ICC Jakarta – Pentingnya menjaga iffah dan jilbab tentunya ketika seorang wanita hendak beraktivitas di luar rumah sangat menjadi perhatian Islam. Begitu pun Imam Khomeini, beliau sangat menaruh perhatian tentang bagaimana seorang wanita jika berinteraksi dengan non mahram, baik di lingkungan sekolah, kampus, tempat kerja dan tempat-tempat umum lainnya. Terkait dengan karier para wanita di luar rumah, Imam Khomeini mengatakan, sebisa mungkin, jangan berbicara dengan lelaki non mahram. Beliau tidak menerima bila seorang wanita mengatakan bahwa saya telah menjaga semua aturan dan saya menjaga kehormatan diri, berarti saya tidak masalah berbicara dengan lelaki non mahram.
Beliau meyakini bahwa nada perkataan (gaya wanita dalam berkata-kata apa adanya, tidak dibuat-buat, tidak dimerdu-merdukan) dan pandangan harus suci. Beliau menilai bahwa di lingkungan kerja, tertawa keras dan pembicaraan yang tidak pada tempatnya; tidak tepat. Dan secara keseluruhan, pesan beliau adalah hendaknya menjaga iffah [kehormatan diri] dan hijab.
Ketika Imam berada di Paris, beliau tidak melarang para wanita yang datang menemui beliau dengan berpakaian manto [pakaian luaran baik yang panjang maupun setengah panjang] dan kerudung atau jilbab instan. Sementara pada saat yang sama bila ada seorang lelaki datang misalnya dengan memakai cincin emas, beliau langsung memintanya agar melepas cincinnya. Sikap beliau ini menunjukkan bahwa pakaian mereka tidak masalah dan Imam Khomeini tidak mempermasalahkan warnanya. Secara keseluruhan beliau menilai chadur [hijab khas Iran] lebih baik dan lebih pantas serta menilainya sebagai simbol revolusi Islam.
Dalam menyikapi fenomena hijab yang tidak sempurna, Imam Khomeini benar-benar tidak suka terhadap orang yang menentang syariat. Bila saat makan bersama, lengan kami keluar lebih dari batas yang dibolehkan, beliau tentu menegurnya. Dengan demikian, ada masalah lain yang terjadi yang menurut beliau sudah direncanakan. Yakni menurut beliau ada tangan-tangan musuh. Ketika menyikapi orang yang hijabnya tidak sempurna; dengan menyiramkan acid ke wajahnya, ketahuan bahwa perbuatan ini tidak benar atau dalam kasus memperlakukan secara tidak baik orang lelaki yang memakai lengan pendek. Beliau meyakini bahwa dalam kasus-kasus ini ada tujuan untuk menciptakan kericuhan dan orang-orang yang melakukan hal ini ingin mencampur-aduk antara kebenaran dan kebatilan sehingga bisa membesar-besarkan masalah ini dalam gaung propagandanya. Dengan demikian, meski beliau menilai perlakuan tersebut di atas tidak tepat, beliau juga tidak bermaksud agar jangan menyikapi orang hijabnya tidak sempurna.
Sejatinya, ketika seorang perempuan hijabnya tidak sempurna, maka dia akan merusak sebuah masyarakat. Seorang pemuda yang melihatnya akan rusak. Dengan alasan inilah kita perlu membersihkan masyarakat kita dari segala bentuk penyebab kefasadan. Tentunya, secara keseluruhan, Imam Khomeini melihat masalah yang terjadi dengan pandangan positif. Beliau memiliki kelapangan dada yang istimewa. Sebagian orang menyampaikan kepada beliau bahwa sebagian orang yang berchadur hijabnya sudah tidak sempurna lagi. Beliau menjawab, mengapa tidak kita katakan bahwa orang-orang yang tidak berhijab di zaman tagut sekarang hijabnya demikian? Meski demikian, mengingat hijab yang tidak sempurna bertentangan dengan syariat, beliau tidak rela untuk tidak peduli. Sebagaimana yang sering saya katakan bahwa beliau menentang segala bentuk penentangan terhadap syariat.
Nampak bahwa beliau memandang manusia dengan pandangan lain. Pada hakikatnya, bila manusia dibentuk atas dasar pandangan seperti ini, dengan sendirinya tidak akan sibuk dengan masalah-masalah seperti ini. Dari sisi lain, tidak boleh berpaling dari semua manusia. Tidak bisa memakai baju yang sama baik di rumah, juga di acara pengantin, sekaligus di lingkungan universitas. Segala sesuatu ada pada tempatnya masing-masing. Lingkungan universitas berbeda dengan lingkungan duka dan acara pengantin. Tentunya Imam Khomeini dalam kasus-kasus seperti ini, senantiasa berpesan untuk bersikap sesuai dengan urf masyarakat setempat [kearifan lokal]. Misalnya, bila seseorang memakai satu cincin, tidak begitu terlihat bagi seseorang. Tapi bila memakai cincin berjejer empat, maka akan mencolok.
Imam Khomeini memperhatikan masalah kesederhanaan wanita, tempat dan batas-batasnya. Bila seorang wanita di dalam rumah suaminya memakai manto [pakaian luaran baik yang panjang maupun setengah panjang] dan kerudung, beliau tidak menilainya sebagai sebuah kesederhanaan. Karena di sini tidak tepat. Sebaliknya, di luar rumah, hal ini beliau nilai sebagai sebuah kelaziman. Karena iffah [kehormatan diri] dan kewibawaan seorang wanita ada pada kesederhanaannya.
Di awal-awal revolusi, sejumlah orang memasang dinding di tengah-tengah kelas di universitas. Kebetulan masalah ini terjadi juga di kelas saya sendiri. Saya masih ingat, dinding itu dipasang di kelas yang sering kami gunakan. Suatu hari kami datang dan melihat kelas sudah dipisahkan dengan dinding. Saya tidak tahu apakah saya sendiri yang menyampaikan masalah ini kepada beliau ataukah lewat orang lain kabarnya sampai kepada beliau. kebetulan Agha Khamenei pekan berikutnya berbicara tentang masalah ini. Imam menganjurkan untuk melepas dinding itu dan jangan biarkan khurafat dan batasan-batasan kita sendiri dicampur dengan syariat. Bila kita melakukan hal ini, nanti akan sulit untuk membedakan dua masalah ini. Yang benar adalah kita minta agar mahasiswa mengenali batas-batas dirinya. Anak lelaki harus tahu bagaimana harus duduk di lingkungan, demikian juga dengan anak perempuan. Yang itu jangan melihat yang ini dan yang ini jangan melihat yang itu. Berbicaralah sesuai batas-batas syariat dan sebatas yang dibolehkan. Bukannya, memasang dinding di tengah-tengah kelas. Masalah ini nantinya akan bercampur dengan syariat dan kita tidak akan bisa membedakan khurafat dan adat istiadat dari syariat. Dan ini adalah poin yang sangat penting. (Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Doktor Fathimah Thabathabai, menantu Imam Khomeini; istri Sayid Ahmad Khomeini
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh