ICC Jakarta – Tawqi’ menurut bahasa berarti “menandatangani sebuah surat”. Juga memiliki arti, “menulis sebuah istilah dan penjelasan tertentu dibagian bawah surat atau tulisan”. Tawqi’ juga mempunyai arti, “jawaban-jawaban tertulis dari para pembesar dan negarawan atas segala pertanyaan dan aduan yang sampai kepada mereka[1].”
Tawqi’ sangat dikenal dalam kehidupan para hakim dan gubernur pada masa lampau. Bahkan sebagian tawqi’ tersebut hingga kini masih utuh dan dapat dilihat di museum-museum bersejarah. Tawqi’ juga sangat dikenal dalam syiah, dan menurut Mazhab Syiah, tawqi’ diartikan sebagai tulisan-tulisan para Imam Suci Ahlulbait As yang ditulis untuk para pengikutnya saja.
Pada dasarnya, sekalipun tawqi’ tidak hanya terbatas pada Imam terakhir saja, dan para Imam Suci Ahlulbait As lainnya juga memiliki tawqi’tersebut, akan tetapi pada saat ini, apabila kata tawqi’ tersebut disebut, maka akal secara spontanitas akan mengatakan bahwa itu adalah tulisan dan surat-surat yang berkaitan dengan Imam Mahdi As saja[2].
Asal Mula Kemunculan Tawqi’ Imam Zaman Afs
Sebenarnya, tidak ada jawaban yang pasti tentang bagaimanakah tawqi’ muncul dari Imam Mahdi As. Akan tetapi, sekalipun demikian, kita dapat pastikan bahwa tawqi’ tersebut hanya muncul berdasarkan mukjizat Ilahi. Hal itu karena selain tawqi’ tersebut tentunya tidaklah berasal dari orang awam, orang-orang yang menerima tawqi’ juga bukan orang-orang biasa.
Sebagai contoh kita dapat cuplik kisah berikut ini, bahwa “Muhammad bin Fadhl Al-Mushilli merupakan salah seorang pengikut syiah yang tidak mempercayai bahwa Husain bin Ruh adalah orang yang telah diangkat sebagai duta khusus Imam Mahdi As yang ketiga. Pada suatu waktu, ia mendatangi salah satu temannya (Hasan bin Ali) yang dengan itu, ia ingin menguji kebenaran duta khusus Imam As tersebut. Akhirnya, keduanya sepakat melakukan sesuatu yang sangat rahasia. Kemudian Hasan bin Ali mengambil selembar kertas dari buku Fadhl Al-Mushilli dan kemudian menulis sesuatu. Ia menulis sesuatu di kertas itu dengan menggunakan pena yang tidak bertinta. Akhirnya, ia kemudian menanda tangani kertas putih tersebut (yang terlihat hanya tanda tangannya). Kemudian, ia menyuruh seseorang untuk menyampaikan kertas putih itu kepada Husain bin Ruh. Pada waktu dhuhur, tepatnya ketika Muhammad bin Fadhl sedang makan siang, datanglah jawaban dari Husain bin Ruh. Tepat dikertas putih itu pula, jawaban tersebut tertulis dengan tinta yang sangat jelas. Dengan menyaksikan hal itu, Muhammad bin Fadhl bersama dengan Hasan bin Ali kemudian datang menghadap Husain bin Ruh dengan penuh rasa heran dan meminta maaf atas persangkaan buruk yang ada dalam dirinya kepadanya[3].”
Selain kisah di atas, masih banyak kisah-kisah lainnya yang menunjukkan akan adanya karamah yang dimiliki oleh Imam Mahdi As dalam mengeluarkan sebuah tawqi’. Beberapa karamah tersebut misalnya berbicara tentang hal-hal yang ghaib, kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa mendatang, mengobati orang sakit dan lainnya.
Contoh tawqi’ Imam Mahdi As lainnya adalah ketika para duta dan utusan beliau berkata tentang sesuatu yang kurang baik tentang khalifah pada masa itu. Setelah mendengar hal itu, sang khalifah kemudian memerintahkan beberapa orang yang tak dikenal untuk membawa hadiah kepada para duta dan utusan Imam As guna memata-matai mereka. Sang khalifah memerintahkan apabila ada di antara mereka yang menerima hadiah tersebut, maka tangkaplah ia. Dari sini, muncullah tawqi’ Imam Mahdi As yang ditujukan kepada seluruh duta dan utusannya supaya dalam kondisi dan keadaan apapun, jangan sampai ada di antara mereka yang mau menerima sesuatu hadiah dan pemberian dari orang lain. Dan Imam As juga memerintahkan kepada mereka untuk berlagak seperti orang bodoh yang tidak mengetahui sesuatu apapun[4].
Dalam tawqi’ lainnya juga dijelaskan supaya kaum syiah untuk sementara waktu tidak pergi ziarah Karbala dan Kadzimain. Setelah beberapa bulan lamanya, hal itu baru diketahui bahwa pada masa tersebut, sang khalifah mengeluarkan perintah supaya menangkap siapa saja yang pergi ziarah ke Karbala dan Kadzimain tersebut[5]. (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Catatan Kaki
[1]. Ali Akbar Dekhkuda, Lughatnameh, Teheran, Danesygah Teheran, 1373 HS, jil. 5, hal. 7145.. b
[2]. Ali bin Isa Arbali, Kasyf al-Ghimmah fi Ma’rifah al-Aimmah, Tabriz, Maktabah Bani Hasyim, 1381 HS, jil. 3, hal. 36; Muhammad bin Ya’qub Kulaini. Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 145, hadis 4.
[3]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ, hal. 315, hadis 264.
[4]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 525, hadis 30.
[5]. Ibid, jil. 1, hal. 525, hadis 31.