Dalam surat Fathir, disebutkan bahwa setan adalah musuh yang nyata. Maka, sudah semestinya juga kita menempatkannya sebagai musuh kita. Karena setan hanya memanggil sesamanya.
Allah memerintahkan agar kita menegaskan posisi dan identitas kita, yakni sebagai mukmin. Ketika setan memakai pakaian kesombongan, maka mukmin, hendaklah memakai pakaian tawaddu’. Ketika setan memakai jubah keserakahan, maka mukmin harus memakai jubah syukurnya. Dan ketika setan menebarkan fitnah, tuduhan, dan keburukan di antara sesama; maka mukmin harus menebarkan kebaikan, kebenaran, dan kejujuran. Yang intinya bahwa para mukminin harus menunjukkan identitasnya sebagaimana mestinya.
Sayangnya, kaum muslimin mulai terjebak untuk tidak mengindahkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupannya sehari-hari di keluarga, masyarakat, bahkan bernegara.
Amirul Mukminin berkata: saya tidak melihat bahwa banyak orang yang mengejarnya. Saya juga tidak melihat banyak oranng yang melarikan diri dari neraka. Artinya, hanya sedikit sekali orang yang mengejar keridhaan Ilahi, dan tidak menanggalkan kemaksiatan, keburukan, dan hal-hal yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam.
Pengaruh setan, tentu bukan hanya yang berasal dari golongan jin, melainkan juga dari golongan manusia. Kita melihat manusia, saat-saat ini, dipengaruhi oleh lagu-lagu, film-film, dan kebudayaan yang merusak. Setan mempengaruhi manusia dengan cara yang terang-terangan dan juga dengan cara yang halus. Dengan pemaksaan secara kasar, yakni ketika manusia dalam keadaan lemah. Namun, jika manusia memiliki kekuatan yang besar, maka setan (musuh) menggunakan cara yang halus, yang kemudian kita kenal dengan perang lunak.
Imam Ali Khamenei mengingatkan kita bahwa hendaknya kita menyadari peperangan yang sangat nyata, meski kita kadang tidak merasakannya. Melalui dunia pendidikan, misalnya, yang menargetkan anak-anak, perempuan, kaum lelaki, dan bahkan para orang tua. Mereka merusak kebudayaan kita; cara kita berkeluarga; bagaimana kita memperlakukan suami/istri, anak, sahabat, bahkan orang tua; semua menjadi target setan untuk merusak kita.
Karbala bukan hanya definisi kesetiaan dan perjuangan, melainkan ia adalah demonstrasi dan wujud aksi dari kesetiaan. Tragediyang justru menjadikan orang tercengang ketika menyaksikannya, ia justru menyadarkan orang-orang yang lalai. Musuh-musuh Islam takut dengan madrasah karbala Husaini. Bukan karena ini hanyalah narasi, melainkan madrasah ini mengajarkan bagaimana menjadi mukmin yang setia, pemberani, dan memiliki nilai-nilai luhur Muhammadi.
Sehingga, musuh melakukan berbagai upaya. Mulai dari menyederhanakan kebesaran dan keagungan karbala, misalnya dengan mengatakan bahwa karbala hanyalah peperangan biasa. Dianggap wajar, bahwa ada yang terbunuh dan ada yang membunuh. Mereka lupa bahwa dalam Islam, peperangan tidak sesederhana itu. Tempat dan waktu, harus ditentukan, pasukan dan persenjataan juga harus disiapkan. Tetapi yang Imam Husain lakukan bukan itu semua. Kedua, Imam Husain menyertakan anak, istri, bahkan bayinya dalam perjalanannya tersebut. Sehingga mustahil, jika itu adalah peperangan yang direncanakan. Melainkan yang terjadi saat itu, adalah pembantaian sehingga hukum dan peraturan perang tidak berlaku untuk peristiwa itu.
Imam Husain mengatakan, “Yang sepertiku, tidak akan berbaiat kepada yang seperti dia”. Imam tidak mengatakan “saya”, tetapi “yang seperti saya”. Artinya, peperangan husaini, bukan hanya fenomena saat itu saja.
Di segala lini, kita harus pastikan bahwa “Husain” yang melawan “Yazid” di kehidupan kita. Nilai-nilai ini hanya dapat terwujud dari madrasah karbala. Maka, ketika hadir dalam majlis Muharram, ajaklah keluarga dan anak-anak kita. Kita dorong dan ajak keluarga dan anak-anak kita untuk dapat merasakan semangat dari Aba Abdillah al Husain, maka semoga kita dan generasi muda kita dapat menjadi pembela dan menjadi sebab dipercepatnya kemenangan Imam Mahdi afs. Karena jalan menuju surga, adalah jalan yang terjal, maka untuk mencapainya, perlu keberanian dan ketegaran tekad husaini.