ICC Jakarta – Manusia senantiasa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan ontologis dan eksistensial tentang masalah ketuhanan. Seiring dengan perjalanan hidup manusia pertanyaan ini senantiasa mengobsesi manusia untuk menemukan jawabannya. Menurut Anda mengapa manusia harus membahas masalah ketuhanan atau yang biasa disebut sebagai masalah makrifatullah?
Jawaban
Tidak akan ada gerak tanpa motivasi. Tentu saja upaya untuk mengetahui masalah asal-usul keberadaan semesta juga tidak dapat terlaksana tanpa motivasi dan dorongan. Para filsuf dan ilmuwan menyebutkan tiga faktor fundamental dalam rangka mengenal Tuhan. Faktor tersebut senada dengan apa disinggung secara jelas oleh al-Qur’an, antara lain:
- Motivasi Akal
- Motivasi Kasih
- Motivasi Fitri
a. Motivasi Akal
Setiap manusia pecinta kesempurnaan. Kecintaan ini bersifat substansial dan merata. Hanya saja, setiap orang melihat kesempurnaannya pada suatu hal tertentu, lalu mengusahakannya. Ada sekelompok orang yang, alih-alih mengejar air, mengejar kepuasan dan kesempurnaan semu serta mengira bahwa itu adalah realitas.
Motivasi ini kerap disebut sebagai “naluri mencari keuntungan dan menghindari kerugian”. Lantaran naluri ini, manusia melihat dirinya memiliki tugas untuk menyikapi secara serius hubungannya dengan segala hal yang bertalian dengan nasibnya (dari perspektif untung dan rugi).
Akan tetapi,menyebut kecintaan ini sebagai naluri (gharizah) bukanlah suatu hal yang mudah, karena naluri biasanya digunakan pada hal-hal yang memiliki efek tanpa intervensi pemikiran dalam pelbagai perbuatan manusia atau segala makhluk lainya. Atas alasan ini, dalam urusan dunia fauna, istilah ini juga sering dipakai.
Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan istilah “kecendrungan-kecendrungan transendental” yang digunakan oleh sebagian orang dalam masalah ini.
Secara umum, cinta pada kesempurnaan dan cenderung kepada keuntungan spiritual dan material serta menghindar dari segala bentuk kerugian mengarahkan seseorang untuk meneliti kemungkinan (ihtimâl) diperoleh atau tidaknya. Yakni, semakin kemungkinan memperoleh keuntungan itu kuat, atau semakin terjadinya kerugian itu besar, penelitian atas masalah ini semakin penting.
Adalah mustahil bagi seseorang yang memberikan kemungkinan tentang suatu perkara yang akan menentukan nasibnya, namun ia tidak memandang dirinya bertanggung jawab untuk meneliti perkara tersebut.
Dalam kategori ini, iman kepada Allah dan pengkajian agama merupakan perkara yang niscaya. Sebab, teks-teks agama banyak memuat persoalan nasib dan persoalan baik-buruk perilaku manusia yang berhubungan erat dengan iman.
Dalam menjelaskan masalah ini, sebagian orang membawakan beberapa perumpamaan. Misalnya, “Anggaplah kita melihat seseorang yang berada di persimpangan dua jalan. Kepada dirinya ia berkata, ‘Tinggal di tempat ini sangat berbahaya, dan memilih jalan ini juga berbahaya, sedangkan jalan yang lain adalah jalan keselamatan.’ Kemudian, ia menguraikan indikasi-indikasi dan bukti-bukti untuk keduanya. Tentu, ia perlu meneliti dua jalan di hadapannya itu. Mengabaikan kedua-duanya adalah bertentangan dengan akal sehat.”[1]
Kaidah akal “menghindari kerugian yang mungkin ada” yang popular ini merupakan turunan dari motivasi akal. Kepada Nabi saw., Al-Qur’an menegaskan, “Katakanlah, ‘Bagaimanakah pendapat Kamu seandainya Al-Qur’an ini berasal dari sisi Allah, kemudian Kamu mengingkarinya, siapakah yang lebih sesat dari orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?’” (Qs. Fushshilat [41]: 52)
Tentu saja, ayat ini tidak ditujukan kepada mereka yang enggan menggunakan argumentasi logis. Sejatinya, bila ayat ini ditujukan kepada orang-orang keras kepala, pongah, dan fanatik, maka ia menyatakan bahwa sekiranya Anda menolak mutlak akan kebenaran Al-Qur’an, Tauhid dan adanya kehidupan setelah kematian (ma’âd), niscaya tidak ada argumentasi yang dapat menafikan semua kebenaran ini. Dengan demikian, kemungkinan yang tersisa adalah bahwa ajakan Al-Qur’an dan perkara hari kebangkitan sungguh sebuah kebenaran. Pada titik ini, pikirkanlah nasib buruk yang kelak akan Anda hadapi akibat kesesatan dan penentangan tak berdasar yang Anda lakukan terhadap ajakan Ilahi ini.
