dan meminta kepada kakak beliau, Imam Hasan, juga pada kakek beliau dan meminta juga kepada seluruh malaikat Allah supaya mereka beristigfar semuanya bagi orang tadi.
Tahukah apa yang dikatakan oleh Imam Husain kepada Anda semua yang menangisi Imam Husain? Saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Imam kepada orang yang menangisi beliau. Imam mengatakan, “Wahai engkau yang menangisi, siapa pun namamu Alikah, namamu Muhammadkah, namamu Husainkah, namamu semua orang yang menangisi Imam Husain, wahai orang yang menangisiku, kalau engkau tahu apa yang Allah siapkan untukmu, maka engkau akan sedemikian bergembira jauh lebih daripada kesedihan yang aku alami pada saat ini ketika Allah telah mengampuni seluruh dosamu.”[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Direktur ICC Dr. Abdulmajid Hakimelahi, Jumat 28 Agustus 2020, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.