ICC Jakarta – Tampaknya sudah menjadi kebiasaan lama pemerintahan Amerika Serikat (AS) yang berlangsung puluhan tahun, bahwa sebelum mencaplok dan menguasai suatu negara atau kawasan, mereka akan terlebih dahulu melempar isu bahkan laporan palsu yang mereka karang sendiri. Salah satu yang paling sering digunakan di antaranya adalah tentang keberadaan dan penggunaan senjata kimia di suatu negara.
Setelahnya, untuk meyakinkan publik dunia, biasanya mereka juga menyusun skenario sekaligus menggerakkan boneka-boneka mainannya di lapangan. Hal ini dianggap perlu dilakukan agar klaim palsu tersebut seolah benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pihak lain yang merupakan musuhnya. Padahal faktanya, mereka sendirilah otak di balik semua itu.
Dengan alasan inilah Washington kemudian kerap berdalih pihaknya berhak untuk ikut campur tangan terkait urusan dalam negeri dari negara lain yang sejak awal sudah dicap sebagai musuh mereka.
Tak terkecuali di Suriah. Alih-alih membantu pemerintahan berdaulat yang saat ini berkuasa di sana, Amerika justru lebih memilih berpihak kepada kelompok pemberontak Suriah yang hendak menjatuhkan kekuasaan presiden Bashar Assad.
Kali ini, untuk kesekian kalinya trik lama ini kembali berulang. Melalui corong para pemberontak Suriah yang menyatakan militer Damaskus telah melakukan serangan senjata kimia di Douma dan menewaskan puluhan orang, Amerika mengancam siap memberikan respon cepat, mengeluarkan ‘major decisions’ dalam waktu 24-48 jam berupa rencana serangan militer lebih massif ke Suriah.
Terkait hal ini, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa laporan tentang serangan senjata kimia di Suriah tersebut, lagi-lagi adalah bohong dan palsu.
Kemlu Rusia menyatakan bahwa setiap tindakan militer yang diambil berdasarkan alasan-alasan yang diciptakan dan dibuat-buat, dalam hal ini termasuk laporan palsu tentang serangan senjata kimia, dapat menyebabkan konsekuensi parah dan berbahaya.
“Penyebaran cerita gadungan tentang penggunaan klorin dan zat beracun lainnya oleh pasukan pemerintah (Suriah) terus berlanjut. Tak terkecuali, satu lagi potongan informasi palsu tentang dugaan serangan kimia di Douma yang muncul kemarin,” kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
“Kami telah memperingatkan beberapa kali terhadap provokasi berbahaya seperti itu. Tujuan spekulasi yang menyesatkan, tidak memiliki landasan apa pun, adalah untuk melindungi teroris pemberontak dan mencoba untuk membenarkan kemungkinan penggunaan kekuatan eksternal,” sambungnya, seperti dilansir Reuterspada Minggu (8/4/2018).
Sebelumnya, kelompok teroris pemberontak Jaish al-Islam menuding pasukan pemerintah Suriah telah meluncurkan serangan senjata kimia mematikan terhadap warga sipil. Mereka menyebut serangan itu terjadi di Douma, Ghouta Timur yang sebelumnya sempat mereka kuasai.
Seperti tuduhan-tuduhan klise sebelumnya, tudingan ini pun kemudian diperkuat dengan pernyataan organisasi bantuan medis Suriah American Medical Society (SAMS) yang menyebut 35 orang tewas dalam serangan senjata kimia itu.
Terkait tuduhan dan laporan palsu tersebut Pemerintah Suriah sendiri sudah membantahnya. Damaskus mengatakan hal semacam itu tidak perlu sampai harus dilakukan sekadar untuk menghentikan teror dan pembangkangan para pemberontak.
Seperti biasa, Amerika Serikat kemudian menggenapi orkestrasi palsu ini dengan menyuarakan keprihatinannya tentang laporan senjata kimia yang digunakan di Douma.
Ibarat pepatah ‘sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui’, Amerika pun lalu menuduh Rusia (yang tak lain adalah sekutu pemerintah Suriah dalam perang menumpas para teroris pemberontak), mesti ikut bertanggung jawab atas apa yang mereka tuduhkan sebagai ‘penargetan brutal dari Suriah yang tak terhitung jumlahnya’. Padahal aksi-aksi brutal yang memakan banyak korban selama ini, faktanya justru dilakukan oleh para pemberontak bayaran yang tak lain merupakan boneka mainan Amerika sendiri di negara itu. Begitulah cara licik Amerika melindungi kelompok pemberontak Suriah agar mereka terbebas dari sorotan dunia. EH / Islam Indonesia