ICC Jakarta – Upaya menggalang persatuan Islam telah lama dilakukan. Salah satu yang boleh dikatakan sebagai tonggak atau rintisan yang terus menyambung hingga kini ialah yang dimulai sejak awal hingga pertengahan abad 20. Hal ini bukan berarti tidak ada upaya wahdah sebelumnya. Namun, kerja yang lebih sistematis hingga ke tingkat konferensi dunia dan pembentukan institusi semacam Jam’iyyah Taqribiyah, memang baru dimulai pada era itu. Kita bisa memeriksa berbagai literatur yang menunjukkan kegigihan perjuangan para pejuang persatuan umat Islam. Dan sekaligus bisa mempelajari berbagai sisi kelemahan dalam tubuh umat Islam mengapa kerap terpecah, baik oleh faktor internal maupun eksternal.
Kali ini kami menurunkan artikel dari tokoh bernama Syekh Muhammad Husain Kasyiful Ghitha’[1] (1294-1373H/1876-1954 M) berkenaan dengan Persatuan Umat Islam, konferensi Islam internasional dan gerakan jam’iyyah taqrib. Meskipun naskah ini berasal dari “catatan lama” namun ia memiliki relevansi kuat dengan zaman kini. Bahkan—melalui artikel ini—kita dapat mengetahui bahwa kerja keras dan konkret telah dilakukan sejak lama oleh sebagian ulama tingkat dunia demi mewujudkan persatuan Islam, sebagaimana dipesankan al-Quran; wa’tasimu bihablillahi wa la tafarraku.
Bagaimana Umat Islam Dapat Bersatu?[2]
Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim; Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.[3]
Di dunia Timur dan Barat, tak seorangpun yang berpikir dan berakal sehat kecuali merasakan begitu pentingnya persatuan dan kemufakatan serta bahaya perpecahan dan perselisihan. Kebaikan dan sensibilitas ini bahkan sudah menjadi sesuatu yang fitri dan dirasakan tiap pribadi Muslim, bak keadaan dan rasa yang menimpa dirinya, seperti sehat atau sakit, lapar dan haus. Secara sosiologis, rasa ini terbentuk berkat jerih payah para reformis kontemporer yang telah menstimulasi masyarakat Islam; yang tampil sebagai guru brilian yang mengumandangkan seruan di tengah umat; yang memposisikan dirinya sebagai dokter yang mendiagnosa penyakit lalu menentukan obatnya; yang menyorot dan menentukan tujuan dengan tepat; yang menginspirasi semua jiwa dan memandunya untuk memusnahkan penyakit jahat dan mematikannya, sebelum penyakit itu membunuh jasad yang hidup agar jiwa-jiwa bersih bisa masuk dalam era kini dan masa datang demi kejayaan Islam.
Para reformis memekikkan seruannya lalu didengar oleh seluruh umat Islam bahwa penyakit mereka adalah perpecahan dan benturan antarmereka sendiri, dan bahwa obat mereka satu-satunya dari awal hingga akhir tak lain adalah persatuan, kebersamaan dan tekad untuk mencampakkan permusuhan, kebencian dan kedengkian.
Misi tersebut hingga detik ini masih dijalankan oleh para pejuang persatuan itu. Allah Swt menerangi hati mereka, membulatkan tekad mereka dan membarakan ketulusan mereka dalam membenahi keadaan umat. Dari relung hati yang terdalam mereka terus menyerukan persatuan para penganut tauhid dan kebersamaan seluruh kaum Muslimin di bawah bendera “la ilaha illa-Allah Muhammadur rasulullah”, tanpa membedakan kelompok dan mazhab mereka. Mereka menyerukan pembentukan masyarakat yang agung, memekikkan pergerakan menuju ‘buhul tali yang amat kuat’ (urwatul wutsqa) dan ‘sebab yang kokoh’ (as-sabab al-matin) mengingat umat manusia diperintahkan Allah Swt agar berpegang teguh kepadanya, mengumandangkan panggilan menuju gunung yang kokoh tempat umat diperintahkan Allah Swt supaya mendakinya. Mereka menyerukan semua itu, karena memang itulah kehidupan dan dengannya umat ini dapat diselamatkan. Tanpa semangat dan kehidupan seperti itu maka yang terjadi hanyalah kebinasaan untuk selamanya.
Para pejuang Islam itulah yang menjadi penyeru persatuan, pembawa obor tauhid, pengemban misi kebenaran, duta hakikat, utusan Ilahi di era kontemporer, pembaharu yang hilang dari ajaran Islam, penyala yang redup dari menara Muhammadi. Berkat jerih payah dan perjuangan tiada henti mereka itu kini mulai terlihat sinyal kebaikan dan tanda-tanda keselamatan; spirit suci mulai tertanam dalam sanubari umat Islam sehingga mereka mulai saling berdekatan dan berkenalan. Ini merupakan awal terbitnya matahari hakikat serta tumbuhnya tunas idealisme yang benihnya tertanam melalui konferensi Islam di Baitul Maqdis beberapa tahun silam, yaitu konferensi yang mempertemukan figur-fugur besar umat Islam untuk membahas isu-isu keislaman dan berbagi kepercayaan dan rasa persaudaraan, meskipun mereka berbeda mazhab, bangsa dan negara.
Pertemuan yang demikian adalah yang pertama kali sehingga seluruh umat Islam menggantungkan harapan padanya. Pertemuan itu merupakan pelipur hati umat Islam dan sekaligus beban batin bagi kaum imperialis. Para imperialis memperhitungkannya dengan seribu perhitungan dan berusaha sekuat tenaga untuk mempersulitnya.
Segala persiapan sudah digalang penuh oleh figur-figur besar demi menggapai misi tersebut. Tak kurang pengorbanan mereka untuk menanamkan benih tersebut serta komitmen dan konsistensi mereka supaya benih itu tumbuh besar dan membuahkan hasil yang paling maslahat.
