ICC Jakarta – Terkait mengenai bagaimana cara seseorang menjalin hubungan dengan Imam Mahdi Afs, terdapat empat pandangan penting:
- Seseorang tidak akan dapat berjumpa dengan Imam Mahdi As secara mutlak
- Seseorang akan berjumpa dengan Imam As, akan tetapi ia tidak akan mengenalnya.
- Seseorang, disamping dapat berjumpa dengan Imam As, juga dapat mengenalnya. Akan tetapi, ia dilarang menceritakan kepada orang lain.
- Seseorang selain berjumpa dengan Imam As, juga dibolehkan menceritakan perjumpaannya kepada orang lain.
Pada kesempatan ini kita akan membahas poin yang pertama.
Pandangan ini berdasarkan beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa pada masa keghaiban, Imam Mahdi As tidak akan dapat dijumpai oleh seseorang. Diantara beberapa riwayat yang menjelaskan itu adalah:
- Tara wa lâ tura (ia melihat akan tetapi ia tidak terlihat)[1]
- Lâ yaraunahu (mereka tidak akan mampu melihatnya)[2]
- Yara al-nâs wa lâ yaraunahu (ia melihat manusia, akan tetapi manusia tidak mampu melihatnya)[3]
- Yaghîbu ‘ankum Syakhshuhu (ia akan ghaib dari manusia)[4]
- Lâ yura jismuhu (badannya tidak akan terlihat)[5]
- Lâ yura syakhshuhu (dirinya tidak akan terlihat)[6]
- Lâ tarauna syakhshahu (kalian tidak akan melihat dirinya)[7]
- Ara al-khalqa wa lâ tura (aku melihat manusia, sementara ia tidak akan terlihat oleh manusia)[8]
Hadis dan riwayat-riwayat seperti itu menjelaskan bahwa walaupun Imam Mahdi As hidup dan berada ditengah-tengah masyarakat, akan tetapi mereka tidak akan mampu melihatnya.
Ibnu Abi Zainab Nu’mani, orang pertama yang berhasil mengumpulkan berbagai hadis dan riwayat yang bersumber dari Imam Mahdi As, pada akhirnya berpendapat bahwa Imam Mahdi As tidak mungkin akan dapat dilihat. Menurutnya, orang-orang syiah tidak memiliki kewajiban untuk dapat bertemu dengannya. Terkait hal ini ia menjelaskan, “Kaum syiah dilarang untuk mencari tempat tinggal Imam As, mencari di daerah manakah ia tinggal. apalagi, meminta dan bersikeras untuk melihatnya secara langsung.[9]”
Sekalipun menurut riwayat-riwayat itu, Imam Mahdi As tidak akan dapat ditemui oleh seseorang, akan tetapi terdapat beberapa pendapat yang mengatakan sebaliknya, yaitu pada masa-masa keghaiban, sangat mungkin seseorang akan dapat bertemu dengan Imam Mahdi As. Mereka berargumen dengan dalil berikut;
- Terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa berjumpa dengan Imam Mahdi As tidaklah mustahil (sekalipun seseorang tidak akan dapat mengenalnya ketika berjumpa).
- Tidak dapat diragukan lagi bahwa dalam periode keghaiban shughra, Imam Mahdi As memiliki hubungan dengan duta-duta khususnya. Oleh karena itu, mereka sering berjumpa dengan Imam Mahdi As. Berdasarkan dalil ini kita dapat ambil kesimpulan bahwa bahwa selama masa keghaiban, Imam Mahdi As dapat ditemui oleh seseorang.
Berkenaan dengan kemungkinan seseorang dapat berjumpa dengan Imam Mahdi As, sebagian Ulama’ syiah mengatakan; Sayid Murtadha menulis, “Tidak mustahil apabila Imam As akan nampak dihadapan sebagian teman-temannya. Karena mereka adalah orang-orang yang tidak ditakuti olehnya.[10]”
Syaikh Thusi juga menulis, “Dari awal kita tidak yakin apakah ia (Imam Mahdi As) ghaib dan tidak dapat dilihat oleh para pecintanya, ataukah mungkin ia akan nampak dan terlihat oleh mayoritas mereka.[11]”
Sayid ibn Thawus juga pernah mengatakan kepada anaknya, “Kita tahu bahwa pada saat ini, Imam Mahdi As sedang ghaib dan tidak terlihat oleh pandangan. Akan tetapi, hal itu tidak menutup kemungkinan masih terdapat sebagian kelompok yang mampu berjumpa dengan Imam, dan mengambil manfaat dari tutur kata dan tingkah laku beliau.[12]” (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Catatan Kaki
[1]. Muhammad bin Ibrahim Nu’mani, Al-Ghaibah, Teheran, Maktabah Al-Shaduq, 1397 HQ, hal. 144.
[2]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 337, hadis 6; Muhammad bin Ibrahim Nu’mani, Al-Ghaibah, Teheran, Maktabah Al-Shaduq, 1397 , hal. 175, hadis 14; Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 161, hadis 119; Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HQ, jil. 2, bab 33, hal. 346, hadis 33.
[3]. Ibid, hal. 339.
[4]. Ibid, jil. 2, hal. 333, hadis 1.
[5]. Ibid, hal. 333; Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HQ, jil. 2, hal. 379.
[6]. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HQ, jil. 2, hal. 379.
[7]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 328; Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 , hal. 202; Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HQ, jil. 2, hal. 381.
[8]. Ali bin Musa Ibnu Thawus. Iqbâl al-A’mâl, cetakan kedua, Teheran, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1367 HS, hal. 298.
[9]. Muhammad bin Ibrahim Nu’mani. Al-Ghaibah, Teheran, Maktabah Al-Shaduq, 1397 HQ, hal. 160.
[10]. Silahkan lihat, Nu’mani, Al-Ghaibah, hal. 160.
[11]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb-u al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ , hal. 99.
[12]. Sayid bin Thawûs, Al-Tharâif, hal. 185.