ICC Jakarta – Tahun 2019, saya ikut rombongan yang dipimpin Ustadz Adlani dalam ziarah Arbain berziarah ke Samara yang terletak 105 kilometer agak ke arah barat laut Kota Baghdad, di Irak. Samara inilah kota tempat Muhammad Al-Mahdi dikisahkan raib di gua di bawah masjid di Samara itu, pintu masuknya disebut Bab-al Ghayba. Saya pun menyempatkan diri ke ruang bawah tanah tempat Imam Mahdi gaib. Umat pun menunggu, yakin yang hilang akan kembali pada suatu hari, dan dunia akan jadi baik, jadi adil.
Kota Samara pada tahun 848, ketika kota itu berada di bawah kekuasaan Khalif al-Mutawakkil. Oleh orang Syiah, ia digambarkan sebagai “tiran yang bergelimang darah”. Di bawah kekuasaannya pula Imam al-Hadi wafat, diracun, dan penggantinya, Imam ke-11, Al-Askari ayah Imam Mahdi, tetap dalam tahanan rumah sampai wafat pada tahun 874.
Maka dari Samara ada yang tragis dan nostalgis dalam keyakinan Syiah. Ketika saya berkunjung ke sana wajah-wajah penantian terlihat dari para peziarah. Ada luka dan kepekaan yang tumbuh dari hidup di bawah penindasan. Dalam doktrin tentang Ghayba tersirat kesadaran religius tentang apa artinya ketidakhadiran dan ketiadaan sesuatu. Kaum Syiah percaya sang Imam adalah keadilan dan kebaikan yang bersembunyi. Kebaikan dan keadilan bukan sesuatu yang bisa diramalkan, mungkin mustahil dipenuhi, tapi keduanya bukan hal yang asing; keduanya bagian dari kemungkinan saat ini, meskipun artinya selalu luput dirumuskan. Personifikasinya adalah sang Imam yang selalu ditunggu. Imam ke-12 dikabarkan menghilang di Samara, itulah misteri ketakhadiran. Sang Adil raib tapi tak mati; ia gaib.
Kisah tentang Imam Mahdi ini dikenal juga dengan doktrin mesianisme. Doktrin ini dikenal tak hanya di agama Samawi (Yahudi, Kristen, Islam) tapi juga agama non-Samawi. Perkataan “messiah” sendiri berasal dari bahasa Ibrani, “messiah” yang merupakan padanan atau cognate perkataan Arab al-masīh. Dari sudut tinjauan kesejarahan, mesianisme sebagai unsur paham keagamaan yang kuat muncul pertama-tama di kalangan bangsa Yahudi ketika mereka mengalami masa perbudakan (“era of captivity”) di Babilonia pada sekitar tujuh abad sebelum Masehi.
Mesianisme pada awalnya adalah suatu kepercayaan pokok dalam agama yang ditandai dengan akan datangnya seorang penebus yang akan datang mengakhiri tatanan masa sekarang, baik bagi kelompok besar atau kecil, dan suatu lembaga dengan tatanan baru yang adil dan bahagia. Mesianisme adalah suatu gerakan sosial yang dikendalikan, dan sebagai suatu kepercayaan, mesianisme dapat ditemukan dalam agama zoroaster Persia, Yahudi, Kristen dan Islam. Bagi setiap penganut agama, konsep mesianisme atau ideologi agama yang mengajarkan tentang “the ultimate salvation of human race” (penyelamatan akhir bangsa manusia) dari kenistaan, penindasan dan kehancuran melalui seorang manusia pilihan Tuhan, bukan suatu hal yang aneh dan mengejutkan.
Agama-agama samawi atau ajaran yang berpangkal kepada figur Ibrahim meyakini akan datangnya seorang Mesiah. Umat Yahudi, melalui ajaran Tanakh mempercayai akan datangnya seorang Mesiah Tuhan untuk menegakkan agama, kerajaan Tuhan dan keadilan di muka bumi. Demikian pula halnya dengan umat Kristen. Dalam ajaran Bibel, mereka mempercayai kedatangan Yesus yang kedua untuk menegakkan “The Heavenly Kingdom on earth” atau Kerajaan Surga di bumi dengan kebenaran dan keadilan. Umat Islam melalui ajaran Kitab Suci Alquran dan hadis-hadis Rasulullah saw, juga meyakini akan datangnya seorang manusia yang bergelar al-Mahdi menjelang akhir zaman untuk menegakkan ajaran Islam dan kebenaran, menuai kebatilan serta menabur keadilan.
