ICC Jakarta – Kemilau mentari kehadiran Imam Mahdi, Imam ke dua belas memancarkan sinarnya, menerangi para pecintanya. Kemunculannya mencerlangkan sanubari orang-orang Syi’ah, orang-orang yang merindukan kedatangannya.
Khalifah ‘Abbâsiyah dan pejabat pemerintahannya telah mendapat kabar bahwa beliau adalah Imam kedua belas dan Imam penutup Syi’ah yang berasal dari keturunan Imam Hasan ‘Askarî As. Masa gaib Imam pamungkas ini akan mengalami masa yang panjang dan dialah yang akan membentuk pemerintahan semesta dengan keadilan.
Para penguasa zalim menjadi waspada dan ekstra hati-hati terhadap kemunculannya sehingga mereka berupaya ingin menggagalkan kemunculannya. Namun, mereka tidak sadar bahwa Fir’aun, meskipun dengan kekuatan adi daya yang dimilikinya membunuh secara massal bayi-bayi yang baru lahir, namun usahanya itu gagal total. Perbuatan biadab ini ia lakukan untuk mencegah munculnya seseorang yang akan menggoyang pemerintahan tiraniknya. Betapapun, ia tidak kuasa membendung keinginan Allah Swt untuk mewujudkan kebenaran. Ia pergi mencari dan menelusuri keberadaan Nabi Mûsâ dari rumah ke rumah tetapi orang yang dicarinya itu justru dibesarkan di dalam pangkuannya sendiri.
Mu’tamid, Khalifah Abbâsiyah – yang merupakan Fir’aun pada masanya – pun ingin melakukan hal yang sama. Ia pun mencoba mengikuti langkah Fir’aun berusaha mencegah kemunculan Sang Pembela Kebenaran yang ia takutkan akan merongrong kekuasaannya. Ia dengan ekstra ketat mengawasi dan menjaga rumah Imam Hasan ‘Askarî As.
Ketika Imam diracun, beliau dibawa dalam keadaan lemah dari penjara ke rumahnya. Mu’tamid menugaskan lima orang pengawal pergi menyertai Imam untuk mewaspadai dan berpatroli di sekeliling rumah Imam jika ada kejadian dan peristiwa yang terjadi di rumah itu. Tidak hanya mengutus mata-mata, tetapi ia juga mengirim beberapa bidan ke rumah Imam untuk menjaga dan membantu proses kelahiran istri Imam As.
Kota Samarrah berubah menjadi kota duka dan lara atas kematian Imam As. Orang-orang menutup tempat kerja mereka untuk melayat ke rumah Imam. Penduduk kota itu mengusung jenazah suci Imam dengan tangan mereka sendiri dalam upacara penguburan yang kudus, agung dan akbar.
Khalifah ‘Abbâsiya sangat gusar dan kesal atas kerumunan massa yang datang melayat Imam. Ia berusaha keras untuk menutupi kejahatannya dan mengumumkan bahwa kematian Imam merupakan sebuah kematian yang wajar dan alamiah.
Mu’tamid mengutus saudaranya untuk menghadiri upacara pemakaman dan bersaksi bahwa tidak ada yang membunuh Imam As .Di sisi lain, ia membagi-bagikan harta peninggalan Imam untuk menunjukkan bahwa Imam tidak meninggalkan anak yang dapat menunaikan salât jenazah dan
menjadi pewaris sah atas harta peninggalan Sang Imam.
Namun betapapun, ia berusaha untuk menutupi cahaya kebenaran, kehendak Allah Swt lah yang tetap berlaku. Putra Imam berusia lima tahun ketika beliau dibunuh. Ia mencapai kedudukan Imam pada usia lima tahun, seperti Nabi ‘Isâ yang diangkat sebagai Nabi ketika ia masih di ayunan.
Putra Imam pun – pada usia yang sama – ketika mereka meletakkan jenazah muqaddas ayahnya – dan pamannya yang bukan orang baik-baik itu ingin memimpin shalat jenazah – didorong ke samping dan beliau sendiri maju kedepan memimpin salat jenazah tersebut. Setelah selesai salat jenazah, beliau menghilang dari pandangan mata.
Sejak masa Imam Hasan ‘Askarî, orang-orang Syi’ah telah melihat beliau di kediaman Imam Hasan ‘Askarî dan telah mendengarkan nasihat beliau tentang anaknya kepada mereka. Setelah syahadah Imam, mereka tetap berhubungan dengan Imam hingga beberapa lama.
