ICC Jakarta – Dalam al-Qur’an nama dan sifat-sifat Allah Swt tertulis dengan dhamir mudzakar. Apakah ini berarti bahwa Allah Swt menomorduakan mu’anats? Berikut ini penjelasannya:
Pertama, yang harus kita perhatikan disini ialah bahwa dhamir apapun yang digunakan sebagai ganti (dzamir) sang mutakallim, maka dhamir tersebut itu tidaklah memiliki nilai yang mampu mempengaruhi kedudukan sang mutakallim. Akan tetapi, peletakan dhamir tersebut tidak lain hanyalah berasal dari ‘urf dan kesepakatan antar para pakar bahasa saja.
Sedangkan kedua, kita juga telah mengetahui bahwa mengapa Allah Swt menggunakan dhamir mudzakar untuk diri-Nya, tidak lain karena bahasa yang dipakai al-Quran ialah bahasa Arab. Oleh karena itu, dhamir apapun yang ada dalam al-Quran haruslah mengikuti kaidah yang ada dalam tata bahasa Arab. Sementara, bahasa Arab sejatinya bukanlah sebuah bahasa yang muncul lantaran munculnya agama Islam. Menurut penjelasan dari beberapa kamus yang ada telah mengisyaratkan bahwa orang pertama kali yang menggunakan bahasa Arab ialah seseorang yang bernama Yu’rab bin Qahthan. Ia memiliki nasab yang bersambung sampai Nabi Nuh As . Dalam bahasa Arab disebutkan bahwa dhamir terkadang mudzakar (sebagai ganti laki-laki) dan kadang adalah perempuan (sebagai ganti perempuan). Hal itu sangat berbeda dengan dhamir yang ada dalam bahasa Persia (yang mana antara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama menggunanakan satu dhamir saja).
Seluruh yang ada di alam ini tidak akan terlepas dari empat hal; hal-hal yang hanya terkait dengan gender perempuan saja, hal-hal yang hanya terkait dengan gender laki-laki saja, hal-hal yang secara kolektif menyangkut kepada laki-laki dan juga perempuan, dan yang terakhir adalah hal-hal yang tidak terikat sama sekali dengan bentuk gender manapun .
Dalam kaidah dan tata bahasa Arab, telah dijelaskan bahwa disana terdapat perbedaan dalam peletakan antara dzamir laki-laki dan dzamir perempuan. Adapun apabila disana terdapat dua gender yang berbeda, dimana yang satu adalah laki-laki dan yang lainnya adalah perempuan, maka yang dominan yang akan dipakai untuk keduanya adalah dzamir atau kata ganti laki-laki, bukan perempuan. Adapun apabila disana gender tidak disebutkan sama sekali (misalnya adalah kata Allah Swt dan juga para Malaikat-Nya), maka kata ganti yang digunakan untuk mereka adalah kata ganti dalam bentuk mudzakar (majazi). Disana, terdapat kaidah dimana dhamir atau kata ganti laki-laki pada tiga keadaan tertentu akan di gunakan (tentunya menurut kaidah dalam bahasa Arab), sedangkan pada satu keadaan lainnya, maka dhamir atau kata ganti perempuan baru akan di gunakan.
Tentunya, terkadang, seseorang hanya akan melihat kepada muanats dan muzakarnya suatu lafadz saja. Sekalipun, lafadz tersebut apabila disejajarkan dengan Al-Jins (jenis aslinya) itu berbeda dengan lafadznya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam muanats majazi.
Misalnya tatkala kita menyebutkan Matahari, maka dzamir yang kita pakai sebagai kata ganti darinya adalah dzamir muanats. Sementara, tatkala kita menyebutkan Bulan, maka dzamir yang kita gunakan sebagai kata ganti darinya ialah dzamir mudzakar. Hal itu dapat kita ketahui karena al-Quran sendiri telah menjelaskan, “Wa al-Syams-i wa dhuhâ-ha. Wa al-Qamar-i idzâ talâ-ha”. Atau dalam ayat lainnya, Allah Swt berfirman, “Idza al-Syams-u kuwwirat”. Dalam ayat tersebut, kita dapat ketahui bahwa kata ganti yang dipakai untuk bulan adalah kata ganti mudzakar. Sementara kata ganti yang dipakai untuk matahari adalah kata ganti muanats. Sementara kita ketahui bahwa matahari dan juga bulan tidak dapat kita sebut sebagai laki-laki ataupun perempuan. Hal itu karena keduanya adalah dua sesuatu diluar daripada gender laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, keduanya adalah muanats dan mudzakar majazi belaka.
Merupakan sebuah kelaziman bahwa setiap pesan yang hendak di tulis atau disampaikan dengan menggunakan bahasa bahasa Arab, maka pesan tersebut harusmengikuti aturan dan tata bahasa yang ada dalam bahasa Arab. Hal itu karena sang pendengar atau pembaca baru akan dapat memahami makna yang terkandung dalam pesan tersebut apabila ia menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Dan apabila tidak demikian, maka jangan heran apabila sang pendengar tidak akan memahami makna yang tersirat dalam pesan tersebut. Bahkan, terkadang ia justru akan memahami makna lainnya.
Karena al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, maka secara otomatis, iapun harus mengikuti kaidah-kaidah yang ada dalam bahasa Arab itu sendiri. Sebelumnya juga telah kita sebutkan bahwa menurut kaidah yang ada dalam bahasa Arab bahwa dalam tiga keadaan tertentu, dhamir mudzakarlah yang akan digunakan. Sementara dalam satu keadaan lainnya, barulah dhamir muannats akan digunakan.
Dikarenakan Allah Swt adalah wujud yang lebih tinggi dari jinsiat (kelamin), dan juga Dia bukanlah laki-laki (hakiki) dan bukan pula perempuan (hakiki), maka kata ganti yang harus dipakai untuk-Nya ialah kata ganti mudzakar majazi. Penggunaan tersebut dipakai untuk nama, sifat, dan dhamir-Nya itu sendiri.
Sumber Rujukan
- Makarim Syirazi va digaran, Tafsîr-e Nemûneh, jld. 17, hlm. 308.
- Sayid ‘Abdul Husain Tayib, Athyab al-Bayân fî Tafsîr-i al-Qur’ân, jld. 11, hlm. 24.
- Jarjani, Âyât-u al-Ahkâm, jld. 2, hlm. 390.