Secara umum mesianisme diartikan dengan akan datangnya seorang juru selamat yang akan membebaskan manusia dari penderitaan yang sekarang sedang dialaminya. Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan tiga agama besar (Yahudi, Nasrani/Kristen, dan Islam) yang membicarakan secara eksplisit tentang mesianisme dalam ajarannya.
Yahudi
Mesianisme sebagai unsur paham keagamaan muncul pertama-tama di kalangan bangsa Yahudi ketika mereka mengalami masa perbudakan di Babilonia pada sekitar tujuh abad sebelum Masehi. Perbudakan itu sendiri adalah akibat kekalahan mereka menghadapi serbuan tentara Nebukadnezar yang menghancurkan negeri mereka, Samaria dan Judea, di Kana’an (Palestina Selatan) dan Yerusalam (al-Quds, Bait Maqdis), ibukota mereka. Kaum Yahudi yang kalah itu kemudian diboyong ke lembah Mesopotamia untuk kerja paksa.
Dalam keadaan tak mampu menolong diri sendiri itu, kaum Yahudi secara putus asa menengadah ke langit, memohon pembebasan oleh Tuhan. Karena merasa sebagai “manusia pilihan” (the chosen people), mereka pun yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan doa mereka, dan dari langit akan diturunkan seseorang yang diutus sebagai juru selamat. Utusan itu akan tampil sebagai seorang mesiah, seorang pemimpin agama. Jadi lama-kelamaan sikap jiwa menantikan juru selamat dari langit itu tumbuh menjadi permanen dalam bentuk keper cayaan keagamaan.
Sebetulnya perkataan “mesiah” atau, yang padanannya dalam bahasa Arab, “al-masih” mengandung arti yang cukup sederhana. Secara harfiah, al-masih berarti “orang yang diusapi” (Inggris, “the an no inted one”), seperti kaum Muslim dalam wudhu “mengusap kepala” (mash al-ra’s — perhatikan perkataan Arab “mash” itu seperti tercantum dalam Alquran pada ayat tentang wudhu) (QS. Al-Maidah 5:6). Di kalangan kaum Yahudi (atau Bani Isra’il) pengusapan kepala merupakan bagian penting dari upacara pengangkatan seseorang menjadi pemimpin agama. Maka setiap pemimpin atau pemuka agama, yang pada kaum Yahudi juga sekaligus penguasa duniawi atau raja (seperti Nabi Dawud, misalnya) adalah seorang “messiah”.
Karena itu, sebagai seorang yang berasal dari kalangan Bani Isra’il, Nabi Isa putra Maryam bergelar al-Masih, yang menandakan pengakuan masyarakat kepadanya sebagai seorang pemimpin agama terkemuka. Jadi gelar al-Masih itu, dalam sistem keagamaan yang berakar dalam kebiasaan kalangan Yahudi, sesungguhnya tidaklah secara khas hanya untuk Nabi Isa putra Maryam, melainkan juga untuk para pemimpin agama di kalangan kaum Yahudi saat itu; hanya saja Nabi Isa, seperti juga disebutkan dalam Alquran, adalah al-Masih “par excellence” yang kemudian berkembang dengan maknanya yang khas Kristen.
Dalam hal ini, berdasarkan doktrin dan keyakinan umat Yahudi terhadap al-Kitab, umat Yahudi sendiri sesungguhnya mempercayai akan munculnya dua figur mesianistik: pertama adalah kedatangan “Sang Nabi Elia”; sedangkan kedua adalah kedatangan “Sang Mesiah Tuhan” yang menurut kepercayaan mereka berasal dari suku Yehuda keturunan Nabi Daud as. Hal ini dapat kita temui dalam kitab-kitab suci umat Yahudi yang berbicara tentang masa depan akhir perjalanan umat manusia dapat kita temui di banyak tempat.
Di dalam Kitab Nabi Yesaya termaktub, “Allah adalah Zat yang Maha Tinggi; Dia tinggal di A’la ‘illiyin dan Dia memenuhi Shohyun dengan keadilan dan kebijaksanaan.” (Yesaya 33:5) Termaktub pula dalam Yesaya, “Katakanlah kepada hati-hati yang ketakutan, kuatlah dan usah khawatir, kini Tuhan kalian akan datang menuntut balas. Dia akan datang dengan siksa Ilahi dan menyelamatkan kalian.” (Yesaya 35:4) Keterangan-keterangan seperti ini dalam Perjanjian Lama menjelaskan keilahian sang juru selamat yang di tangannya masa depan manusia ditentukan.
