ICC Jakarta – Saat ini adalah hari-hari pertama bulan Muharam. Muharam adalah bulan pertama dari bulan-bulan hijriah. Orang-orang jahiliah menyebut bulan ini dengan sebutan Muharam karena di zaman jahiliah mereka mengenal tradisi untuk tidak menumpahkan darah di bulan ini. Akan tetapi, Bani Umayah menyalahi dan menentang tradisi ini dan di bulan Muharam melakukan sebuah kejahatan besar dengan menumpahkan darah Sayyid al-Syuhada Imam Husain as, keluarganya dan para sahabatnya.
Mengenai bulan Muharam ini, Imam Ridha as telah menjelaskan dalam sebuah hadis bahwasanya bulan Muharam adalah bulan di mana orang-orang jahiliah terbiasa untuk menahan diri dari menumpahkan darah di bulan itu. “Tetapi yang terjadi pada kami, Ahlulbait, darah-darah kami ditumpahkan di bulan Muharam. Di bulan ini kehormatan kami diinjak-injak, wanita-wanita dan keluarga kami ditawan, kemah-kemah kami dibakar, barang-barang yang kami miliki dirampas, dan mereka tidak mengindahkan kehormatan Rasulullah saw sedikitpun di bulan ini.”
Dalam sebuah riwayat Imam Ridha as mengatakan, “Bulan Muharam adalah bulan ketika ayahku memasukinya, dari awal bulan, terlihat ayahku akan nampak sedih. Raut kesedihan sangat kelihatan di wajah beliau. Hal itu terjadi sampai 10 hari. Pada hari yang ke-10 kesedihan beliau semakin memuncak. Saat itulah beliau mengucapkan kata-kata, ‘Hari ini adalah hari di mana Al-Husain bin Ali dibunuh di Padang Karbala dan syahid.’”
Sebagaimana kita baca dalam ziarah-ziarah, terkhusus ziarah Asyura, kita mengatakan dalam ziarah itu bahwasanya ini musibah yang sedemikian besar. Musibah yang merupakan satu petaka bagi penduduk bumi dan juga musibah yang dialami oleh penduduk langit. Dalam ziarah kita katakan bahwasanya yang menangisi Al-Husain, yang berkabung untuk Al-Husain, bukan hanya penduduk bumi tetapi juga penduduk langit.
Para Imam Ahlulbait as memerintahkan Syi’ah dan para pengikutnya untuk menghidupkan apa yang telah diajarkan oleh Ahlulbait, terkhusus mengenai musibah Abu Abdillah Husain. Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq as telah mengatakan kepada seorang sahabatnya bernama Fudhail bin Yasar yang saat itu sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, “Wahai Fudhail, engkau sedang duduk di sini untuk melakukan sesuatu dan berbicara.” Ia menjawab, “Benar, wahai putra Rasulullah saw, kami sedang membicarakan tentang musibah-musibah yang menimpa Ahlulbait.” Lalu Imam Shadiq as mengatakan, “Majelis majelis seperti ini adalah majelis-majelis yang aku sukai. Hidupkanlah perkara-perkara dan urusan-urusan kami, semoga Allah Swt merahmati orang-orang yang menghidupkan ajaran kami.”
Majelis-majelis inilah yang bisa menghidupkan hati-hati yang berkarat, hati-hati yang sekarat. Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq as telah mengatakan, “Barang siapa yang duduk di satu majelis, yang di dalam majelis itu perkara-perkara dan ajaran kami disebut dan diulang-ulang dan diingatkan, hatinya tidak akan mati di saat hati-hati orang-orang lain mati.”
Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq as menyebutkan tentang apa yang akan dialami oleh orang yang menghidupkan perkara-perkara Ahlulbait. “Jika kita tahu bahwasanya setiap mata kelak di hari kiamat akan menangis, bahwa di hari kiamat nanti semua amal ibadah, semua amal perbuatan manusia akan dihisab, tetapi ada mata-mata di sana yang tidak menangis.”
Imam Shadiq as dalam sebuah riwayat mengatakan, “Tidak ada satupun mata dan tidak ada air mata yang lebih dicintai daripada orang yang menangis dan bersedih untuk air mata al-Husain as. Setiap air mata yang menetes untuk musibah itu akan sampai kepada Fathimah dan akan menggembirakan hatinya, dan air mata itu juga akan sampai kepada Rasulullah saw, air mata itu adalah air mata yang menunaikan hak-hak kami atas umat.”