Keadaan yang berlaku ketika Imam lahir
Hakîmah, bibi Imam berkata : ” Aku pergi ke rumah anak saudaraku, pada hari kamis pada bulan Sya’ban. Ketika aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, Imam berkata, ” Wahai bibi, tinggallah malam ini bersama kami karena putra kami akan segera lahir. Aku sangat bergembira dan berbahagia mendengarkan kabar itu dan pergi menjumpai Narjis (Ibunda Imam Zamân) namun aku tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada diri beliau. Aku terkejut – aku berkata pada diriku – aku tidak melihat tanda-tanda adanya bayi akan lahir. Pada saat-saat itu, Imam datang padaku dan berkata : ” Duhai bibi, jangan bersedih, Narjis seperti ibunda Nabi Musâ As dan si bayi seperti Musâ, yang lahir secara tersembunyi dan tanpa tanda-tanda apa pun yang menyertai kelahirannya. Pergilah ke Narjis, dia akan segera melahirkan pada subuh hari. Aku berbahagia dan tinggal menemani Narjis dan apa yang dikatakan oleh Imam bahwa tanda-tanda kelahiran Narjis muncul sebelum matahari terbit di ufuk timur. Seberkas cahaya mewujud antara diriku dan dia sehingga aku tidak dapat melihat Narjis lagi. Aku ketakutan dan keluar dari bilik itu untuk menjumpai Imam melaporkan apa yang telah terjadi. Beliau tersenyum dan berkata, ” Kembalilah, beberapa saat lagi engkau akan melihatnya.”
Aku kembali ke kamar dan melihat seorang bayi baru lahir dan tengah melakukan sujud lalu ia mengangkat tangannya ke angkasa, berdzikir dan memuji Allah Swt dengan segala ke-Pemurahan-Nya, ke-Besaran-Nya dan ke-Esaan-Nya.
Keadaan Ibunda Narjis
Salah seorang budak Imam Hâdî ” Busher Ansâri” menukilkan sebuah kisah sehubungan dengan kejadian itu. Suatu hari Imam Hâdî As memanggilku dan berkata padaku : Aku ingin memberikan sebuah pekerjaan untukmu, pelaksanaan pekerjaan ini akan menjadi sesuatu yang sangat berharga untukmu. Beliau memberikan sebuah surat disertai dengan sekantung karung yang berisi dua ratus emas Dinar. Beliau berkata : ” Ambillah kantung ini dan pergi ke Baghdad nantikan di sana di Sungai Eufrat karena ada kapal yang akan berlabuh besoknya. Di sana terdapat banyak budak-budak yang dibawa untuk diperjual belikan.
Kebanyakan pembeli dan penjual itu berasal dari Banî Abbâs dan beberapa pemuda dari suku bangsa yang lain. Di atas kapal itu, ada seorang wanita yang ketika ia diminta untuk menampakkan dirinya, ia enggan memenuhi permintaan pembeli itu. Salah seorang pemuda maju ke depan dan berkata pada tuannya, ” Aku siap membeli wanita itu dengan harga dua ratus emas Dinar. Tetapi si wanita itu tidak setuju dengan tawaran pemuda itu. Lalu tuannya berkata : ” Kamu tidak ada pilihan lain kecuali harus dijual, kamu harus terima tawaran pemuda itu.” Tapi ia berkata lagi, sebentar, pembeliku akan segera datang. Lalu engkau maju ke depan berikan surat itu kepadanya, katakan ” Jika wanita ini berhasrat kepada orang yang mengirim surat ini, aku akan membelinya.” Setelah membaca surat yang disodorkan padanya, wanita itu merasa senang lalu engkau bayar dengan uang ini, serahkan pada tuannya dan bawa wanita itu kemari.”
Busher berkata : ” Aku kerjakan apa yang diperintahkan Imam kepadaku, aku beli wanita itu dari tuannya. Dalam perjalanan ia menceritakan kepadaku sebuah cerita yang mengejutkan, katanya : ” Aku adalah putri Raja Roma. Datukku adalah sahabat dekat Nabi ‘Isâ. Ayahku menginginkan aku menikah dengan keponakannya. Suatu hari, ia mengadakan sebuah pertemuan akbar di istana dan meminta kemenakannya duduk bersanding denganku di singgasana. Seluruh bangsawan Nasrani dan para punggawa kerajaan berkumpul untuk menikahkan aku dengannya.
Tiba-tiba istana berguncang, yang membuat segala sesuatunya berserakan dan saudara sepupuku itu terjatuh dari singgasana. Dengan adanya kejadian itu, mereka tetap tidak menyerah untuk menikahkan aku dengannya. Mereka kembali mengadakan pertemuan itu, namun kejadian yang sama juga kembali terjadi. Para bangsawan Nasrani menganggapnya sebagai sebuah pertanda buruk dan mereka semuanya bergegas meninggalkan istana.
