ICC Jakarta – Terkait dengan riwayat yang menjelaskan tentang keberadaan Imam Mahdi As dan masa-masa keghaiban Imam Mahdi As seperti pada riwayat tersebut di antaranya adalah:
Imam Ali As berkata:
“Keturunanku kesebelas yang bernama Mahdi akan mengalami masa ghaibah dan juga hairah. Dia yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya, bumi telah dipenuhi dengan kedzaliman.”[1]
Dalam sebagian riwayat dijelaskan bahwa selain ghaibah, istilah hairah juga sering digunakan untuk Imam Mahdi As. Mungkin hal ini akan menimbulkan pertanyaan dalam benak kita, bagaimana mungkin Imam Mahdi As dihinggapi hairah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita membahas terlebih dahulu arti istilah hairah.
Dari segi bahasa, hairah merupakan sebuah kata yang selain digunakan untuk menyebut seseorang yang ragu dan bimbang dalam pekerjaan yang dihadapinya,[2] kata tersebut juga digunakan untuk menyebut seseorang yang mengalami kebuntuan dalam satu masalah tertentu.[3] Tentunya, kata tersebut akan memiliki arti yang berbeda satu dengan yang lainnya ketika disandangkan dengan setiap pribadi yang berbeda.Oleh karena itu, ketika kata tersebut kita sandangkan untuk Imam Mahdi As, maka hairah disini memiliki arti yang lain. Artinya Imam Mahdi ragu dan bimbang terhadap masyarakat itu sendiri. Sehingga dalam hal ini, maka tidak heran apabila secara istilah, hairah (yang ada pada diri Imam Mahdi As) memiliki arti yang berbeda dengan arti sebenarnya kata tersebut.
Sebagai jawaban dari pertanyaan seseorang yang menanyakan tentang sisi kesamaan antara masa keghaiban Imam Mahdi As dengan masa keghaiban Nabi Yusuf As (dimulai dari dilemparkan dirinya ke dalam sumur hingga menjadi penasehat dan petinggi Mesir pada saat itu), Imam Baqir As hanya mengatakan, “Al-hîrah wa al-ghaibah”[4].
Arti kata hirah untuk Nabi Yusuf menjadi jelas, yaitu ketika tertimpa musibah yang begitu besar, ia kemudian berpikir bahwa permasalahannya tersebut tidak lagi akan dapat dipecahkan. Adapun berkenaan dengan Imam Mahdi As dapat diartikan bahwa selama ia tidak diijinkan oleh Allah Swt untuk bangkit, maka pada saat itu pula ia tidak menemukan cara untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Dari sini, maka dia senantiasa dalam keadaan hairah. (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
[1]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 338, hadis 7.
[2]. Jauhari, Al-Shihâh, jil. 2, hal. 640.
[3]. Fakhruddin Thahiri, Majma’ al-Bahrain, Beirut, Dar Ihya’ Turats Al-Arabi, 1403 HQ, jil. 1, hal. 604.
[4]. Muhammad Hasan Thusi, Kitâb al-Ghaibah, Qum, Muassasah Ma’arif Islami, 1411 HQ , hal. 163.