Namun demikian, kita umat Islam secara umum masih bergelantungan di tebing pengharapan. Kita masih lebih memilih berkutat dalam retorika daripada tindakan dan berputar-putar hanya pada lingkaran formalitas dan simbolik belaka daripada hakikat persoalan. Kita berkisar di kulit luar dan tak jua menembus isi di dalam. Kita bertolak belakang dengan para leluhur dan pendahulu kita. Merekalah yang tekun, antusias dan tulus sehingga selalu bertindak sebelum bicara, membulatkan tekad sebelum beretorika. Watak perkasa itulah yang kini diraih oleh pihak-pihak asing sehingga merekalah yang maju meninggalkan kita yang dulu pernah maju. Dulu kitalah yang melingkari mereka tapi sekarang kita dilingkari oleh mereka. Dan inilah: Sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.[4]
Kita selalu beranggapan bahwa dengan berbicara berarti kita sudah berbuat dan bersepakat. Kita terlampau naif sehingga kita hanya bisa berbicara dan menuliskan kata, dan kemudian beranggapan dengan cara ini cita-cita kita dalam persatuan sudah tercapai. Kita ibarat sekawanan ular yang ketika sudah bersatu lantas merasa sudah kuat dan jaya serta berhasil menggapai apa yang seharusnya digapai. Karena itu, kini kita dapatkan kenyataan diri kita yang justru semakin terpuruk, jerih payah kita kian merosot, dan retorika kita berujung nihil. Kita hanya terhibur ketika sedang menyimak retorika, namun setelah itu yang terjadi hanyalah genangan fatamorgana!
Jika tetap dalam kondisi demikian, mustahil umat Islam bisa berdiri tegak dalam satu kalimat dan satu tonggak yang kokoh di tengah umat manusia, walaupun mereka dapat memenuhi media cetak serta seluruh bumi dan segenap cakrawala langit dengan kata kebersatuan dan persatuan, dengan segala derivat dan sinonimnya. Seindah dan selugas apapun retorika mereka tidak akan pernah berguna jika tidak melahirkan tindakan serius dan konkret, tidak membuat mereka mengindahkan akhlak dan bakatnya dengan mengaktivasi akal, nash, budi pekerti dan hikmatnya, agar setiap Muslim dapat merasakan maslahat saudaranya sesama Muslim, sebagai maslahat dirinya sendiri untuk kemudian turut berusaha memperjuangkan maslahat itu sebagaimana dia memperjuangkan maslahatnya sendiri. Setiap Muslim bisa berbuat demikian hanya apabila dia menanggalkan belenggu kebencian dari dadanya, masing-masing bisa saling memandang dengan kacamata persaudaraan, kecintaan dan kasih sayang, bukan dengan kacamata permusuhan, kebencian dan amarah. Ini hanya bisa terjadi jika setiap Muslim menggunakan kepekaan hati nuraninya untuk menangkap kenyataan bahwa kehormatan dirinya bergantung pada kehormataan saudaranya, bahwa kekuatannya bergantung pada kekuatan saudaranya, dan bahwa setiap Muslim adalah penolong bagi sesamanya. Jika kesadaran ini sudah tertanam, tak mungkin seorang Muslim akan keberatan membantu menguatkan rekan sekaligus penolong dan perisainya sendiri.
Kemudian, seandainya mengindahkan akhlak sedemikian rupa ini terlalu berat dan menjadi harapan yang terlalu muluk sehingga tak mungkin akan terpenuhi, dan seorang Muslim tidak mungkin bisa menghargai dan mencintai saudara Muslimnya sebagaimana ia menghargai dan mencintai dirinya sendiri, maka paling tidak jangan sampai melanggar batas sportifitas, proporsionalitas dan keseimbangan, dengan tidak menistakan hak saudaranya, tidak ‘mengurangi timbangannya’, tidak merendahkannya. Dalam hal ini, prinsip dan tolok ukurnya adalah tiadanya sifat-sifat buruk, seperti tamak, serakah, egoisme, iri, dengki dan rasa ingin menang sendiri. Sifat-sifat buruk ini merupakan rangkaian karakter bejat dan untaian angkara yang saling terikat dan saling menguatkan satu sama lain. Dengan adanya sifat-sifat ini umat akan terperosok ke dalam jurang kebinasaan yang kini sedang ditujunya dengan langkah cepat, lalu terhempas ke dasarnya yang terdalam.
Sedangkan benih pertama yang menghasilkan sifat-sifat keji tersebut adalah egoisme. Seperti kata pepatah, egoisme menyebabkan dengki, dengki menyebabkan kebencian, kebencian menyebabkan sengketa, sengketa menyebab perpecahan, perpecahan menyebabkan kelemahan, kelemahan menyebabkan kebangkrutan negara, kehilangan nikmat dan kebinasaan umat. Sejarah memberitahu dan hati nuranipun memberi kesaksian sejujurnya kepada kita bahwa di mana ada noda dan dosa tersebut di situ ada kehancuran umat, matinya kehendak, pudarnya tekad dan porak-porandanya elemen-elemen, sebagaimana di situ juga ada perbudakan dan penjajahan, kehancuran dan penderitaan, kemenangan pihak-pihak asing dan dominasi musuh. Sebaliknya, jika semua suara umat ini berpadu, kehendak mereka bertemu, hati bersentuhan, tangan bergandengan, pikiran saling menunjang, tekad saling mengukuhkan dan batinpun tak saling dengki, dada tak saling menyesakkan, jiwa tak akan saling berpaling, tangan tak akan saling beradu, maka yang akan terjadi adalah tegaknya kehormatan dan kekekalan, kesejahteraan dan kenikmatan, keperkasaan dan kekuatan, keberkuasaan dan kekayaan, kemuliaan dan keberpengaruhan. Dan Allah Swt akan memberikan kemudahan bagi setiap kesulitan dan jalan keluar bagi setiap kebuntuan, serta mengganti kehinaan dengan kemuliaan, ketakutan dengan keamanan, dan umatpun akan menjadi raja yang berkuasa dan pemimpin yang kaya ilmu.