Pada malam yang sama, aku tertidur dalam keadaan sedih dan pilu. Aku bermimpi seorang pria dengan cahaya yang memancar dari tubuhnya datang ke istana. Beberapa orang berkata bahwa pria itu adalah Nabi ‘Isâ As dan yang lainnya berkata bahwa pria itu adalah Rasulullâh Saw. Rasulullâh Saw berhadapan dengan Nabi ‘Isâ As, beliau berkata ” Aku meminang cucumu untuk cucuku.
Nabi ‘Isâ As sangat bergembira dengan pinangan itu. Beliau menerima pinangan Rasulullâh Saw.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan tidak mengatakan perihal mimpi itu kepada siapa pun. Hingga suatu hari aku jatuh sakit dan ayahku memanggil seluruh tabib untuk melihat keadaanku. Namun tidak satu pun dari mereka yang dapat menyembuhkan sakitku. Aku memohon kepada ayahku untuk membebaskan orang-orang Muslim yang ada dalam penjara ketika itu.
Ia mengabulkan permohonanku. Ia membebaskan tawanan itu dan setelah orang-orang muslim itu dibebaskan, aku pun sembuh dari sakitku.
Pada malam yang sama, aku sekali lagi melihat dua orang wanita yang penuh dengan cahaya. Mereka berkata bahwa wanita itu adalah ibunda Nabi Allah ‘Isâ As dan Fâtimah putri Rasulullâh Saw. Fâtimah maju ke depan dan berkata kepadaku : ” Jika engkau ingin menjadi istri dari putraku, engkau harus menjadi muslim.”
Aku menerima Islam melalui tangan beliau dalam mimpi itu. Lalu ia membawaku menjumpai anaknya Imam Hasan ‘Askarî.
Cintanya menawan hatiku dengan kuat dan seluruh badanku lemas siang dan malam hingga suatu malam, aku melihat Imam Hasan ‘Askarî dalam mimpi. Aku bertanya padanya, ” Bagaimana aku dapat menjadi istrimu? Beliau berkata : ” Ayahmu dalam waktu dekat ini akan mengirim serdadunya untuk berperang melawan serdadu muslim dan engkau akan berada di barisan belakang serdadu itu. Serdadu muslim akan memenangkan perang itu dan engkau akan di tahan sebagai tawanan perang dan akan dibawa ke Baghdad untuk dijual. Engkau akan dibawa ke Baghdad dengan kapal yang melintasi Sungai Eufrat. Kapal itu akan berlabuh di Sungai Eufrat dan mereka akan membawamu keluar dari kapal itu untuk dijual.
Para pembeli akan datang untuk membelimu. Namun, tunggulah, hingga seseorang (utusan) datang untuk membelimu. Ia akan datang dengan membawa surat dari ayahku. Dialah yang akan menjadi pembelimu dan membawamu pergi.
Aku terjaga dari mimpi dan merasa gembira. Dan setelah beberapa waktu berlalu, apa yang diceritakan oleh Imam Hasan dalam mimpi itu terjadi. Wahai Busher! Hingga saat ini tidak ada seorang pun yang tahu akan cerita ini dan mengenali aku. Berhati-hatilah, jangan engkau ceritakan kisahh ini kepada siapapun. Simpanlah cerita ini untukmu saja.
Busher berkata ketika Narjis menukilkan kisah itu kepadaku, gemetar seluruh tubuhku. Sejak saat itu, aku menghormatinya dan menemaninya seakan-akan aku ini adalah budaknya. Aku membawa beliau ke hadirat tuanku Imam Hâdî As. Beliau bertanya kepada wanita itu, bagaimana ceritanya engkau memeluk Islam? Dia menjawab : ” Anda bertanya sesuatu yang anda lebih paham ketimbang aku.”
Beliau lalu berkata : ” Berita gembira untukmu tentang seorang anak yang akan memenuhi semesta ini dengan keadilan dan hukum, seorang anak yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat manusia.
Kemudian beliau memalingkan wajahnya ke saudarinya Hakîma ” Wahai ukhti! Inilah wanita yang kau nanti-nantikan selama ini. Bawalah ia bersamamu dan ajarkan Islam padanya.” Hakîma memeluknya erat dan dengan penuh pengormatan ia membawanya pergi.”
Sumber:
Imam Mahdî As; Sang Pemimpin Keadilan
pengarang: Sayyid Mahdî Ayatullâhî