ICC Jakarta – Menurut kaedah filsafat telah disepakati bahwa hukum sebab-akibat merupakan hukum umum dan tidak dapat diubah. Oleh itu sering timbul pertanyaan di benak manusia, bagaimana pengaruh-pengaruh doa yang dipanjatkan manusia bisa diterima?
Penerimaan atas hukum kausalitas tidaklah selalu sama dengan penerimaan terhadap kaidah sebab-sebab khusus dalam setiap kasus sehingga kemudian membatasi sebab-sebab hanya pada sebab yang diketahui.
Dalam filsafat, terdapat prinsip kausalitas yang pasti dan tidak dapat dibantah, yang dalil-dalilnya adalah sebagai berikut.
Sebagian makhluk di dunia membutuhkan keberadaan makhluk atau wujud lainnya. Contohnya adalah kehendak yang merupakan akibat dan bergantung kepada seseorang yang memiliki kehendak itu. Aturan filosofis dari pembahasan ini menyatakan bahwa suatu wujud yang miskin atau akibat yang tidak pasti memerlukan wujud lain yang bisa memenuhi kebutuhannya itu.
Karena aturan ini tidak perlu dibuktikan dan tidak dapat diragukan, maka para ilmuwan di segala bidang ilmu pengetahuan mencari sebab dari setiap fenomena yang ditemuinya. Upaya para ilmuwan dalam menemukan sebab-sebab fenomena tersebut di sepanjang sejarah telah dikukuhkan dalam prinsip bahwa sebuah akibat mustahil ada tanpa suatu sebab. Namun pengetahuan tentang sebab-sebab spesifik dari suatu fenomena tidak dapat dicapai melalui hukum kausalitas. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, pengetahuan tentang sebab-sebab spesifik merupakan urusan pengalaman dan ilmu pengetahuan, sedangkan hukum kausalitas merupakan sebuah hukum rasional yang tidak bergantung pada pengalaman.
Eksperimen dan pengalaman (ilmu pengetahuan) tidak dapat memberi petunjuk kepada manusia tentang sebab khusus yang terakhir dari sesuatu. Pengalaman hanya dapat membuktikan apa yang berada dalam domain persepsi manusia dan tidak layak mengingkari apa-apa yang berada di luarnya. Ilmu pengetahuan menyatakan bahwa sejauh pengalaman menunjukkan, setiap orang berasal dari ayah dan ibunya. Namun ilmu pengetahuan tidak bisa menolak pernyataan bahwa bisa saja seseorang lahir ke dunia tanpa harus melalui keberadaan dua orang tuanya.
Prinsipnya, pengalaman tidak pernah dapat membuktikan apa yang mustahil (secara empiris). Kemustahilan bukan merupakan konsep empiris. Sebaliknya, kemustahilan merupakan konsep filosofis yang hanya dapat dibuktikan melalui penalaran. Apa yang dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak adanya kejadian, sedangkan kemustahilan berada di luar lingkup pengalaman. Bagaimanapun majunya sebuah bidang ilmu pengetahuan, ia tidak dapat menyangkal akibat atau pengaruh doa dan lain sebagainya.
Dengan uraian di atas, penjelasan-penjelasan tema berikut menjadi terang: diterimanya pengaruh dan akibat doa tidak berarti penyangkalan terhadap hukum kausalitas; meyakini pengaruh doa bukanlah pengakuan atas adanya pengecualian pada hukum kausalitas, karena hal-hal tersebut secara eksistensial disebabkan oleh Allah Swt. Maksudnya, diterimanya perkara-perkara ini adalah sama dengan menerima Allah sebagai Sebab. Sementara, jika sebuah akibat muncul tanpa sebab alamiah yang diketahui, tidak berarti kemuadian bermakna pelanggaran terhadap hukum kausalitas.
Mengingat poin-poin di atas, adalah keliru mengklaim bahwa untuk eksisnya sebuah akibat, kita membatasi sebab alamiahnya hanya pada apa yang kita ketahui (dan memustahilkan sesuatu/sebab lainnya). Sebab, dalam sejumlah kasus, bisa jadi tidak kita ketahui sebab-sebabnya.
Di samping juga bahwa dalam hukum kausalitas adanya kehadiran-kehadiran sebab supra natural tidak dapat disangkal. Tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang dapat menyangkal munculnya sesuatu yang alamiah sebagai akibat dari sesuatu yang adialami.
Adanya pengaruh doa juga bukan berarti penolakan terhadap sebab munculnya fenomena, tetapi justru membuktikan adanya sebuah sebab yang masih belum diketahui. Dengan demikian pengaruh dan manfaat doa tidak bertentangan dengan hukum kausalitas. []
Sumber bacaan: Syarah doa Abu Hamzah Tsumali and doa Makarimul Akhlak karya Ayatullah Mishbah Yazdi