Umat Islam sekarang harus memetik ibrah dari para pendahulunya. Sebelum ada Islam, betapa mereka dahulu adalah kaum yang sangat terbelakang, hidup tidak menentu, tanpa tempat berlindung yang bermartabat, tanpa panggilan yang mengayomi, tanpa persatuan yang menaungi. Mereka dulu adalah kasta-kasta yang bodoh, terdera oleh perang dan penjarahan, anak-anak perempuannya dikubur hidup-hidup, menyembah berhala, terputus hubungan persaudaraan dan berlumur darah kekerasan. Namun bagaimana kondisi mereka setelah pikiran mereka dipersatukan Allah dengan datangnya ajaran Islam dan paham tauhid, bendera mereka dikibarkan dan disebar-luaskan oleh-Nya dengan membawa seruan kebenaran?
Saat itulah semangat kasih sayang dan kehormatan mengitari mereka, kenikmatan mengalir pada mereka, hari-hari mereka berlangsung indah di bawah naungan kekuasaan yang begitu perkasa, anugerah persatuan bersanding dengan kejayaan, segala urusan berjalan lancar di bawah naungan pemimpin yang solid. Mereka yang semula begitu remeh dan hina akhirnya menjadi penguasa dunia, menjadi raja-raja di muka bumi, yang berkuasa atas segala urusan siapapun yang semula berkuasa atas mereka, menghakimi siapapun yang sebelumnya menghakimi mereka. Mereka tak tertandingi dan terkalahkan oleh siapapun.
Saat itu umat hidup dalam persatuan yang utuh dan persaudaraan yang tulus. Mereka bersatu dalam persatuan yang hakiki dan persaudaraan yang sejati. Saat itu maslahat mereka terwujud secara kolektif, kepentingan mereka secara timbal balik dan tekad mereka saling mengukuhkan. Seorang Muslim tidak memikirkan saudaranya kecuali untuk membantu, menolong, melindungi dan mengayominya. Namun, setelah roda kehidupan semakin jauh berputar, dan masa demi masa kemudian berlalu, seorang Muslim akhirnya malah tidak lagi mengenal saudara yang ada di dekatnya, apalagi saudaranya di tempat nun jauh. Ia tidak lagi memperhatikan saudaranya kecuali dengan tatapan khawatir dan sinis. Ia bahkan tidak mencemaskan musuhnya lebih dari kecemasannya terhadap saudaranya. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin umat Islam dapat berdiri tegak dan kuat?! Sungguh, jangan harap umat akan benar dan kuat sebelum mereka bersatu, dan jangan harap mereka akan bersatu sebelum mereka saling membantu.
Wahai umat Islam! Jangan promosikan persatuan, yang diserukan oleh para pendahulu kalian dulu, hanya dengan merangkai kata, memperindah retorika, menebar orasi dan makalah, menghebohkan media, mengumbar pena. Persatuan bukanlah sekedar ucapan kosong, ungkapan yang indah, kata mutiara yang ranum. Betapapun indah dan fasihnya suatu ungkapan, tolok ukur persatuan tetap saja ketulusan niat, keikhlasan iktikad, kesungguhan dalam berbuat.
Persatuan adalah rangkaian budi pekerti dan keluhuran, amalan dan bakat yang matang, akhlak yang agung, hakikat yang kokoh, jiwa yang saling mendukung, karakter terpuji dan simpati yang mulia. Persatuan adalah keadaan di mana kaum muslim saling bertukar kepentingan, bermitra dalam keuntungan, berlaku seimbang dan menjaga undang-undang keadilan. Jika di suatu kawasan seperti Suriah dan Irak terdapat dua golongan atau lebih maka mereka harus dipandang sebagai kalangan yang terikat tali persaudaraan dan sama-sama mewarisi satu rumah dan perabotannya, yang dibagi secara adil dan tidak ada satu di antara mereka yang egois lalu yang satu menindas yang lain, atau yang satu bersifat kikir terhadap yang lain.
Allah Swt berfirman: Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.[5]
Dengan demikian, kepentingan akan menjadi milik umum, maslahat akan terbagi rata dan kewajiban pun terpikul pada pundak setiap orang.
Persatuan dalam umat Islam bukan berarti bahwa satu kelompok menekan dan mengalahkan kelompok yang lain lalu diam. Juga tidaklah adil jika kelompok yang ditekan menuntut haknya lalu dijawab, “Kamu pengacau dan perusuh.” Sebaliknya, pihak yang menekan harus memperhatikan tuntutan pihak yang tertekan. Jika tuntutan itu memang sah dan benar maka harus dipenuhi, sedangkan jika tuntutan itu tidak proporsional maka yang menuntut harus diberi penjelasan dan bimbingan, atau bila perlu diajak dialog dengan baik seperti dialog antara seseorang dengan kawan karib atau saudaranya, yang pasti dilakukannya bukan dengan cemoohan, caca maki, hujatan dan stigma yang hanya akan menambah kebencian antara keduanya, yang kemudian keduanya sama-sama menjadi mangsa pihak asing.
Setiap Muslim, termasuk yang buta dan tuli sekalipun, sekarang tahu persis bahwa setiap bagian dari persada Islam kini menjadi santapan empuk kekuatan-kekuatan Barat, bahwa para imperialis predator selalu membuka liang mulutnya untuk melahap setiap negara Islam dan seluruh isi yang ada di dalamnya. Tidakkah semua ini cukup untuk mempersatuan umat Islam, mengobarkan martabat umat Islam dan menggelorakan semangat mereka?! Tidakkah semua penderitaan demi penderitaan yang mendera mereka itu cukup membangkitkan mereka untuk bersatu dan memadamkan bara kebencian dan kedengkian yang ada di antara mereka?! Seperti kata pepatah, “Dalam penderitaan bersama, kedengkian akan sirna.” Bagaimana mungkin seorang Muslim patut bersikap tamak, menistakan dan mengabaikan Muslim yang lain sedangkan keduanya adalah bersaudara sejak dahulu kala dan sejak leluhur mereka yang terdahulu?! Tidakkah petaka dan bencana yang ditimpakan pihak asing terhadap mereka sudah cukup untuk menggiring mereka kepada upaya menegakkan keadilan dan kejujuran di antara mereka sendiri, dan mendorong setiap bangsa Muslim untuk menjaga keseimbangan interes dan keadilan sosial?!
