ICC Jakarta – Dalam beberapa riwayat kita membaca bahwa pada masa keghaiban, Imam Mahdi As di umpakan dengan Matahari yang tertutupi awan. Dalam kesempatan ini kita akan membahas riwayat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, baru kemudian riwayat yang disampaikan oleh Imam Shadiq As. Hingga akhirnya, kitapun akan menengok riwayat yang disampaikan oleh Imam Mahdi As.
- Jabir bin Abdullah Al-Anshari bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apakah dikala Imam Al-Qaim ghaib, kaum syiah dapat mengambil manfaat darinya?” Rasulullah Saw pun kemudian menjawab, “Ya. Demi yang telah mengangkatku sebagai Nabi, ketika ghaib, mereka akan mengambil cahaya dari pancaran sinar yang dimilikinya. Mereka juga akan diuntungkan dengan Wilayahnya, persis seperti halnya manusia yang membutuhkan kepada matahari sekalipun matahari tersebut tertutupi oleh awan. Wahai Jabir! Perkara ini adalah salah satu dari ilmu dan rahasia Allah. Oleh karena itu, jaga dan rahasiakanlah perkara ini dan jangan kau utarakan kepada siapapun kecuali kepada orang-orang yang layak untuk itu.[1]”
- Sulaiman bin A’masy meriwayatkan dari Imam Shadiq As, Imam Shadiq meriwayatkan dari ayahnya, Imam Baqir As, Imam Baqir juga meriwayatkan dari ayahnya, Imam As-Sajjad As yang bersabda, “Sejak Adam diciptakan hingga sekarang, bahkan hingga datangnya hari kiamat, maka bumi tidak akan pernah kosong dari Hujjatullah. Dan Hujjatullah tersebut harus senantiasa ada, entah ia nampak, ataupun -demi maslahat dan alasan-alasan tertentu- ia harus ghaib. Sekiranya tidak demikian, maka Allah Swt tidak akan disembah[2].” Sulaiman kemudian bertanya, “Wahai tuanku, bagaimana mungkin masyarakat mampu mengambil manfaat dari Imam yang ghaib dan tidak nampak oleh pandangan mereka?” Imam Shadiq As menjawab, “Mereka akan mengambil manfaat dari Imam ghaib layaknya mereka mengambil manfaat dari matahari yang tertutupi awan.”
- Dalam tauqi’ (surat mandat) yang disampaikan Imam Mahdi As kepada Ishaq bin Ya’qub tertera sebagai berikut, “… Adapun bagaimana mereka dapat mengambil manfaat dariku ketika aku ghaib persis seperti dikala mereka mengambil manfaat dari matahari ketika tertutupi awan….[3]”
Tidak diragukan lagi bahwa digunakannya kata tersebut sebagai persamaan, tentunya tidak terlepas dari hikmah. (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Catatan kaki
[1]. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-DînwaTamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HQ, jil. 1, hal. 253, hadis 3.
[2]. Ibid, jil. 1, hal. 207, hadis 22.
[3]. Ibid, jil. 2, hal. 483, hadis 4.