ICC Jakarta – Bagi sebagian orang, materi sejarah dirasakan sebagai sesuatu yang membosankan. Apalagi jika tidak pernah dilakukan penelitian-penelitian baru serta penemuan-penemuan baru. Sejarah akhirnya hanya soal romantisme tak berdampak. Namun, asumsi-asumsi tersebut muncul karena guru di sekolah atau dosen di perguruan tinggi kurang memberikan pendekatan berbeda dalam menginternalisasi nilai-nilai sejarah kepada anak didik.
Persoalan sejarah adalah bagaimana manusia belajar terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu agar kehidupan di masa mendatang menjadi lebih baik. Sejarah juga mengajarkan kepada manusia untuk tidak melupakan subjek maupun objek sejarah yang turut mempengaruhi atau mewarnai kehidupan manusia di masa lalu, entah itu tindakan baik maupun buruk. Prinsip-prinsip tersebut yang menjadikan sejarah merupakan elemen penting sebuah bangsa atau kelompok, bahkan sebagai bahan kerap digunakan sebagai propaganda. Sebab itu, tidak sedikit sejarah di negeri ini yang dikaburkan. Misalnya peniadaan perjuangan kemerdekaan para ulama pesantren dan santri-santrinya dalam menumpas penjajah di masa Orde Baru pimpinan Soeharto. Pada masa tersebut, kencenderungan penulisan sejarah lebih ke militerisme atau sejarah militer.
Begitu juga kelompok-kelompok minoritas seperti paham-paham Islam transnasional, kelompok puritanisme, dan kelompok-kelompok Islam yang mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok modernis. Mereka berusaha menghilangkan jejak sejarah Wali Songo sebagai penyebar utama Islam di Nusantara dengan menggambarkan Wali Songo sebagai tokoh-tokoh fiktif dan mitos. Hal itu terlihat ketika buku Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve yang tidak menyebut satu kalimat pun tentang Wali Songo. Termasuk khazanah kekayaan budaya Islam di Jawa saat pertengahan abad ke-15 silam. Hal itulah yang menjadi kegelisahan Sejarawan Indonesia, termasuk K. Ng. H Agus Sunyoto sebagai peneliti sejarah-sejarah Islam di Nusantara. Kiai Agus mengingatkan pula pada argumen yang jauh dari nilai ilmiah yang dituturkan oleh penulis Sjamsudduha dalam bukunya Walisanga Tak Pernah Ada? Yang berisi asumsi-asumsi argumentatif bahwa yang disebut Wali Songo sebagai sebuah lembaga dakwah yang beranggotakan sembilan orang tokoh wali penyebar Islam di Jawa itu dianggap tidak ada.
Kiai Agus Sunyoto memandang, dua buku yang berupaya meniadakan peran Wali Songo itu sebagai usaha sistematis dari golongan minoritas untuk mengurangi peran penganut paham Ahlussunah wal Jamaah. Padahal, secara sosiokultural-religi, pengikut Wali Songo bervariasi, mulai dari kaum santri, priyayi, dan abangan. Baca juga: Wali Songo dan Spirit Dakwah Generasi Milenial
Kiai Agus juga menjelaskan, ada peran orang Eropa dalam literatur yang hanya memaknai sesuatu sebagai objek tunggal. Otoritas pengetahuan Eropa itu menganggap sejarah dari sekelompok wali Allah tidaklah ada. “Kita tak bisa seterusnya mengikuti pandangan Eropa seluruhnya, karena mereka terbatas memaknai kajian sejarah Nusantara yang beragam,” papar Kiai Agus dalam peluncuran buku Atlas Wali Songo pada Kamis, (5/7/2012) silam di Kantor PBNU Jakarta. Sadar pentingnya makna keberadaan Wali Songo dalam dakwah Islam, Kiai Agus memulai penelitiannya dengan memadukan aspek sejarah dan arkeologi dari peninggalan jejak di situs-situs yang tersebar di pantai utara. Data material berupa prasasti disambangi dan ditelusuri oleh Kiai Agus.
Beliau menemukan bukti otentik ajaran Wali Songo. Ajaran Wali Songo tidak menghilangkan nilai-nilai sosial dan aturan dalam perilaku kehidupan rakyat lokal. Ini terlihat dari pemakaian istilah lokal yang persuasif seperti sembahyang (sembah Hyang), puasa (apuwasa), maupun pesantren. Upaya-upaya manipulasi sejarah Wali Songo dalam buku Ensiklopedia Islam oleh penerbit Ikhtiar Baru Van Hoeve dan penerbitan buku-buku picisan lain menurut pandangan Kiai Agus merupakan bagian dari strategi golongan minoritas untuk mengaburkan sejarah. Sebab, lewat buku-buku tersebut, tidak saja keberadaan Wali Songo dihapus dari sejarah penyebaran Islam di Nusantara, melainkan juga lewat penghujatan dan penistaan terhadap ajaran yang ditinggalkan Wali Songo akan menimbulkan kebencian dan antipati terhadap Islam warisan Wali Songo yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Sebab itulah Kiai Agus Sunyoto menulis buku Atlas Wali Songo. Buku yang memaparkan dengan jelas bahwa Wali Songo sebagai penyebar utama Islam di Nusantara adalah fakta sejarah, bukan fiktif, juga bukan mitos. Dalam buku tersebut, Kiai Agus tidak hanya menggunakan pendekatan kronologis sejarah total, tetapi juga menyajikan bukti-bukti arkeologis, serta jejak-jejak peninggalan para tokoh Wali Songo. Wa ba’du, dalam dunia akademis dikenal adagium, “peneliti itu boleh salah, tetapi tidak boleh bohong”. Peniadaan peran dakwah Wali Songo maupun peran ulama-ulama pesantren dalam sejarah penyebaran dan peradaban Islam di Nusantara merupakan tindakan bohong sekaligus pembohongan publik. Tindakan manipulasi sejarah tersebut berbahaya bagi generasi mendatang yang terancam tidak akan mengetahui dan memahami sejarah bangsanya sendiri. Padahal, sebuah bangsa tidak akan bisa dibawa ke mana-mana, jika tak tahu asalnya dari mana. Fathoni Ahmad, Pengajar Sejarah di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Redaktur NU Online
Sumber: https://www.nu.or.id/