Sementara itu, kami sendiri sudah nyaris putus asa akan tercapainya hasil yang baik, komprehensif dan bermanfaat, mengingat semua statemen para tokoh reformis Islam ternyata tidak menghasilkan pengaruh dan aspresiasi. Orang yang mengamati keseluruhan pidato kami dengan segala metode dakwahnya untuk persatuan, kemudian ia melihat realitas umat Islam sekarang, maka yang akan terlihat olehnya justru umat kian semakin menjauh satu sama lain, dan seakan-akan kami menyerukan kepada mereka untuk bercerai berai dan menjadi buih. Kami seolah melempar api ke dalam sekam!
Contohnya adalah apa yang dinyatakan Nasyasyibi[6] dalam bukunya yang diberi judul al-Islam ash-Shahih (Islam Yang Benar) —yakni Islam yang benar menurut pendapat dia sendiri, mengingat terlalu banyak label palsu belaka. Buku itu berisi tikaman, cemoohan dan penghinaan terhadap Ahlul Bait Nabi Saw, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as. Buku itu mengingkari segala keutamaan mereka yang disebutkan dalam al-Quran dan hadis. Misalnya, mengenai ayat Tathhir:
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[7]
Dia beranggapan bahwa ayat ini dikhususkan hanya untuk para isteri Rasulullah Saw, terutama Aisyah, tanpa ada orang lain yang tercakup di dalamnya. Dia memastikan bahwa Fatimah az-Zahra yang merupakan belahan jiwa dan raga Nabi Muhammad Saw berada di luar cakupan ayat tersebut. Lihatlah betapa “elok, indah dan obyektifnya” pemahaman ini!??
Begitu pula berkenaan dengan ayat “Mubahallah”[8] dan ayat “Qurba”[9], apalagi berkenaan dengan hadis-hadis tentang keutamaan mereka. Di mata Nasyasyibi, semua hadis itu dusta dan palsu belaka, walaupun riwayat-riwayatnya di muat dalam kitab-kitab sahih Ahlussunnah. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang-orang sebelum dia seperti an-Nushuli[10] dan al-Hashshan[11].
(Maka pertanyaan yang kami ajukan adalah) Apakah dengan semua ini Anda berharap dapat memperbaiki keadaan umat Islam dan merasa prihatin atas perpecahan mereka?! Bukankah menjadi patut seandainya saya putus asas dan frustasi?! Apakah an-Nasysyibi dan kawan-kawannya yang mencemooh Syi’ah dan para imam Syi’ah tidak mengerti bahwa tindakan mereka itu dapat memancing reaksi serupa dari para penulis Syi’ah, termasuk dengan menyinggung soal kehormatan para khulafaur rasyidin serta menyudutkan mereka dan pihak Sunni sambil mengutip pepatah; “Sesungguhnya anak-anak pamanmu membawa panah”, sehingga aksi saling serang antara kedua pihak pun terus berlarut-larut tiada habisnya?![12]
Orang-orang yang berakal sehat di antara kedua pihak sudah seharusnya memikirkan bagaimana nasib umat Islam. Jika tetap berkutat dalam kubangan sedemikian dalam ini, apa manfaat dari semua tindakan itu?! Apa dosa Syi’ah selain loyalitas mereka kepada Ahlul Bait as?!
Betapapun demikian, manusia tetap tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah Swt dan anugerah-Nya yang sepintas tak terlihat kepada agama dan syariat-Nya. Semoga Allah Swt membimbing orang-orang yang memiliki semangat Islamiah di antara orang-orang yang berakal sehat dari kedua belah pihak, sehingga mereka dapat melumpuhkan tangan-tangan yang telah menyebarkan tulisan-tulisan jahat, baik dari pihak kami maupun dari pihak mereka, yakni tulisan-tulisan beracun yang mematikan bagi spirit Islam.
Secercah sisa harapan inilah yang mendorong kami mencetak ulang risalah ini untuk kedua kalinya serta menerbitkan pesan-pesan serupa demi menggugah kesadaran setiap Muslim, sesuai kapasitas masing-masing, untuk menunaikan kewajiban dan memenuhi kebutuhan genting ini, yakni kewajiban memulihkan rasa persaudaraan dan persatuan antarmazhab Islam. Dalam rangka ini, syarat pertama yang harus dipenuhi adalah menuntup rapat-rapat pintu perdebatan bernuansa mazhab. Kalaupun ada yang ingin menjelaskan mazhabnya maka ini harus dilakukan tanpa disertai cemoohan terhadap mazhab lain.
Syarat kedua, yang bahkan tak kalah pentingnya dengan syarat pertama, bahwa setiap Muslim harus menanamkan dalam dirinya rasa persaudaraan secara benar terhadap saudaranya sesama Muslim. Seorang Muslim harus bisa mencintai saudaranya itu sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Dia harus bisa membebaskan dirinya dari segala bentuk hasud dan dengki kepada saudaranya. Rasa persaudaraan tidak boleh hanya sebatas di lisan, dan kepentingan pribadipun jangan sampai diutamakan sebagaimana kondisi yang dominan sekarang.
Persatuan yang hakiki dan persaudaraan sejati yang diajarkan oleh Islam dan diterapkan pula oleh umat-umat yang maju dan terhormat adalah setiap pribadi harus meyakini sepenuhnya bahwa kepentingan kolektif identik dengan kepentingan individu dan bahkan berada di atas kepentingan individu. Sayangnya, sifat ini ringan di lidah namun berat diamalkan, jauh dari kemungkinan dan bahkan nyaris merupakan perkara yang mustahil di mata sebagai besar umat Islam, apalagi ketika setiap golongan cenderung memandang golongan lainnya sebagai musuh bebuyutan atau lawan yang sangat mengganggu. Kalaupun ada ungkapan basa-basi maka itu justru hanya untuk mempedaya dan menipu. Yang satu tidak mau menghubungi yang lain kecuali hanya untuk mempedaya, atau untuk menjilat dan berhipokrit demi tujuan-tujuan kotor, demi merebut hartanya, menistakan haknya, menguasai dan menindasnya. Semua ini berlaku di mata para ekstrimis masing-masing kelompok dan menjadi ajang nista mereka tanpa ada nasihat, seruan dan anjuran apapun yang dapat mencegah ulah mereka itu.
