ICC Jakarta – Imam Ridha as dalam sebuah riwayat yang menggetarkan berkata, “Dosa-dosa kecil adalah jalan menuju dosa-dosa besar. Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah Swt dalam melakukan dosa kecil, maka ia pun tidak akan takut pada Allah Swt dalam melakukan dosa besar.”
Artinya siapa pun yang melakukan dosa kecil dan menganggapnya remeh, hal itu akan menyebabkan dirinya semakin berani untuk mengulang dosa, sementara di mata Allah Swt hal itu merupakan sesuatu yang besar, dan dosa tersebut dihitung sebagai dosa besar.
Kembali dikatakan dan kembali didengar,
Kesabaranmu diuji, begitu pula penguasaan atas diri, dan setan membencimu,
Barangsiapa kesabarannya tiang iman, maka setan akan membungkuk karenanya,
Pada riwayat lain Nabi Muhammad Saw kepada Jabir bin Abdullah bersabda, “Wahai Jabir bulan ini adalah bulan Ramadhan, barangsiapa yang berpuasa di siang harinya, berdiri untuk beribadah di sebagian malamnya, dan menahan perut serta syahwatnya dari semua yang diharamkan, dan menjaga mulutnya, ia akan keluar dari dosa-dosanya, saat meninggalkan Ramadhan.” Jabir berkata, “Ya Rasulallah sungguh baik hadis yang engkau sampaikan ini.” Rasulullah menjawab, “Wahai Jabir sungguh sulit semua syarat yang aku katakan tadi.”
Kenyataannya, dosa menahan manusia dari kafilah kesempurnaan, pertumbuhan dan hidayah, lalu menyeretnya ke jalan yang menyimpang. Banyak orang Islam dan hamba Tuhan yang baik, menahan diri untuk tidak melakukan dosa besar, tapi karena mereka tidak terjaga dari dosa atau maksum, terkadang berbuat dosa kecil.
Karena meremehkan dosa kecil tersebut, mereka tidak pernah mengambil keputusan serius untuk meninggalkannya. Padahal berlanjutnya dosa dan keputusan melakukan dosa kecil tanpa perhatian dan penyesalan, dihitung sebagai sikap bersikeras melakukan dosa. Imam Ridha as berkata, “Dosa kecil adalah jalan menuju dosa besar.”
Ketika pendosa adalah seseorang yang dipercaya dan diikuti oleh masyarakat, melakukan dosa kecil yang nampak di hadapan masyarakat, maka dampak dosa itu menjadi remeh di mata mereka. Pada kondisi itu dosa kecil tersebut menjadi besar di sisi Allah Swt. Oleh karena itu semua dosa, baik besar maupun kecil harus dihindari, sehingga kita bisa meraih hakikat nyata puasa di bulan suci ini.
Menurut fikih Islam, membasahi bibir dengan lidah tidak membatalkan puasa, menelan air liur tidak membatalkan puasa, berkumur-kumur dengan air selama tidak masuk ke tenggorokan, tidak membatalkan puasa, tapi jika air masuk ke tenggorokan, puasanya batal.
Terkadang setelah makan sahur, rasa dan bau sebagian makanan atau pasta gigi masih terasa untuk beberapa lama di mulut, setelah berkumur-kumur rasa dan bau itu masih saja terasa, hal ini tidak masalah. Agar seseorang makan sahur namun kemudian ia menyadari sudah tiba waktu shalat shubuh maka ia harus segera mengeluarkan makanan dari mulutnya, dan jika ia secara sengaja menelannya, puasanya batal, dan wajib membayar kafarah.
Selain itu tidak ada kewajiban bagi orang lain untuk mengingatkan orang berpuasa yang makan karena lupa, namun “ihtiath wajib” lebih baik mengingatkannya terutama jika dilakukan di depan umum sehingga ia sadar sedang berpuasa, dan jika makanan yang ada di mulutnya dikeluarkan, ia bisa melanjutkan puasa.
Menggunakan salep vitamin di bibir untuk mencegah pecah bibir selama tidak bercampur dengan air liur, dan tidak masuk ke tenggorokan, hal itu tidak membatalkan puasa. Menggunakan sampo dan krim beraroma saat berpuasa tidak membatalkan puasa. Menggunakan parfum saat berpuasa mustahab dan dianjurkan, tapi mencium wangi tumbuhan beraroma, makruh. Meneteskan obat tetes ke mata tidak membatalkan puasa, tapi jika rasa dan baunya masuk ke tenggorokan hal ini menjadi makruh.
Terkadang suatu zat asam naik dari perut seseorang ke sekitar mulutnya, jika saat berpuasa orang tersebut tidak sengaja menelannya, hal itu tidak membatalkan puasa, namun jika sengaja menelannya, puasanya batal. Begitu juga jika orang yang berpuasa mual dan muntah karena tidak sengaja, hal itu tidak membatalkan puasa, tapi jika sengaja muntah puasanya batal dan kafarah wajib baginya.
Jika seseorang memperhatikan dengan baik wujudnya, ia akan memahami tidak ada sesuatu pun yang benar-benar dimilikinya. Suatu hari ia bahkan akan kehilangan nyawanya sendiri tanpa bisa mencegahnya. Saat kita tahu manusia bukan pemilik hidup dan keberadaannya sendiri, bagaimana mungkin ia menjadi pemilik tubuh dan harta, anak dan istri.
Manusia benar-benar miskin. Kemiskinan yang tidak mungkin diatasi dengan harta apa pun, kecuali kedekatan dengan Tuhan, Dia yang Maha Kaya. Salah satu adab berdoa adalah memahami kelemahan dan kemiskinan eksistensi ini di hadapan Dia yang bukan hanya Pemilik semua eksistensi, tapi juga Pemilik kehendak seluruh makhluk.
Oleh karena itu Allah Swt pada Surat Al Fatir ayat 15 berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ ﴿١٥﴾
Wahai umat manusia, sungguh kalian membutuhkan Allah dalam segala hal. Hanya Allahlah yang Mahakaya dan tidak membutuhkan keberadaan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Dia berhak mendapatkan puja dan puji dalam segala situasi
Dalam Doa Abu Hamzah, salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca di malam-malam bulan suci Ramadhan, hal ini tampak jelas dan bisa dipahami. Pembaca doa ini menganggap dirinya hamba yang fakir tunduk di hadapan sumber keagungan rahmat dan pengampunan Tuhan, dan bermunajat dengan-Nya.
Sumber: Parstoday, hikmah ramadhan