Riwayat ini selanjutnya mengatakan, “Tidak ada seorang hamba pun kelak yang akan dikumpulkan dan dibangkitkan di hari kiamat kecuali matanya akan menetes air mata karena ketakutan, kecuali mata orang-orang yang dulu ketika hidup di dunia menangisi kakekku, al-Husain. Karena orang yang menangisi kakekku, al-Husain, kelak akan dibangkitkan di hari kiamat nanti sementara matanya akan bersinar-sinar. Dia akan mendapatkan kebahagiaan dan keceriaan ini tampak sekali pada wajah-wajah mereka. Sementara semua orang yang ada di Padang Mahsyar saat itu dalam keadaan ketakutan, dicekam oleh sebuah ketakutan yang sangat besar, ketika semua makhluk harus mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka di dunia. Para pencinta al-Husain akan mengerumuni al-Husain, berada di bawah Arasy. Pada saat itu mereka tidak memiliki rasa gentar dan kegelisahan sedikitpun. Sampai dikatakan kepada mereka, ‘Wahai orang-orang yang mencintai al-Husain! Silakan kalian masuk ke dalam surga!’ Tapi mereka enggan masuk ke dalam surga, mereka lebih memilih untuk bersama dengan al-Husain.
Ini adalah sebagian manfaat dan faedah yang bisa didapatkan orang dari menghadiri majelis-majelis Imam Husain as. Tapi tentunya tidak hanya sekadar duduk di suatu majelis. Ada hal-hal lain yang harus diperhatikan saat orang menghadiri majelis-majelis al-Husain. Pertama, di majelis-majelis seperti ini orang harus mengenal Ahlulbait, orang harus lebih mengenal sejarah kehidupan Ahlulbait, orang harus lebih mengenal ilmu-ilmu Ahlulbait, orang harus juga lebih mengenal dan memiliki keyakinan yang lebih dalam atas imamah dan keunggulan Ahlulbait dalam memimpin umat manusia.
Kedua, Selain juga mengenal Ahlulbait, sirah mereka, perilaku mereka, keteladanan-keteladanan mereka. Tugas dan tanggung jawab kedua adalah mengenalkan Ahlulbait kepada orang lain, mengajarkan apa yang diajarkan oleh Ahlulbait. Mengenalkan kepada mereka perilaku dan keteladanan Ahlulbait, ilmu-ilmu Ahlulbait dan kedudukan kedudukan Ahlulbait yang telah Allah berikan kepada mereka, keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh Ahlulbait dan akidah bahwa mereka adalah para pemimpin bagi umat manusia.
Dari Imam Ridha as diriwayatkan bahwa orang yang menghidupkan perkara-perkara Ahlulbait adalah mengenalkan Ahlulbait. Ketika mengenal Ahlulbait, manusia mengetahui kedudukan Ahlulbait, niscaya mereka pasti akan mengikuti Ahlulbait.
Ketiga, kita harus menghidupkan majelis-majelis yang mengenang musibah yang menimpa Ahlulbait terutama Abu Abdillah al-Husain, yang menimpa Ahlulbait Imam Husain, dan para sahabat Imam Husain di Karbala. Karena majelis-majelis ini adalah majelis majelis yang memberikan kita ilmu dan makrifah kepada Ahlulbait dan akan menjadikan kita mengenal apa sebenarnya yang diajarkan oleh Islam dalam arti makna yang sebenarnya.
Keempat adalah kita mesti menunjukkan kesedihan dalam keseharian kita selama hari-hari kesedihan ini untuk ikut serta bersedih bersama Ahlulbait. Tunjukkan kesedihan itu, raut wajah kesedihan, hiasan rumah yang menunjukkan kesedihan, memasang kain kain hitam, mengenakan pakaian dan hal-hal yang menunjukkan kesedihan, tidak melakukan hal-hal yang bisa menunjukkan kegembiraan dan keceriaan. Itulah yang diharapkan dari seorang pengikut Ahlulbait, dimana Ahlubait sedang bersedih mereka juga akan bersedih. Setidaknya kita mengenakan pakaian berwarna hitam yang menunjukkan kesedihan di 10 hari pertama bulan Muharam. Jika ada orang yang bertanya, “Mengapa kalian mengenakan pakaian berwarna hitam dan mengapa kalian bersedih?” Kita akan dengan bangga menjawab, “Kami bersedih bersama dengan kesedihan Ahlulbait untuk syahadah Imam Abu Abdillah al-Husain.”
Menangisi Al-Husaian
Peristiwa terbesar yang pernah terjadi di kehidupan umat manusia adalah peristiwa yang terjadi di Karbala. Sedemikian besarnya musibah ini sampai-sampai yang menangisi Abu Abdillah Husain bukan hanya manusia dan penduduk bumi tetapi juga penduduk langit. Bukan hanya manusia jin juga menangisi Abu Abdillah, bahkan burung-burung dan hewan-hewan yang Allah ciptakan bahkan lebih itu benda-benda mati pun menangisi menangisi al-Husain.