Semua lupa atau pura-pura lupa pada musuh mereka yang sesungguhnya, yang terus mengintai dan memburu kesempatan untuk menumpas mereka tanpa terkecuali, yang menebar benih-benih perpecahan agar mereka saling hantam, memasang jebakan untuk melumpuhkan seluruh muslimin. Umat Muslim tidak mungkin bisa lolos dari jebakan ini selagi mereka tidak menemukan jalan untuk bersatu secara konkret dan serius, bukan hanya sebatas kata dan retorika.
Jalan terbaik untuk menumbuhkan benih idealisme persatuan hakiki ini adalah menggelar konferensi setahun atau dua tahun sekali untuk mempertemukan para intelektual dan ulama Muslim dari berbagai penjuru dunia, supaya mereka bisa saling mengenal dan mendiskusikan urusan Islam. Lebih dari itu, harus pula diselenggarakan konferensi para pemimpin negara Islam supaya mereka bisa menjadi satu tangan, atau dua tangan untuk satu raga, yang dapat menangkis bahaya yang datang dari segala arah.
Perang Dunia sebenarnya sudah memberi mereka ibrah dan pelajaran yang nyata dan terasa, seandainya mereka memang mau memetik ibrah. Dalam peristiwa penguasaan pasukan Italia atas Ethiopia yang merupakan kerajaan tertua di dunia, di mana hanya dalam tempo beberapa bulan saja bangsa Ethiopia sudah kehilangan ketenteramannya, tidak lagi nyenyak tidur, selalu cemas dan waswas membayangkan masa depannya, atau bahkan mereka tahu persis suramnya keadaan di masa mendatang.
Sampai di sini, risalah ini sudah cukup sebagai satu bentuk seruan, peringatan dan penggugah umat. Dalam terbitan kali ini, penyempurnaan sudah kami lakukan atas beberapa kekurangan yang ada pada risalah ini, dan sudah pula kami kupas secara lebih luas dan proporsional poin-poin yang koheren, dengan harapan bahwa isinya tetap ringkas namun padat, serta dapat menyampaikan tujuan penting melalui jalan terdekat agar mudah dicerna oleh masyarakat secara umum. Di era di mana jarak terjauh pun dapat ditempuh hanya dalam beberapa jam saja, padahal dulu memerlukan waktu sekian hari atau bahkan bulan, agaknya tidak tepat lagi jika kami harus membahas secara panjang lebar dan bertele-tele, termasuk melalui risalah maupun buku.
Tentu saya juga tidak mengklaim bahwa saya sudah mengupas semua hal, sebagaimana saya tidak berniat berlepas tangan dari segala kekurangan. Bagi saya, cukuplah kiranya iktikad baik dan upaya saya untuk menunaikan kewajiban sejauh kemampuan yang saya miliki, termasuk dalam hal kreasi tema dan metode.
Bagi mereka yang berkompeten di masa sekarang ini, silakan melakukan pengembangan jika mereka memang berkenan. Kami sudah membukakan pintu bagi mereka, dan sudah pula kami sediakan bagi mereka jalan yang mulus tanpa cacat, jalan yang lebih relevan dengan tuntutan zaman dan wacana kekinian, lebih kohesif dengan hakikat dan tarikat yang nyata, tanpa mengusik mazhab dan menciderai kehormatan, serta dibarengi dengan isyarat ringan terhadap beberapa dalil, argumentasi dan referensi. Dan tidak ada taufik bagi saya melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Swt saya bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah kita semua kembali.
Jamaah Pendekatan Antarmazhab Islam[13]
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Telah sampai ke tangan saya jurnal bernas “Risalah Islam” No.1 Tahun ke-2 yang diterbitkan oleh Darut Taqrib Bainal Madzahib al-Islamiyyah, Kairo. Saya telah membaca sebagian besar artikel para alim ulama yang termuat di dalamnya sejauh kesempatan dan waktu luang yang saya miliki. Saya mendapatkannya sangat bermanfaat dan menyenangkan. Namun, dari beberapa artikel yang termuat dalam edisi terakhir tersebut maupun sebagian edisi sebelumnya saya melihat ada sekelompok kalangan senior gagal mencerna apa yang menjadi tujuan para anggota jamaah ini. Mereka terasing dari jalan yang benar sehingga menganggap apa yang menjadi cita-cita bersama itu sebagai sesuatu yang mustahil.
Memang, itu akan mustahil —setidaknya secara konvensional kalaupun tidak secara rasional— jika tujuan yang dimaksud adalah menghilangkan perbedaan pendapat antarmazhab Islam dan meleburnya menjadi satu mazhab saja, entah Ahlussunnah, Syi’ah atau Wahhabi! Betapa tidak, sedangkan perbedaan pendapat dalam sebagian hal adalah watak yang sudah tertanam pada manusia?! Dan bisa jadi inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Swt:
Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.”[14]
Yakni, untuk rahmat dan perbedaan pendapat, atau dalam kondisi berselisih pendapat itulah mereka diciptakan.[15]
Namun, harus diakui bahwa pendekatan (taqrib) antarmazhab Islam ditujukan jelas bukan untuk meniadakan realitas perselisihan pendapat antarmazhab. Sebaliknya, tujuan finalnya hanyalah mencegah perbedaan itu menjadi biang permusuhan dan kebencian serta mengubah keterasingan dan pergumulan menjadi kedekatan dan persaudaraan. Sejauh apapun perselisihan umat Islam dalam berbagai bidang ushul maupun furu’, mereka tetap sepakat pada kesahihan hadis Nabi Muhammad Saw bahwa orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadikan Islam sebagai agamanya adalah orang yang haram darah dan harta bendanya, bahwa sesama Muslim adalah bersaudara, dan bahwa orang yang salatnya menghadap kiblat kita, memakan sembelihan kita dan tidak memeluk agama selain agama kita adalah bagian dari kita. Dan karena itu pula, segala yang menguntungkan dia adalah menguntungkan kita dan segala yang merugikan dia adalah merugikan kita.
