ICC Jakarta – Terkait mengenai bagaimana cara seseorang menjalin hubungan dengan Imam Mahdi Afs, terdapat empat pandangan penting:
- Seseorang tidak akan dapat berjumpa dengan Imam Mahdi As secara mutlak
- Seseorang akan berjumpa dengan Imam As, akan tetapi ia tidak akan mengenalnya.
- Seseorang, disamping dapat berjumpa dengan Imam As, juga dapat mengenalnya. Akan tetapi, ia dilarang menceritakan kepada orang lain.
- Seseorang selain berjumpa dengan Imam As, juga dibolehkan menceritakan perjumpaannya kepada orang lain.Penjelasan poin ke dua adalah sebagai berikut:
Menurut pendapat ini seseorang memiliki kemampuan untuk berjumpa dengan Imam Mahdi As. Hanya saja, dalam pertemuan dan perjumpaan tersebut, Imam As tidak akan dapat dikenal oleh manusia.
Menurut pandangan ini, apabila Imam Mahdi As selain mampu dilihat ia juga mampu dikenal, maka hal itu akan berkontradiksi dengan arti dan makna dari filsafat keghaiban.
Pandangan ini bersumber dari beberapa riwayat dan hadis yang menjelaskan tentang kemungkinan terlihatnya Imam Mahdi As tanpa harus dikenal.
Dalam kitab Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah dan ‘Ilal al-Syarâi’, Syaikh Shaduq meriwayatkan bahwa Imam Shadiq As bersabda, “Dalam diri Al-Qaim terdapat beberapa hal yang sama dengan Yusuf As. Mengapa masyarakat masih juga tidak percaya bahwa Allah Swt memperlakukan Hujjat-Nya (Imam Mahdi As) sebagaimana perlakuan-Nya kepada Yusuf As? Tidakkah mereka mengetahui bahwa sebenarnya ia berada ditengah-tengah mereka. Ia juga datang kepasar-pasar mereka. Ia senantiasa berada dikerumunan mereka akan tetapi mereka tidak mengenalnya. Dan hal itu akan terus berlanjut hingga Allah Swt memberi ijin kepadanya untuk mengenalkan dirinya kepada mereka. Sama seperti halnya ketika Allah Swt mengijinkan Yusuf As untuk mengenalkan siapa sejatinya dirinya….[1]”
Sebagian mengatakan bahwa riwayat ini adalah satu bukti dan dalil bahwa mungkin saja pada suatu saat dan tanpa disadari, seseorang akan berjumpa dengan Imam Mahdi As. Sementara apabila kita sedikit mempelajari riwayat tersebut, maka pemahamaman seperti ini adalah salah. Karena unsur penting yang ingin ditekankan dalam riwayat itu adalah bahwa Imam Mahdi As tidak akan dikenal oleh siapapun.Hal ini dapat dilihat dengan penyerupaan antara Imam Mahdi degan Nabi Yusuf, yang keduanya sama-sama tidak dikenal oleh seorangpun sampai pada saat Allah Swt mengijinkannya untuk membuka rahasia tentang siapa sebenarnya jati dirinya.
Oleh karena itu, nuktah penting yang ingin disampaikan dalam riwayat tersebut adalah sisi keserupaan antara Imam Mahdi As dengan Nabi Yusuf As, yaitu keduanya sama-sama tidak akan dikenal oleh manusia selama mereka sendiri tidak memperkenalkan jati dirinya, bukan ingin membuktikan bahwa Imam Mahdi akan dapat dilihat tanpa harus dikenal.
Riwayat lain yang dapat dijadikan sebagai penguat dalil ini adalah apa yang diriwayatkan oleh salah satu utusan khusus Imam Mahdi As yang bernama Muhammad bin ‘Utsman yang mengatakan; “Wallâhi inna shâhiba hadzâ al-amr la yahdhuru al-mausima kulla sannah yara al-nâs wa ya’rifuhum wa yaraunahu wa lâ ya’rifûnahu[2] (Demi Allah, sesungguhnya Shahib Al-Amr akan datang setiap tahun di musim haji. Ia melihat manusia dan mengenal mereka. Manusia juga melihatnya akan tetapi mereka tidak mengenalnya).”
Sebagai jawaban, maka kita dapat katakan bahwa ketika bertemu dengan Imam Mahdi As seseorang tidak hanya akan mengenalnya, akan tetapi setelahnyapun ia juga tidak akan dapat meyakini bahwa yang ditemuinya adalah Imam Mahdi As. Karena mungkin saja orang yang telah ia temui hanyalah salah seorang waliyullah yang diperintah oleh Imam Mahdi As untuk membantu menyelesaikan masalah orang tersebut, bukan Imam Mahdi As sendiri.
Tidak banyak riwayat yang dapat dijadikan dalil untuk mendukung pendapat ini, akan tetapi setidaknya dengan riwayat-riwayat tersebut, muncullah pandangan kedua ini.
Kesimpulkan yang dapat diambil dari pendapat pertama dan kedua adalah bahwa Imam Mahdi As itu ghaib. Dan apabila seseorang ingin berjumpa dengannya, maka sekalipun ia dapat berjumpa dengannya, ia tidak akan mengenalnya. (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Catatan Kaki
[1]. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HQ, jil. 1, hal. 144, bab 5, hadis 3.
[2]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ , hal. 362; Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh, Qum, Jame’eh-e Mudarrisin, 1413 , jil. 2, hal. 520.