Yang menambah besarnya peristiwa ini adalah bahwa peristiwa itu terjadi di zaman ketika sebagian sahabat Nabi masih hidup. Sebagian orang yang menyaksikan perlakuan Nabi saw yang penuh dengan kasih sayang kepada Imam Husain masih hidup. Mereka menjadi saksi atas Imam Husain as dan kedudukannya ketika Rasulullah bersabda, “Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua penghulu pemuda surga.” Semua orang masih menyaksikan dan mereka tahu kedudukan Imam Husain, meski demikian hal itu tidak mencegah terjadinya peristiwa di Karbala.
Jangan dikira bahwa orang-orang yang berada di Karbala dan membunuh Imam Husain mereka tidak mengenali Imam Husain. Mereka mengenali Imam Husain dengan baik, bahkan dalam percakapan antara Imam Husain dan dialog beliau dengan Umar bin Sa’ad, Umar mengakui, “Engkau, wahai Husain, adalah manusia terbaik di muka bumi saat ini. Engkau adalah manusia yang memiliki ayah, ibu dan kakek terbaik.”
Meski demikian, hal itu tidak bisa mencegah mereka untuk melakukan kejahatan terhadap Imam Husain.
Jangan juga pernah beranggapan bahwa mereka yang membunuh Imam Husain di Karbala itu orang-orang yang tidak mengenal Allah, tidak pernah beribadah, tidak pernah melakukan salat dan penghambaan kepada Allah. Sebagian mereka yang berada di perkemahan Umar bin Sa’ad di malam Asyura, mereka sedang asyik beribadah dan melakukan salat. Mereka bukan orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Masehi, dan bukan orang-orang Hindu. Mereka semua adalah orang-orang yang mengaku sebagai muslim. Meski demikian, mereka membunuh putra nabi mereka dengan pembunuhan yang sedemikian keji.
Tak cukup dengan itu mereka juga menawan dan menjadikan Ahlulbait Imam Husain sebagai tawanan mereka; menawan mereka dengan cara-cara yang paling keji yang mungkin bisa dilakukan terhadap tawanan. Yang menjadi pertanyaan mengapa orang bisa sampai sebengis itu? Bukankah kita tahu bahwasanya salat bisa mencegah pelakunya dari perbuatan fahsya dan mungkar, dan bukankah mereka orang yang melakukan salat? Tapi mengapa salat yang mereka lakukan tidak mencegah mereka dari fahsya dan mungkar? Bahkan mendorong mereka untuk melakukan fahsya dan mungkar.
Dalam salah satu riwayat disebutkan ada seorang ulama Sunni menceritakan tentang seseorang. Dia bercerita bahwasanya pernah dia sedang melakukan haji, lalu ada orang yang menangis sedih karena dia pada saat ihram membunuh seekor nyamuk, lalu dikatakan kepadanya, “Engkau menangis dan bersedih gara-gara sedang ihram lalu membunuh seekor nyamuk, bukankah kalian terlibat pembunuhan terhadap cucu Rasulullah saw, tanpa pernah kalian menyesali perbuatan itu?” Mengapa orang-orang yang melakukan ibadah itu malah justru terlibat dalam pembunuhan Imam Husain? Jawabannya adalah karena mereka jauh dari hakikat agama. Semakin jauh orang dari hakikat agama, dia akan semakin jauh dari agama itu sendiri dan siap untuk melakukan segala hal keburukan yang dilarang oleh agama.
Jika orang jauh dari hakikat agama, jauh dari mengenal Rasulullah saw dan ajarannya dengan sebenar-benar pengenalan, ibadah dia dan salat dia tidak akan memberikan apa-apa kepada dia kecuali dia akan semakin jauh dari kebenaran, bahkan sampai bisa dan tega untuk melakukan pembunuhan terhadap putra sang nabi.
Kita bersyukur kepada Allah atas anugerah yang Allah telah berikan kepada kita, karena Allah telah mengenalkan kita kepada hakikat agama, mengenalkan kita kepada Rasulullah saw dan keluarganya, mengenalkan kita kepada wilayah Ahlulbait, maka sujud yang kita lakukan dari sekarang sampai hari kiamat masih belum bisa untuk bisa mensyukuri nikmat besar yang telah Allah berikan ini.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Direktur ICC Dr. Abdulmajid Hakimelahi, Jumat 21 Agustus 2020, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.
Staf Redaksi: Rudhy Suharto, Arif Mulyadi, Hafidh Alkaff ;