ICC Jakarta – Mesianisme adalah suatu paham yang menunggu kehadiran seorang “messiah” yang bakal menyelamatkan umat manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi (wikipedia). Istilah “messiah” sendiri berasal dari bahasa Ibrani, “messiah”, yang merupakan padanan kata Arab, al-masih, suatu gelar dinisbahkan kepada Nabi Isa. Sekalipun tidak terlalu merata, paham mesianistik juga ada di kalangan muslimin, yang aplikasi praktisnya bisa terlihat pada muslim Syi’ah, dengan istilah mahdawiyah, yang berakar pada gelar Imam Dua Belas Syi’ah, Imam Mahdi al-Muntazhar as.
Profil Buku
Judul Buku : Daras Mahdawiyah (1-3)
Penulis : Khuda Murad Salimiyan
Penerjemah : Sultan Nur
Penyunting : Musa Kazhim
Penerbit : Nur Al-Huda
Tahun Terbit : 2019
Tebal : jilid 1 (247 + xvi), jilid 2 (212 + xii), jilid 3 (206 + xii)
Ukuran Buku : 14 x 21
Mesianisme adalah suatu paham yang menunggu kehadiran seorang “messiah” yang bakal menyelamatkan umat manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi (wikipedia). Istilah “messiah” sendiri berasal dari bahasa Ibrani, “messiah”, yang merupakan padanan kata Arab, al-masih, suatu gelar dinisbahkan kepada Nabi Isa. Sekalipun tidak terlalu merata, paham mesianistik juga ada di kalangan muslimin, yang aplikasi praktisnya bisa terlihat pada muslim Syi’ah, dengan istilah mahdawiyah, yang berakar pada gelar Imam Dua Belas Syi’ah, Imam Mahdi al-Muntazhar as.
Adalah menarik bahwa dalam keimanan Syi’ah, dua figur suci ini, Imam Mahdi dan Nabi Isa, diyakini akan hadir di akhir zaman sebagai Juru Selamat umat manusia. Dalam riwayat, disebutkan bahwa kelak Nabi Isa hadir kembali di dunia sebagai wazir atau menterinya Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kehadirannya.
Keadilan: Orientasi Fitrah Manusia
Adalah fitrah bahwa setiap individu akan mendorong dan membimbing dirinya untuk bergerak demi meningkatkan mutu dan kehidupannya dengan pola yang seimbang. Keseimbangan yang dimaksud adalah memberikan hak dan kebutuhan pada diri secara proporsional, baik kebutuhan materi maupun nonmateri/spiritual pada ukuran yang tepat. Dalam arti, masing-masing dipenuhi dengan keseimbangan yang menjadi haknya. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan sesuatu sesuai haknya merupakan nama lain dari keadilan.
Maka itu, aspek fitrah dalam bentuk keadilan selalu mengarah kepada bentuk aslinya, yakni bentuk fitrah itu sendiri. Apabila telah dikontaminasi oleh sesuatu yang nonfitrah kita dan bertolak belakang dengan nilai keadilan yang sesungguhnya, maka akan terjadi perlawanan yang mengacu pada perubahan yang lebih baik dan mengacu kembali kepada format asli fitrah itu. Dengan sendirinya terjadi perubahan-perubahan yang terus menerus pada diri kita, demi mempertahankan kesucian fitrah itu.
Nah, bila kita telaah secara menjeluk konsep keadilan dalam ajaran Islam, niscaya kita temukan bentuk keadilan yang akurat dan sangat selaras dengan fitrah kesucian pada diri manusia secara total. Sebagaimana ditegaskan oleh Kasyani, fitrah hati cenderung kepada keadilan dunia dan kehidupan yang manusiawi (Kasyani 2013, 88). Dengan memahami hakikat ini, akal melihat bahwa harapan tinggi umat manusia ini tidak mungkin akan terwujud tanpa keberadaan dan kehadiran pemimpin yang layak dan memenuhi persyaratan. Dari sini, akal sampai pada pemahaman tentang keharusan adanya seorang pemimpin dan pembenah, karena akal memahami bahwa untuk mencapai tujuan mulia ini diperlukan seorang pemimpin yang memiliki segenap kesempurnaan insani dan kemuliaan akhlak agar dapat menghilangkan dahaga yang dirasakan oleh fitrah-fitrah manusia.
Agama—sebagai the way of life (tata cara hidup secara individual dan sosial)—menempatkan sistem keadilan sebagai asas yang melatari kehidupan umat manusia, yang dicontohkan secara sempurna oleh figur yang paling paripurna yakni Rasulullah Muhammad saw, seorang nabi yang amanah dalam menyampaikan semua risalah Ilahi.