Pesan ayat ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh para Imam Maksum a.s. dalam menghadapi orang-orang yang keras kepala pada kesempatan terakhir, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Al-Kâfî. Marilah kita simak bersama!
Banyak informasi yang telah disampaikan kepada Imam Ash-Shadiq a.s. tentang Ibn Abi Al-Aujah; seorang materialis dan ateis. Sampai akhirnya mereka bertemu di musim haji. Sebagian dari sahabat Imam berkata, “Rupanya Ibn Abi al-Aujah kini telah memeluk Islam”.
Imam berkata, “Ia kini lebih gelap dan lebih buta hatinya. Ia tidak akan pernah menjadi Muslim”.
Tatkala melihat Imam, ia berkata, “Salam Sejahtera, wahai Tuanku!”
Imam menjawab dengan melontarkan pertanyaan kepadanya, “Untuk apa engkau datang kemari?”
Ia menjawab, “Di samping sudah menjadi kebiasaan kami, juga tradisi lingkungan menuntut demikian, aku hendak menyaksikan perbuatan orang-orang ini yang biasa dilakukan oleh para jin; menggundul kepala dan melempar jumrah.”
Imam berkata, “Engkau masih saja tetap sesat dan keras kepala,Wahai Abdul Karim.”[2]
Sebelum Ibn Abi al-Aujah menjawab, Imam segera menukas, “Di musim haji ini, bukanlah tempat untuk berdebat!”
Lalu beliau menepikan aba’ah-nya seraya berkata, “jika benar seperti yang kau katakan bahwa Allah dan Hari Kiamat itu tidak ada -padahal tidaklah demikian- maka di samping kami adalah orang-orang selamat, engkau juga demikian. Namun, jika benar apa yang kami yakini -dan memang demikian kenyataannya- maka kami termasuk orang-orang selamat, sedangkan engkau pasti binasa.”
Ibn Abi al-Aujah menatap orang-orang yang menyertainya dan berkata, “Di lubuk hatiku yang paling dalam aku merasakan luka. Bawalah aku kembali!” Mereka membawanya pulang. Tidak lama setelah itu, ia meninggal.[3]
b. Motivasi Fitri
Sebuah pepatah mengatakan, “Al-Insân ‘abidul ihsân” (Manusia adalah hamba kebaikan).
Dengan kandungan yang sama, Imam Ali a.s. pernah berkata, “Al-Insân ‘abdul ihsân” (Manusia adalah hamba kebaikan).[4]
Pada hadis lain, beliau juga menegaskan, “Bil Ihsân tumlakul qulûb” (Dengan perbuatan baik, hati akan tertaklukkan).[5]
Juga sebuah hadis yang dinukil dari Imam Ali a.s. mengatakan: “Wa afdhil man syi’ta takun amîrah(u)” (Lakukan kebaikan kepada siapa saja, niscaya engkau menjadi tuannya).[6]
Akar dari semua pesan itu dapat dijumpai pada hadis Rasulullah saw., bahwa “SesungguhnyaAllah Swt. telah menjadikan hati takluk kepada siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan murka terhadap siapa saja yang berlaku buruk kepadanya.”[7]
Kesimpulan dari semua itu ialah; barangsiapa berbuat khidmat atau kebaikan kepada orang lain, niscaya ia (penerima kebaikan itu) memiliki kecendrungan untuk mengenal pelaku kebaikan itu dan berterima kasih kepadanya. Dan semakin tinggi nilai sebuah kebaikan, semakin takluk pula hati penerima dan semakin tinggi keinginannya untuk mengenal pemberi kebaikan itu.
Namun, harus diperhatikan bahwa konsep “bersyukur kepada pemberi kebaikan” terlebih dahulu diakui oleh rasa kasih, jauh sebelum dibenarkan oleh akal sehat.
Kami ingin mengakhiri bagian ini dengan sebuah syair dari pujangga Arab ternama sebagai sebuah isyarat kecil;
Berbuat baiklah kepada insan,
Niscaya hati mereka takluk kepada tuan,
Demikianlah insan adalah budak ihsan.
Dalam hadis Imam al-Baqir a.s. dikatakan, “Pada suatu malam, Rasulullah saw. berada di rumah ‘Aisyah. ‘Aisyah bertanya kepada beliau, ‘Mengapa Anda begitu bersusah-payah untuk beribadah padahal Allah Swt. telah mengampuni segala dosa Anda, baik yang telah terjadi maupun yang akan datang?’[8]
Nabi saw. menjawab, ‘Apakah tidak pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?’”[9]
c. Motivasi Kasih
Maksud fitrah di sini ialah perasaan-perasaan dan pengetahuan jiwa yang tidak memerlukan penalaran rasional.