Masyarakat yang bersatu (jam’iyyah taqrib) boleh dikata berpegang pada prinsip: umat Islam sepakat bahwa al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah Swt; wajib diamalkan; mengingkari kewahyuannya adalah kafir; dan kitab suci inipun memerintahkan persatuan dan persaudaraan serta melarang perpecahan dan permusuhan; sebagaimana disebutkan dalam berbagai firman Ilahi, antara lain sebagai berikut:
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.[16]
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.[17]
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.[18]
Dengan demikian, setelah seluruh umat Islam sepakat bahwa nash-nash wajib diterapkan, lantas dengan alasan apa lagi mereka masih saling berjauhan, saling membenci dan bermusuhan?! Cukuplah al-Quran sebagai pemersatu mereka, betapapun jauhnya perselisihan pendapat antarmereka dalam hal-hal lain selain al-Quran. Ikatan al-Quran mempertemukan mereka dalam banyak bidang ushul maupun furu’. Tauhid, nubuwah, kiblat dan pilar-pilar lainnya juga dapat mempererat hubungan mereka dalam tingkat yang maksimal. Sedangkan beberapa perbedaan pendapat yang terjadi dalam istimbat dan memahami al-Quran maka ini tak lain adalah perbedaan berkenaan dengan ijtihad yang tidak seharusnya menimbulkan kebencian dan permusuhan.
Perbedaan substansial terbesar atau bahkan mungkin perbedaan satu-satunya antara Sunnah dan Syi’ah adalah masalah imamah. Syi’ah berpendapat bahwa imamah (kepemimpinan sesudah Rasulullah saw) adalah bagian dari ushuluddin dan sejajar dengan tauhid dan kenabian (nubuwwah), ketentuannya bergantung pada nash dari Allah Swt dan rasul-Nya, bukan suara umat sebagaimana umat tidak memiliki hak suara dalam kenabian. Sedangkan saudara kami, Ahlussunnah sepakat bahwa imamah bukan bagian dari ushuluddin, namun berbeda pendapat apakah seorang imam harus ditunjuk secara konsensus (ijma’) dan lain sebagainya ataukah imamah semata-mata urusan politik dan sama sekali bukan merupakan bagian dari agama, baik dari segi ushul maupun furu’.
Perbedaan pendapat antara Sunnah dan Syi’ah sedemikian jauh. Namun demikian, apakah Anda pernah menemukan seorang Syi’i mengatakan bahwa yang tidak meyakini imamah bukan tergolong Muslim?! Sama sekali tidak ada. Apakah Anda pernah melihat seorang Sunni mengatakan bahwa orang yang meyakini imamah berarti keluar dari Islam?! Juga tidak ada sama sekali. Dengan demikian, meyakini imamah atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan soal masyarakat Muslim dan hukum-hukumnya, termasuk bahwa darah dan harta bendanya haram. Semestinya, mereka wajib menganggap satu sama lain sebagai saudara yang harus dijaga kehormatannya, tidak boleh digunjing dan lain sebagainya.
Secara lebih terbuka, jujur dan tanpa tedeng aling-aling lagi, kami ingin membahas bahwa mungkin saja ada yang mengatakan permusuhan antara keduanya terjadi karena Syi’ah membolehkan tindakan menciderai kehormatan atau bahkan mencela para khalifah sehingga pihak lain tersinggung dan terprovokasi lalu terjadilah permusuhan.
Jawabannya adalah, jika sudi berenung sejenak dan kembali kepada hukum akal dan syariat, maka kita juga tidak akan menganggapnya sebagai pemicu permusuhan.
Pertama, pembolehan itu bukan merupakan pendapat semua orang Syi’ah, melainkan pendapat sebagian di antara mereka saja dan bersifat pribadi. Mayoritas Syi’ah bisa jadi tidak berpendapat demikian, sebab riwayat dari imam suci Syi’ah melarang tindakan demikian.[19] Dengan demikian, memusuhi Syi’ah secara keseluruhan hanya karena ulah sebagian ekstrimisnya tidak bisa dibenarkan.
Kedua, tindakan itu sendiri tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir dan keluar dari Islam. Sebaliknya, paling banter itu adalah perbuatan maksiat, sedangkan maksiat sendiri banyak dilakukan oleh sebagian besar orang Syi’ah maupun Sunnah dan tidak menyebabkan keharusan memutus hubungan ukhuwah Islamiah dengan pelakunya.
Ketiga, tindakan itu juga belum tentu maksiat atau menyebabkan seseorang menjadi fasik jika itu dia lakukan berdasar ijtihad dan keyakinan, walaupun salah. Semua kalangan mengakui bahwa dalam ijtihad jika salah mendapat satu pahala sedangkan jika benar mendapat dua pahala. Para ulama Ahlussunah sendiri membenarkan peperangan yang terjadi antarsahabat di awal sejarah Islam seperti Perang Jamal, Perang Siffin dan lain-lain. Menurut mereka, Zubair, Talhah dan Muawiyah telah melakukan ijtihad, yang meskipun salah tetapi tidak mengusik keadilan dan keagungan para sahabat. Jika ijtihad membenarkan pembunuhan dan pertumpahan darah ribuan umat Islam maka apalagi dengan ijtihad yang dilakukan kelompok ekstrimis dalam bentuk tindakan menciderai kehormatan para sahabat tersebut.
Tujuan kami memaparkan masalah ini ialah, bahwa selagi kita mendalami persoalan dengan dalil akal atau syariat serta bebas dari hawa nafsu dan fanatisme, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menjadikan tindakan itu sebagai pemicu permusuhan dan pertikaian antarumat Islam, walaupun perbedaan pendapat antarmereka terlalu tajam dalam banyak persoalan. Pemusuhan tetap tak dapat dibenarkan andaikata itu pun tidak menyebabkan dampak yang fatal, apalagi permusuhan yang sampai menyebabkan dampak fatal dan bencana bagi umat Islam, seperti hilangnya teritori Islam semisal Andalusia, Kaukasus, Bukhara (Uzbekistan) dan lain-lain.
