ICC Jakarta – Tak diragukan lagi bahwa gerakan Imam Husain yang beliau gelontarkan pada tahun ke 61 H itu memiliki banyak pelajaran-pelajaran kehidupan yang patut kita renungkan dan kemudian untuk dijadikan inspirasi dan diteladani dalam mengarungi kehidupan ini. Diantara pelajaran-pelajaran yang ada adalah sisi irfannya, diantaranya:
- Cinta Ilahi
Kecintaan kepada Tuhan ibaratnya api yang membakar segala apa yang dicapainya. Ia juga ibarat hujan yang mencurahkan air kepada segala sesuatu. Kecintaan kepada Tuhan itu sendiri muncul dari makrifat kepada-Nya. Karena itu semakin makrifat bertambah kepada-Nya, semakin kecintaan bertambah juga terhadap-Nya. Bagaimana dengan manusia sempurna (insan kamil) yang mempunyai makrifat sempurna insani kepada Allah Swt? Tentu kecintaannya juga pada-Nya adalah sempurna dan sedalam mungkin, yang hanya dibatasi oleh pembatas kecintaan yang tidak dapat dimiliki oleh maujud mumkin. Oleh karena itu, sesuatu yang membawa Imam Husain As pada hari Asyura melepaskan segala sesuatu hatta jiwanya, adalah cinta Ilahi. Dan beliau rela menanggung segala beban dan penderitaan pada hari itu; hanya karena cinta dan rindunya kepada Tuhan Yang maha Agung.
Kecintaan beliau kepada Tuhan ini, bukanlah sesuatu yang diperoleh secara tiba-tiba dan dalam peristiwa perjalanan Karbala ditemukan. Akan tetapi dalam seluruh perjalanan hidup beliau dipenuhi dengan cinta Ilahi dan peristiwa Asyura itu adalah buah dari kecintaan beliau tersebut. Dan sebagaimana diisyaratkan sebelumnya, bahkan seluruh hidup beliau merupakan tajalli cinta kepada Tuhan. Do’a dan munajat beliau, terutama do’a Arafah, menjadi bukti dari cinta Ilahi beliau ini. Dan juga malam-malam munajat, shalat, dzikir, sabar, tawakkal, dan pengorbanan yang beliau lewati di hari-hari Karbala merupakan manifestasi dari totalitas kecintaan beliau kepada Allah Swt.
Di samping Imam Husain As di hari-hari Karbala, juga anggota-anggota keluarga beliau dan para sahabat-sahabat beliau yang meneguk kesyahidan, semuanya telah menunjukkan manifestasi cinta Ilahi dan menjadi para pencinta yang syahid. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Ali As, seperempat abad sebelum peristiwa Asyura tersebut, ketika beliau melewati Karbala beliau berkata kepada orang-orang yang menyertainya, di sini akan menjadi tempat terbunuhnya para syuhada pencinta. (Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, Jld. 41, Hal. 295)
Sesuai dengan ungkapan Amirul Mukmini Ali As ini maka semua orang yang berperang dipihak hak dan tauhid pada hari-hari Karbala, mereka semuanya adalah pencinta Ilahi Swt. Dan pimpinan serta imam mereka yaitu Imam Husain As merupakan pimpinan kafilah pencinta yang mengajarkan kepada para pengikutnya kecintaan, perang, dan irfan hakiki, dan juga bagi generasi-generasi akan datang yang mengikuti maktab kecintaannya.
- Shalat
Shalat, adalah pilar dan tiang agama. Bahkan ia paling asasnya dasar agama setelah wilayat. Dan shalat merupakan manifestasi irfan dan spiritualitas yang sangat jelas. (Jawadi Amuly, Hamâseh wa Irfan, Hal. 243) Imam Husain As, dengan seluruh usia yang dilewatinya dipenuhi dengan shalat dan ibadat, -sebagaimana diriwayatkan dari Imam Sajjad As bahwa beliau berkata, ayahku dalam sehari semalam shalat seribu rakaat (Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, Jld. 44, Hal. 196.) pada hari tâsû’a (hari kesembilan bulan muharram) meminta dari saudaranya hadhrat Abul Fadl As supaya mengambil kerelaan dari musuh untuk memberi mereka kesempatan satu malam, dimana malam itu beliau ingin hanya berdo’a, shalat, tilawah al-Qur’an, istigfar, dan munajat kepada Tuhan. Karena itu, setelah beliau berbicara dengan para pengikutnya dan mengungkapkan segala kemungkinan yang akan terjadi besoknya dan hujjah telah sempurna bagi mereka, beliau kembali ke kemahnya dan melewati seluruh malam itu dengan shalat, istigfar, dan munajat. (Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, Jld. 45, Hal. 3) Demikian pula para sahabat-sahabatnya melewati malam itu dengan shalat, istigfar, dan munajat.(Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, Jld. 45, Hal. 3)
Pada hari Asyura, ketika peperangan demikian hebatnya berkecamuk, tapi saat-saat pembicaraan tentang shalat diungkapkan, beliau berpikir menegakkan shalat dan berkata, engkau mengingatkan kami kepada shalat, semoga Tuhan menjadikan kamu di antara orang-orang yang menegakkan shalat. Benar, sekarang adalah awal waktu shalat, mintalah dari musuh supaya menghentikan perang sejenak hingga kita selesai menunaikan shalat. Sebab musuh tidak bersedia menghentikan perang maka Said bin Abdullah Hanafi dan Zuhair bin Qin bertanggung jawab melindungi jiwa Imam As dalam keadaan shalat, yang pada akhirnya kedua sahabat Imam ini meneguk syahadat sebagai pengabdiannya terhadap shalat. (Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, Jld. 45, Hal. 21). Shalat ini mempunyai tiga kekhususan: berjamaah, awal waktu, dan secara ‘alani (terang-terangan).
Demikianlah kecintaan beliau kepada shalat sebagai manifestasi dari kecintaan beliau kepada Tuhan. Dan shalat merupakan ungkapan jelas dari kecintaan kepada Tuhan, kendatipun perang di jalan hak itu sendiri juga ungkapan kecintaan kepada Tuhan. Karena itu, perealisasian shalat dalam keadaan perang berkecamuk, merupakan dua keutamaan yang bertajalli pada saat yang bersamaan. [Ruhullah Syams/Sisi Irfan Asyura]