Dalam kitab Yehezkiel dia disebut sebagai raja dan pengembala. Seperti dinyatakan, “Dan hamba-Ku Daud akan menjadi raja mereka dan juga penggembala bagi mereka semua. Dia bersuluk dengan hukum-hukum-Ku, menjaga serta melaksanakan apa-apa yang Aku wajibkan.” (Yehezkiel 37:24) Terkadang sebagai salah seorang dari keturunan Daud yaitu, “Oleh sebab itu, wahai Tuhan, akan memujimu di antara umat-umat dan aku akan bernyanyi dengan nama-Mu, karena Engkau telah memberikan keselamatan besar bagi raja kami dan memberi rakhmat kepada Masih kami, yakni Daud berserta keturunannya hingga akhir zaman.” (Mazmur 18:49-50)
Terlepas dari berbagai sebutan yang diberikan kepada sang pembenah dunia, orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwa sang pembenah itu adalah Masih (Masyih). Hal ini sebagaimana dalam salah satu matan Yahudi, dia disebut sebagai hamba yang berakal (zl-‘abd al-‘aqil). Dan ini menurut keyakinan orang Yahudi sudah merupakan takdir Ilahi yang menentukan munculnya seorang manusia dengan kriteria ini untuk membenahi serta memperbaiki segala urusan yang ada di dunia.
Kristen
Perjanjian Baru telah berbicara di banyak tempat sehubungan dengan masa depan umat manusia dan prediksi-prediksi dalam masalah ini. Kitab ini juga menjelaskan tentang beberapa tanda kemunculan sang juru selamat. Kembalinya Isa as merupakan salah satu hakikat serta keyakinan yang diterima dalam ajaran Kristen, dan Injil telah berbicara soal ini. Keyakinan ini merupakan salah satu dasar pokok ajaran Nasrani.
Kembalinya Isa as dalam pandangan kaum Nasrani pada umumnya diyakini sebagai dasar akidah yang menjadi kesepakatan semua sekte dalam agama ini. Sejak abad-abad pertama Masehi Gereja Nasrani hingga sekarang telah menekankan serta menguatkan kebenaran akidah ini. Meskipun, mereka berbeda pendapat tentang bagaimana bentuk kembalinya dan apa reaksi yang terjadi di kalangan umat Nasrani. Hal ini terjadi karena di dalam kitab suci (Umat Nasrani) tidak secara jelas tertulis bahwa “Isa al-Masih as akan kembali.” Teks yang tertulis dalam bahasa Yunani terdiri dari empat kata yang tekah diterjemahkan ke barbagai bahasa, tanpa ada bukti khusus terkait dengan kembalinya Isa al-Masih as. Keempat kata itu yakni: parousia (kehadiran pascakembali); epiphameria (kemunculan); Apokallypsis (keagungan dan kebesaran; dan yaumullah (hari Allah). (The Last Messiah, Muhammad Imam Kasyani,Nur Al-Huda,2013)
Keharusan munculnya juru selamat telah disinggung dalam penjanjian Baru, yakn: Injil Matius 24:31; Injil Lukas 21: 27; Kesaksian Yahanes 22:12. Begitu pula kemunculan sang suru selamat telah dinukil dari lisan para dan utusan Isa as, yaitu: Surat Petrus 1:7; Surat Petrus 5:4; Surat Yakobus 5:7-8; Surat Paulus kepada Korintus 1:7; Surat Paulus kepada orang Tesalinika 1:11,2:19, 4:16; Surat Paulus kepada Timotius 6:14. Selain itu, dalam kitab Kisah Para Rasul 1:11 disinggung pula tentang kemunculan sang juru selamat dengan kehadiran para malaikat.
Pada intinya ajaran Nasrani dalam kitab Injil telah memberikan prediksi atas masa depan umat manusia, masa depan umat manusia akan dipenuhi dengan keamanan serta keadilan, dan masa depan itu umat manusia terjadi atas kehendak Ilahi di tangan sang pembenah akhir.