Seandainya umat Islam tetap solid dan bersatu seperti sediakala sebagaimana diperintahkan Allah Swt maka tidak mungkin ada sejengkalpun tanah Islam yang lepas dari agama ini. Kalaupun sejarah masa lalu belum juga memberi kita pelajaran, setidaknya sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita tentang realitas yang kita saksikan sendiri berupa bencana yang menimpa umat Islam di Palestina yang notabene “Firdaus” kedua. Betapa tidak, tujuh negara Islam—demikian orang menyebutnya—dikalahkan oleh sekelompok kecil kaum yang paling hina dari segi citra dan paling kecil dari segi jumlah. Kaum itu kemudian mencerai-beraikan tujuh negara itu, mengusir lebih dari 70 ribu warga Muslim Arab Palestina, merampas tanah dan harta benda mereka, menelantarkan mereka di tanah-tanah terpencil, membunuh mereka dengan cuaca dingin, kelaparan dan penyakit. Sedangkan umat Islam lainnya tetap berjalan lenggang dan tak sudi membantu dan menolong mereka kecuali dengan kata-kata kosong dan keluhan palsu.
Demi Allah, seandainya negara-negara itu membiarkan bangsa Arab Palestina berperang sendiri melawan kaum Yahudi, sungguh tidak mungkin kaum Yahudi dapat merampas satupun desa atau sepetak tanah Palestina!
Tak cukup dengan menelantarkan bangsa Palestina dan membuatnya takluk dan menyerah kepada Yahudi, umat Islam bahkan ikut membantu kaum Yahudi, dan ini terjadi sampai sekarang. Umat Islam membantu kaum Yahudi sedapat mungkin dengan cara menggalang aksi pelarian dari perang dan berbagai cara lain. Mereka melakukan sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh kaum Yahudi sendiri.
Semua ini terjadi tak lain akibat tindakan saling abai dan acuh antarumat Islam. Tidak ada perekat yang merekatkan mereka, tidak ada tali yang menghubungkan mereka dan membuat mereka bersimpati satu sama lain. Karena itu mereka patut mendapat azab, dan sesungguhnya orang-orang yang tuli tidaklah mendengar panggilan ketika mereka berpaling ke belakang.
Kita kembali ke pokok persoalan, yakni bahwa misi “jami’yyah taqrib” adalah mendekatkan hati sesama umat Islam, mengatasi permusuhan antarmereka, menyerukan kepada mereka agar taat kepada perintah Allah Swt dengan berpegang teguh pada tali buhul Islam dan tidak bercerai berai lalu hilanglah kekuatan mereka, dan kemudian dikuasai oleh makhluk-makluk hina. Komunitas taqrib ini bukanlah pihak yang pertama kali bangkit menyerukan idealisme ini. Seruan yang sama sudah pernah dikumandangkan oleh para aktivis berjiwa tulus dan ber-ghirah Islamiah seperti Jamaluddin al-Afghani dan para muridnya, Syekh Muhammad Abduh, al-Kawakibi[20] dan lain-lain. Hanya saja, mereka menjalankan misinya secara personal, sedangkan para aktivis Jam’iyyah Taqrib menjalankan misinya secara kolektif. Mudah-mudahan Allah Swt mencurahkan taufik-Nya kepada mereka dan menyukseskan misi mereka dengan hasil yang bernas dan terasa, jika niat mereka memang tulus.
Sedangkan saya sendiri yang lemah ini juga sudah sejak dulu mengumandangkan seruan ini kepada umat Islam, sebagaimana dapat Anda lihat dari karya-karya tulis saya yang terbit sekitar 40 tahun silam, termasuk buku Ad-Din wal Islam dan al-Muraja’at. Kami juga mengisi berbagai koran dan majalah dengan seruan untuk menggugah umat Islam dari tidurnya dan membangkitkannya dari kematian. Kami juga menyeru mereka melalui pidato di mimbar-mimbar berbagai ibu kota Islam yang sebagian di antaranya sudah dicetak dan dipublikasikan, termasuk “Khutbah Fenomenal Palestina” yang sudah diterbitkan dua kali, “Khutbah Persatuan dan Ekonomi” di Masjid Jami’ Kufah, “Khutbah Empat” dan banyak lagi. Naifnya, umat Islam seakan sudah ditutup hatinya, dipadamkan hati nuraninya, dan dibiarkan oleh Allah Swt hingga mereka seolah berada dalam kegelapan, dan mereka tidak dapat melihat apa-apa lagi!
Jam’iyyah Taqrib ingin mendekatkan kelompok-kelompok Islam satu sama lain dan menggerakkan mereka kepada ukhuwwah dan persatuan sebagaimana diperintahkan Allah Swt dalam kitab suci-Nya. Namun, untuk mencapai tujuan mulia ini semua pihak harus melakukan persiapan dengan menasihati para penulis untuk tidak menyerang saudara-saudara mereka dari kalangan Imamiah. Hampir setiap tahun kami mendengar atau mendapati buku atau artikel yang mencemooh dan menyerang Syi’ah, lalu pihak Syi’ahpun membela diri. Ini praktis memupuk sentimen kebencian satu sama lain yang pada gilirannya akan sangat membantu pihak musuh dan imperialis. Setiap kelompok Islam, baik Syi’ah maupun yang lain, harus menutup pintu perdebatan mazhab dan segala tindakan yang dapat membangkitkan fanatisme. Kalaupun perdebatan itu sendiri tidak haram dan merugikan diri, namun itu menjadi haram jika dikaitkan dengan kondisi di mana kita sedang dikepung musuh-musuh Islam dari semua penjuru, termasuk musuh dalam selimut yang mengaku sebagai Muslim, tetapi bahayanya lebih besar daripada musuh eksternal.
Tidak cukupkah pesan ini, wahai umat Islam?!: Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik[21].[22][]
[1] Syekh yang banyak menulis artikel dan buku berisi “persatuan Islam” ini adalah juga seorang marja’ taklid di zamannya. Pergaulannya yang luas dan supel membuatnya menjadi salah satu ulama yang masyhur. Ia tinggal di Najaf, Irak, hingga akhir hayatnya. Ia adalah wakil dari Najaf-Irak, yang bermazhab Syi’ah Imamiah Itsnaasyariah (Ja’fari), pada Konferensi Islam internasional di Baitul Maqdis, 1931 M. Konferensi ini menghimpun sejumlah besar ulama dari berbagai aliran dan mazhab, yaitu Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali, Wahabi, Ibadhi, Ismaili, Zaidi dan Ja’fari (Imamiah). Syekh Kasyiful Ghita’ diminta mengimami salat jamaah dan iapun mendirikannya dengan cara Ja’fariah, sementara jumlah peserta konferensi saat itu mencapai 150 orang, dan di belakang mereka terdapat sekitar 20 ribu penduduk Palestina.
