Oleh: Dr Muhsin Labib
“Agama adalah akal. Tak menggunakan akal, tak beragama.” (Imam Sadiq)
ICC Jakarta – Orang yang menjadikan akal sebagai juri utama dengan logika sebagai aturannya tidak terbelenggu oleh dogma irasiional dan fanatisme sektarian.
Akal adalah dasar memilih keyakinan tentang eksistensi Tuhan dan keesaanNya, keyakinan tentang agama dan kehidupan kedua.
Yang bisa memerdekakan manusia adalah ketundukan pada akal.
Akal mengarahkan manusia mengutamakan “ada” atas “apa”.
Akal mengarahkan manusia mendahulukan “apa” atas “siapa”.
Ada dua akal, 1. Akal potensial. 2. Akal aktual. Setiap manusia mempunyai akal potensial. Sebagian manusia mempunyai akal aktual (pemikir).
Sebagian besar orang berpikir. Sebagian kecil orang berpikir sistematis (logis).
Orang yang berpikir logis sadar priotitas dalam menyusun pikiran berdasarkan validitas, urgensi dan pengaruhnya.
dalam diri orang yang berpikir logis, pikiran-pikiran tersusun secara hierarkis bak piramida terbalik,yang diawali dengan satu pikiran fundamental sebagai BIOS.
Pikiran utama yang berfungsi sebagai BIOS sdh tercangkok dalam diri setiap manusia. Ia bahkan menjadi alasan disebut manusia.
Pikiran perdana dalam diri manusia pasti valid dan tidk memerlukan dalil krn ia yang memproduksi dalil dab muara jawaban atas semua “mengapa”.
Pikiran perdana bukan hasil korespondensi dengan objek di luar diri,tapi disadari stlh korespondensi saat awal manusia membuka mata dan indranya.
Pikiran perdana lebih tepat disebut kesadaran atau “pengetahuan yang hadir”, karena ia justru memproduksi pikiran yang lazim disebut konsep.
Para teolog Muslim menyebutnya fitrah. Para flsuf Muslim dan metafiskawan menyebutnya intuisi. yang pasti ia adalah pengetahuan supra konsep.
Yang pertama kali disadari (meski tidak dipahaminya atau terpikir) oleh manusia adalah “ada”.
Yang kedua disadarinya (meski tidak diketahui atau bahkan mungkin dibantahnya) adalah “aku” sebagai sesuatu yang berada dalam “ada”.
Pedoman hidup.adalah agama. Sumber agama adalah Quran & Sunnah. Dasar pemahaman Quran & Sunnah adalah akal. Induk akal adalah intuisi (fitrah).
Agama tanpa akal adalah dominasi & kesewenang-wenangan berbungkus kepatuhan. Akal tanpa agama adalah arogansi & keliaran berbungkus kemerdekaan.
Islam sebagai nama agama adalah ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Islam sebagai ajaran keberserahan ada sblm Nabi Muhammad diutus.
Tanpa agama, logika menjadi liar. Tanpa logika, agama tampak kaku. Logika dan agama adalah dua sayap bagi relijius moderat.
Logika memperjelas hukum-hukum horisontal yang megimmanenkan Tuhan. Agama menjelaskan hukum-hukum vertikal yang mentransendenkan manusia.
Logka adalah “agama immanen”. Agama adalah “logika transenden.”
Banyak orang mengira logika hanya logika empiris, hingga sebagian orang saintis jadi jumud dalam beragama. Padahal ia lebih luas dari science.
Teologi dan aksiologi, tidak empiris, tapi logis krn logika menegaskan kausalitas yang pada diri hukumnya tidak empiris meski produknya empiris.
Ateisme dan anti agama adalah ekses dari peliburan logika dalam agama atau ekses dari reduksi logika hanya pada realitas sensual saintifik.
Mukjizat Nabi-Nabi termasuk Isra’ Mi’raj mungkin tidak saintifik (krn.tidak induktif), tapi bila dilihat secara kausal dan deduktif, logis.
Saintisme yang menganggap agama tidak logis melahirkan anti agama. Skriptualisme yang menganggap agama tidak logis melahirkan anti logika. Mutual.
Sekilas pernyataan orang-orang yang mengaku anti agama itu cukup cerdas dan “wah”, tapi bagi sebagian yang sdh akrab dengan aufkarung dan ateisme,itu biasa
Dengan paradigma agama yang logis, semua doktrin-doktrin mayor agama hrs lolos inferensi dan sillogisme. Bila tidak lolos, bisa dianggap bukan bagiannya.
Karena agama diturunkan untuk makhluk logis, ajarannya pasti logis. Kalau dirasa tidak logis, perlu dinalarkan lagi dan didiskuaikan.
Karena agama diturunkan untuk makhluk logis, ajarannya pasti logis. Kalau dirasa tidak logis, perlu dinalarkan lagi dan didiskusikan.
Agama logis melejitkan kesadaran, kreativitas dan kemandirian sikap. Karena itu, penguasa-penguasa tiran membencinya dan menyebarkan skriptualisme.
Agama adalah peradaban yang paling lestari. Menghina agama, hanya karena menemukan beberapa doktrin tak logis, berarti menghina peradaban.
Agama minus logika menciptakan relijius ekstremis dan bisa pula mencetak relijius naif, sesuai kepentingan penguasa despotik.
Menolak logika dengan alasan menjadikan kitab suci sebagai pedoman berarti menganggap karunia akal sebagai sia-sia. Anggapan ini tak sesuai dengan kitab suci. [ZB]