Islam
Paham yang mesianistik juga ada dalam kalangan kaum Muslim meskipun tidak merata dan pandangan yang berbeda-beda. Mesianisme dalam Islam secara umum berasal dari paham sekitar bakal turunnya Nabi Isa al-Masih dan Imam Mahdi (al-Imam al-Mahdi, artinya, pemimpin yang mendapat hidayah atau petunjuk Ilahi). Banyak kaum Muslim yang percaya, baik Sunni maupun Syiah, bakal turunnya Imam Mahdi, hanya saja keper cayaan di kalangan kaum Syiah lebih kuat dan merata dari pada di kalangan kaum Sunni. Menurut sarjana dari Amerika, Abdul aziz Sachedina, mesianisme Islam memang mewujud nyata dalam paham tentang bakal turunnya Imam Mahdi atau, singkatanya, dalam “Mahdisme”.
Mengenai Imam Mahdi dalam hadis-hadis Ahulussun umumnya terbatas dan hanya menyebutkan bahwa al-Mahdi akan memiliki nama yang sama dengan Nabi Muhammad saw dan dia akan berasal dari keturunan Sayidah Fatimah as melalui Imam Husein as. Selain itu, disebutkan juga bahwa al-Mahdi adalah seorang Imam. Mayoritas Ahlusunah yang masih menerima hadis-hadis tentang kedatangan Imam Mahdi as berusaha untuk mencari-cari makna-makna lain terhadap hadis-hadis itu. Namun, pemahaman ini pun pada akhirnya dapat acapkali menyimpang, sehingga tidak aneh apabila sejarah mereka dipenuhi oleh beberapa figur manusia yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi. Sehingga tak heran di Indonesia sendiri banyak kalangan yang menyebut dirinya Imam Mahdi.
Sedangkan di kalangan kaum Syiah, Mahdisme merupakan salah satu pandangan keagamaan yang sangat kuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa Mahdisme hampir-hampir identik dengan Syiahsme, baik kalangan Syiah Istna‘Asyariyah (juga disebut Syiah Ja‘fariyah atau Musawiyah) maupun kalangan Syiah Sab’iyah (lebih umum dikenal dengan sebutan Syiah Isma’iliyah). Kalangan Syiah Imam Duabelas tidak menganggap bahwa seorang imam harus dari garis keturunan Isma’il bin Ja‘far itu. Maka sesudah Imam Ja‘far Ash-Shadiq selaku imam keenam dan karena kematian Ismail selaku anak pertama, mereka mengangkat saudara seayah Ismail, yaitu Musa al-Kazhim selaku Imam ketujuh (799-800 M).
Setelah Imam Musa al-Kazhim, imam kedelapan ialah Ali al-Ridla (wafat 817-18 M), kemudian digantikan oleh Muhammad al-Jawad sebagai imam kesembilan (wafat 835 M), disusul oleh Ali al-Hadi sebagai imam kesepuluh (wafat 868 M), lalu Hasan al-Askari sebagai imam kesebelas (wafat 873-74 M), dan, sebagai imam ke duabelas dan terakhir ialah Muhammad yang bergelar al-Mahdi (menghilang 873- 74 M, hanya selang beberapa waktu setelah wafat ayahandanya, imam kesebelas tadi). Nama golongan ini sebagai Syiah Duabelas adalah karena kepercayaan mereka bahwa imam terakhir ialah imam yang keduabelas itu. Menurut kaum Syiah ini menghilangnya imam yang keduabelas itu adalah masa kegaiban (ghaybah). Unsur doktrinal tentang ghaybah ini merupakan hal yang amat penting dalam sistem mesianisme kaum Syiah. Kunjungan saya ke Samara itu menunjukkan bahwa dalam doktrin Imam Mahdi Syiah Duabelas terdapat bukti adanya situs sejarah yang sudah menjadi tradisi diziarahi jutaan orang setiap tahunnya.
Hanya saja paham tentang Mahdisme itu, apa pun bentuknya, mempunyai fungsi tersendiri di kalangan umat Islam. Maka tidak heran bahwa kaum Muslim, diambil secara keseluruhan, banyak yang menganut Mahdisme, dan sebagian lagi yang juga sangat banyak tidak menganut ataupun mempercayainya. Masing-masing dengan argumennya sendiri. Baik argumen dari sumber-sumber suci, seperti hadis atau ayat suci Alquran melalui suatu penafsiran atau interpretasi. Jadi Mahdisme adalah sesuatu yang diperselisihkan, alias khilafiyah yang tidak perlu menjadi perselisihan. [] (Rudhy Suharto, penulis buku Pengantar Ilmu dan Pemikiran Islam [2021],Penerbit SAM)