[2] Ditulis pada Pertengahan Rabi’ul Awal,1355 H.
[3] QS. Ali Imran [3]:103.
[4] QS. al-Ahzab [33]:62.
[5] QS. al-Hasyr [59]:9; QS. al-Taghabun [64]:16.
[6] Abul Fadhl Muhammad Is’af bin Ustman bin Sulaiman an-Nasyasyibi, seorang sasterawan kelahiran Baitul Maqdis (sekitar 1882 H). Ia tumbuh besar di kota itu, namun, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah al-Bathriqiyyah, Beirut. Para gurunya di bidang sastera antara lain Abdullah al-Bastani, Muhyiddin al-Khayyath dan Mostafa al-Ghalayini. Ia bekerja sebagai penguji umum Bahasa Arab di Kantor Pengetahuan Palestina, dan dipilih sebagai anggota Dewan Ilmu Arab di Damaskus. Ia meninggal dunia di Kairo pada 1948 M. Karya tulisnya antara lain al-Islam as-Sahih, Kalimatun fil Lughah al-Arabiyyah, al-Bathalul Khalid Salahuddin, dan Asy-Syaa’ir al-Khalid Ahmad Syauqi. (Mu’jamul Mu’allifin, 9, 45-46).
[7] QS. al-Ahzab [33]:33.
[8] Yaitu firman Allah dalam surat Ali Imran (3: 61): “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
[9] Yaitu firman Allah dalam surat asy-Syura [42]:23: “Katakanlah: ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan pada keluarga (Nabi) terdekat .”
[10] Anis bin Zakariya an-Nushuli, sejawaran dan sasterawan lulusan American University, Beirut, Libanon. Ia pindah ke Irak untuk melanjutkan pendidikan, kemudian pulang lagi ke Beirut dan menjadi salah satu pemilik surat kabar “Beirut” serta direktur umum departemen pendidikan Jami’yyah al-Maqashid al-Khairiyyah. Karya tulisnya antara lain “Asbabun Nahdzah al-‘Arabiyyah fil Qarnit Tasi’ ‘Asyar, ad-Daulah al-Umawiyyah fi asy-Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Isytu wa Syahadtu, dan al-Imam al-‘Awaza’i. Ia meninggal dunia pada 1958 M. (Mu’jamul Mu’allifin 13:374)
[11] Biografinya telah disebutkan dalam Bab IV, silakan ditinjau.
[12] Pepatah ini berasal dari syair gubahan Hajal bin Nadzlah al-Qaisi yang berkisah tentang seseorang yang bersengketa dengan anak-anak pamannya. Orang itu yakin bahwa mereka sedang membawa panah untuk membunuhnya sehingga iapun membawa panah. Namun, ia sengaja membiarkan busur dan panahnya tidak dalam keadaan siap bidik dan malah dibiarkan tergeletak begitu saja di pangkuannya demi menunjukkan keberaniannya dengan menganggap mereka seolah tidak membawa senjata. Hanya saja, di mata orang lain ia terlihat seolah tidak meyakini bahwa lawannya sedang membawa senjata. Karena itu ia lantas ditegur dengan kata-kata, “Sesungguhnya anak-anak pamanmu membawa anak panah!” Secara lengkap syair itu mengatakan;
Seseorang datang menggeletakkan panahnya di pangkuan,
(lalu ditegur:) “Sesungguhnya anak-anak pamanmu membawa panah!”
Syair ini dikutip oleh Syekh Kasyiful Ghitha’ supaya orang bisa maklum jika pihak Syi’ah membela diri dan balik menyerang, sebab pihak Syi’ah dalam posisi diserang oleh pihak lain. (penerj.)
[13] Ustad Zaki al-Milad dalam bukunya, Khitabul Wahdah al-Islamiyyah (Seruan Persatuan Islam), telah menyarikan artikel tersebut sebagai metode Syekh Kasyiful Ghitha’ dalam 10 poin. Bagi yang berminat silakan membaca buku tersebut (Khitabul Wahdah al-Islamiyyah, hal.167-172).
[14] QS. Hud [11]:118-119.
[15] Silakan membaca pembahasan tentang ini dalam kitab-kitab al-Kasyfu wal Bayan, 5/ 194-195; Majma’ al-Bayan, 5/350-351; Tafsir Fakhrurazi, 18/80-81. Tentang ini ada pula pendapat ketiga —sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Fakhrurazi—bahwa Allah Swt menciptakan kalangan yang suka berkasih sayang (ahlur rahmah) untuk berkasih sayang, dan kalangan yang suka berikhtilaf (ahlul ikhtilaf) untuk berikhtilaf.
[16] QS. al-Hujurat [49]:10.
[17] QS. Ali Imran [3]:103.
[18] QS. al-An’am [6]:159.
[19] Sekadar contoh, lihat kitab Nahj al-Balaghah, khutbah ke-206.
[20] Abdurrahman bin Ahmad bin Mas’ud al-Kawakibi adalah seorang mujadid dan reformis Islam yang lahir dan terdidik di kota Halab, Suriah. Di kota ini ia menerbitkan majalah asy-Syahba’ yang kemudian diberangus oleh penguasa. Ia juga menerbitkan majalah al-I’tidal yang juga bernasib serupa. Ia mengemban banyak jabatan namun dimusuhi oleh kalangan kontra-reformasi sehingga ia dipenjara dan semua harta bendanya melayang. Ia lantas pindah ke Mesir dan sempat berkunjung ke beberapa negara. Ia menetap di Kairo hingga wafat pada 1320 H. Karya tulisnya antara lain adalah Taba’i’ul Istibdad dan Ummul Qura. (Al-A’lam liz Zarkali, 3/298; Mu’jamul Mu’allifin, 5/115).
[21] QS. Yusuf [12]:108.
[22] Haula al-Wahdah al-Islamiyyah, 101-105.