Dalam pada itu, Islam mengajarkan kepada manusia dua hal: pertama, keadilan (al-‘adl); dan kedua, berbuat ihsan (al-ihsan). Karena kedua hal ini yang sesuai fitrah. Tentunya dengan pemahaman yang betul tentangnya. Terkait dengan al-ihsan, selanjutnya ditulis ihsan, ia bermakna tafadhul, yakni memberikan sesuatu kebaikan dengan nilai lebih (al-Jufri 2001, 14). Makna lainnya, “Engkau menyembah Tuhan seakan engkau melihat-Nya. Apabila bila engkau belum mampu melihat-Nya (dengan akal dan mata hati), minimal engkau meyakini bahwa Tuhan melihatmu” (al-Hadis). Makna lain dari ihsan adalah al-wilayah (kepemimpinan), dengan memberikannya kepada mereka yang berhak atas kepemimpinan umat dan dipilih oleh Allah dan Rasul-Nya (al-Jufri 2001, 14).
Keadilan dan ihsan inilah yang menjadi manifestasi dari Imam Mahdi afs. Hal ini akan menjadi efektif ketika umat manusia diedukasi dengan budaya mahdawiyah, yakni sebuah budaya penantian Juru Selamat Dunia yang dalam berbagai matranya.
Tentang Buku Ini
Sebagai upaya memahamkan kepada masyarakat luas seputar budaya mahdawiyah ini mengingat urgensinya, Khuda Murad Salimiyan lantas menyusun buku Daras Mahdawiyah, yang terdiri dari tiga jilid. Jilid Pertama Daras Mahdawiyah: Imam Mahdi Semenjak Kelahiran Hingga Imamah—terdiri dari 15 Pelajaran—mengupas persoalan konsep dan sosok Imam Mahdi dari pandangan agama-agama Ibrahimik seperti agama Yahudi dan Nasrani, pandangan Alquran tentang sosok Imam Mahdi, pandangan kitab-kitab Syi’ah dan Ahlusunnah, penyimpangan mahdawiyah sebelum kelahiran Imam Mahdi yang hakiki, nasab Imam dan seputar kelahirannya, hingga ditutup dengan rangkaian kitab ensiklopedia yang mengupas Imam Mahdi.
Jilid Keduanya Daras Mahdawiyah: Imam Mahdi pada Masa Kegaiban—terdiri dari 13 Pelajaran—menjelaskan kehidupan Imam pada era kegaiban. Dalam jilid ini, pembaca diajak untuk menelisik ihwal awal mula kepemimpinan Imam Mahdi dengan merujuk pada berbagai hadis. Di sini kemustahilan bahwa seorang Imam dapat memimpin sejak kecil dipatahkan dengan berbagai contoh seperti Nabi Isa, Nabi Yahya, dan berbagai fenomena luar biasa. Pada jilid ini juga pembaca bisa mencandra filsafat kegaiban Imam, bagaimana Imam berhubungan dengan umatnya di masa gaib pendek dan masa gaib panjang, bagaimana cara dan tindakan seorang penanti Imam Mahdi yang sesungguhnya di masa kegaiban panjang, dan akhirnya dipungkas dengan pembahasan secara global seputar konsep wilayah al-faqih.
Akhirnya Jilid Ketiga Daras Mahdawiyah: Kemunculan Hingga Kepemimpinan Dunia—sebanyak 14 Pelajaran—menjadi seri terakhir yang menutup secara optimistik wajah dunia di masa depan berkat kemunculan Imam Mahdi. Pada Jilid ini penulis mendedah perihal kemunculan (zhuhur) Imam dan masalah-masalah yang akan terjadi menjelang kebangkitannya. Termasuk syarat-syarat apa yang harus dipenuhi masyarakat penanti, baik secara individual maupun secara komunal.
Dengan mengumpulkan dan menganalisis lebih daripada 2500 riwayat—sekitar 100 literatur awal Syi’ah dan Sunni—serta ratusan kitab berkaitan dengan masalah muhim ini, hemat peresensi, Salimiyan relatif sukses dalam ikhtiarnya untuk mengokohkan keyakinan dan menjelaskan hakikat mesianisme atau mahdawiyah kepada masyarakat luas. Kitab yang disusun dalam bentuk pelajaran ini, yang setiap pelajarannya ditutup dengan Penjelasan, Latihan Soal dan Literatur Riset (kebanyakan berbahasa Arab dan Persia), memudahkan bagi setiap pembelajar dari manapun untuk memahami semesta mahdawiyah ini. Dengan demikian, kepemimpinan Imam Mahdi afs diharapkan semakin menghunjam dalam kalbu para penanti sang Imam Gaib.[AM]