Ketika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, atau sekuntum bunga yang semerbak mewangi dan warnanya yang mempesona, kita merasakan ketertarikan dan gairah di dalam diri kita. Ketertarikan ini disebut sebagai kecintaan kepada keindahan. Kita tidak memerlukan penalaran untuk mencntai keindahan ini. Ya, cinta keindahan adalah satu dari sekian kecendrungan transendental jiwa manusia.
Upaya mengarahkan diri kepada agama, khususnya mengenal Tuhan, tidak hanya merupakan salah satu perasaan esensial (dzati) dalam relung jiwa manusia, tetapi juga sebagai salah satu dorongan yang paling kuat dalam fitrah dan jiwa seluruh manusia.
Berdasarkan dalil ini, tidak satu kaum atau bangsa pun, di masa lalu atau kini, yang tidak menjadikan pikiran dan ruh sebagai hakim atas jenis agama atau ideologi. Dan kenyataan ini menunjukkan kemendasaran perasaan mendalam ini.
Al-Qur’an, ketika menuturkan pengutusan nabi-nabi besar, seringkali menandaskan bahwa risalah utama mereka ialah memerangi syirik dan penyembahan berhala, bukan membuktikan keberadaan Tuhan, karena masalah terakhir ini memang telah tertanam di dalam lubuk hati setiap manusia. Dengan kata lain, manusia tidak menuntut masalah ini untuk menanamkannya pada setiap lubuk hati manusia. Akan tetapi, para nabi menuntut bagaimana menyirami pokok masalah itu dan membunuh hama dan belukar yang acapkali membuat kering dan layu pokok tersebut.
Ungkapan “allâ ta’budû illallâh” atau “allâ ta’budû illâ iyyâh” (jangan sembah selain Allah) diterangkan dalam bentuk menegasikan berhala-berhala, bukan menetapkan keberadaan Tuhan. Pelbagai ucapan para nabi tentang realita ini telah diuraikan dengan jelas di dalam Al-Qur’an, di antaranya dakwah Nabi saw[10], Nabi Nuh[11], Nabi Yusuf[12], dan Nabi Hud[13].
Terlepas dari semua ini, jiwa kita memiliki perasaan-perasaan fitri lain yang sangat mendasar. Di antaranya, ketertarikan yang luar biasa kepada pengetahuan.
Apakah mungkin kita menyaksikan sistem menakjubkan di alam semesta yang luas ini tanpa kita terdesak untuk mengenal pencipta sistemnya?
Apakah mungkin seorang ilmuwan yang telah meluangkan waktu dan susah-payah selama puluhan tahun untuk mengenal kehidupan habitat semut, atau ilmuwan yang lainnya dengan cucuran keringat telah menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk meneliti habitat burung, pepohonan, atau ikan-ikan di laut, tanpa tersisa dorongan selain cinta terhadap pengetahuan yang terpatri dalam lubuk hatinya? Apakah mungkin para ilmuwan ini tidak ingin mengenal sumber sejati samudera tak-bertepiini semenjak azal (primordial) hingga abad (eternal)? Ketertarikan kepada pengetahuan adalah motivasi yang mengajak kita kepada ma’rifatullâh (mengenal Tuhan).
Alhasil, Akal kita menuntun kita
kepada pengenalan kepada Tuhan ini, rasa kasih menarik kita kepada keinginan
untuk itu, dan fitrah kitalah yang mendorong kita bergerak ke arahnya.[14]
[1] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 2, hal. 24.
[2] Abdul Karim adalah nama asli Ibn Abi al-Aujah. Karena ia mengingkari keberadaan Tuhan, Imam ash-Shadiq as secara khusus memanggilnya dengan nama demikian supaya membuatnya malu.
[3] Al-Kâfî, jilid 1, hal. 61, kitab at-Tauhid, bab Hudûts al-‘Âlam; Tafsir Nemûnehh, jilid 20, hal. 325.
[4] Ghurar al-Hikâm
[5] Idem.
[6] Bihâr al-Anwâr, jilid 77, hal. 421, cetakan Akhundi.
[7] Tuhaf al-Uqûl, hal. 37, bagian hadis-hadis Nabi saw.
[8] Indikasi kepada ayat pertama surat al-Fath yang dapat dijumpai dengan gamblang pada Tafsir Nemûneh, jilid 22, hal. 18.
[9] Ushûl al-Kâfî, jilid 2, bab Syukr, hadis ke-6.
[10] QS. Hud [11] : 2.
[11] QS. Hud [11] : 26.
[12] QS. Yusuf [12] : 40.
[13] QS. al-Ahqaf [46] : 21.
[14] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 2 hal. 34.