ICC Jakarta – Seorang Khatib Shalat Jumat Nalla Mohamed Abdul Jameel, di sebuah masjid di Singapura didenda oleh Pemerintah Negara Singapura berupa uang sebanyak 4000 Dolar Singapura setara 2860 Dolar AS atau sekitar Rp38,1 juta.
Ia dihukum denda karena dinilai menyuarakan kebencian dan permusuhan terhadap umat nonmuslim yang dapat memicu perpecahan atas keharmonisan yang selama ini telah terbangun di Singapura.
“Tuhan, bantu kami untuk melawan Kaum Yahudi dan Kristen,” ujar Nalla Mohamed Abdul Jameel saat berkhutbah menggunakan Bahasa Arab seperti dikutip NU Online dari The Economic Times.
Khutbah tersebut ia lakukan pada bulan Februari 2017 lalu yang berhasil terindentifikasi oleh pihak Kementerian Dalam Negeri Singapura melalui sebuah video di media online.
Nalla Mohamed Abdul Jameel, sang khatib, datang ke pengadilan dengan didampingi beberapa tokoh agama lainnya pada Senin, 3 April 2017 untuk membayar denda.
Pemerintah Singapura melalui Kementerian Dalam Negeri mempunyai komitmen kuat dalam menjaga kebersamaan di negaranya. Sebab itu mereka tidak akan segan-segan melakukan tindakan tegas bagi siapa yang berusaha memecah belah dan menghakimi lewat khutbah sesuai Undang-Undang yang berlaku.
“Pemimpin agama yang mengeluarkan pernyataan seperti itu akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Berdasarkan undang-undang Singapura, kami melarang siapa pun berkhutbah yang bersifat memecah belah dan menghakimi dengan merujuk pada ayat-ayat agama,” jelas pernyataan pers Kantor Kementerian Dalam Negeri Singapura menanggapi hukuman terhadap Nalla.
Nalla pun meminta maaf kepada seluruh perwakilan agama Kristen, Sikh, Taoisme, Budha, dan Hindu di Singapura. Dilaporkan oleh media lokal, Nalla juga telah mengunjungi seorang tokoh bernama Rabbi Moderchai Abergel, Ahad (2/4) lalu.
Atas nama Komunitas Yahudi di Singapura, Rabbi Moderchai menerima permintaan maaf Nalla dalam rangka mewujudkan keharmonisan di tengah keberagaman, khususnya di Singapura.
Di saat Singapura tegas dalam menindak suara-suara kebencian dan permusuhan di mimbar khutbah Jumat, Pemerintah di Indonesia tidak beranjak dari sekadar imbauan dan ajakan ketika mimbar Jumat jelas-jelas digunakan untuk kampanye secara politis dengan menyuarakan kebencian terhadap kelompo-kelompok di luar Islam dengan memanfaatkan khutbah Jumat.
Fenomena menyuarakan kebencian, permusuhan dan paham-paham radikal dengan dalih agama secara sporadis bukan hanya terjadi di masjid-masjid di tengah perkotaan, perkampungan, dan lembaga pemerintah, tetapi juga menggeliat di masjid-masjid sekolah dan perguruan tinggi umum.
Sumber: NU Online