ICC Jakarta – Selama bertahun-tahun lamanya rakyat Kufah telah mendengarkan khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran yang telah disampaikan oleh Imam Ali di mimbar-mimbar masjid mereka. Dan mereka telah mengenal kefasihan Imam Ali As dalam bertutur-wicara. Para wanita Kufah pun sudah sekian lama menghadiri pelajaran-pelajaran tafsir yang diberikan oleh Zainab, putri Imam Ali As dan Fatimah Zahra As. Sehingga, meskipun Zainab saat itu berstatus sebagai tawanan perang Ibn Ziyad, penjelasannya dalam khutbah-khutbah yang ia sampaikan sangat berpengaruh di hati masyarakat Kufah. Ia masih mempunyai wibawa dan cukup disegani dan dihormati oleh rakyat Kufah. Ketika ia memberikan isyarat supaya mereka menutup mulut guna mendengarkan pidato-pidatonya, maka mereka serta merta terdiam dan keadaan pada waktu itu menjadi tenang dan tubuh-tubuh mereka pun bergetar, nafas-nafas mereka berhenti di dada-dada mereka, keadaan menjadi sangat tegang. Ia berpidato sedemikian lantang sehingga seakan-akan Ali As hidup kembali dan berkata-kata terhadap penduduk Kufah.
Keadaan Rakyat Kufah sangat berbeda dengan masyarakat Syam dan keduanya tidak bisa di samakan. Penduduk Syam berada di bawah tekanan Abu Sufyan. Oleh karena itu tidak mengherankan sekiranya masyarakat Syam tidak mengenal siapa sebenarnya Ahlulbait Nabi Muhammad Saw itu, karena mereka adalah hasil didikan Abu Sufyan. Sehingga ketidakkenalan masyarakat Kufah terhadap para Imamnya tidak bisa dihukumi sama dengan ketidakmengertian rakyat Syam. Bertahun-tahun lamanya mereka hidup semasa dan sezaman dengan para Imam. Rakyat Kufah meyakini akan kebenaran ajaran Ahlulbait As. Oleh karena itu segala keputusan yang mereka ambil dan kemudian mereka jalankan, atas dasar pengetahuan dan hujah atas mereka telah sempurna.
Ketika Rakyat Kufah mendengar kematian Mu’awiyah, mereka bertekad untuk menebus kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan terhadap Imam Ali As dam Imam Hasan As. Dan dengan mengundang Imam Husain As dan akan meruntuhkan pemerintahan Bani Umayah sehingga pada kemudian hari akan mengembalikan pemerintahan kepada keluarga Nabi Saw. Sekitar 12.000 surat yang beliau terima dalam berbagai kesempatan berisi ikrar mereka akan pembaiatan yang akan diberikan kepada Muslim bin Aqil sebagai utusan Imam Husain As dan mereka bertekad akan membela Muslim sampai nafas penghabisan!
Namun dengan ditunjuknya Ubaidillah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah serta ancaman-ancaman terhadap para pembangkang dan janji muluk-muluk bagi yang setia serta patuh kepadanya, maka keadaan kota Kufah menjadi berubah total dan hanya beberapa orang saja yang masih setia terhadap janjinya kepada Imam Husain As. Sisanya adalah hanya para pembual saja dan orang yang mengingkari terhadap janji mereka sendiri. Sebagian dari mereka, bahkan penduduk yang menulis surat kepada Imam Husain As bergabung dengan pasukan Ubaidillah dan bahkan ada di antara mereka yang juga ikut andil dalam membunuh Imam Husain As!
Pidato Zainab yang yang ia sampaikan kepada penduduk Kota Kufah, telah memberikan kesadaran Rakyat Kufah yang tertipu oleh berita penguasa bahwa para kekasih Nabi Saw menemui kesyahidannya hanya karena mempertahankan akan hak kehalifahannya yang telah dirampas secara paksa dan memerangi pemerintahan tiran.
Dalam khutbah yang ia katakan, Zainab menyamakan orang-orang Kufah seperti wanita-wanita yang kurang mempunyai akal, yang telah bersusah payah menenun benang-benang dengan kuat, namun kemudian mereka mengurai lagi benang-benang yang telah mereka tenun. Perumpamaan ini sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai-berai kembali, sedang kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai sarana pengkhianatan di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain (dan kamu menjadikan banyaknya jumlah musuh sebagai alasan untuk membatalkan baiat dengan Rasulullah).” (Qs. an-Nahl [16]: 92)
Ayat ini merupakan perumpamaan yang paling baik dalam menggambarkan kepribadian penduduk Kufah. Orang-orang Kufah telah susah payah dalam menanam pepohonan di kebun-kebun dan ladang-ladang mereka dan mereka telah bersabar atas pekerjaan ini namun hasil jerih payah mereka dipersembahkan kepada musuh-musuh Islam. Demikian juga jalan-jalan yang mereka buat dengan memeras keringat telah dilewati oleh pembenci Ahlulbait As. Ini semua menunjukkan bahwa rakyat Kufah itu memang penduduk yang tidak menepati janji mereka sendiri dan juga menandakan ketidakrestinen mereka dalam berperilaku. Masyarakat Kufah sungguh tidak mempunyai kepribadian yang teguh, di mana setelah mereka menyaksikan bahwa jumlah pembangkang Imam Husain As sangat banyak, mereka juga dengan mudahnya melupakan janji yang telah diucapkan dan menyatukan diri mereka dengan para pembangkang. Zainab memandang rakyat Kufah sebagai masyarakat yang mengingkari terhadap janjinya sendiri, keindahannya hanya berada di dhahirnya saja, tidak dalam batin mereka. Ia juga mengingatkan kepada seluruh penduduk dunia supaya tidak tertarik akan janji-janji bual penguasa zalim.
Tanpa diragukan lagi bahwa khutbah yang disampaikan oleh Zainab merupakan peringatan keras yang disampaikan kepada rakyat Kufah dan telah menyadarkan mereka dari kelalaiannya yang pada akhirnya terbentuk gerakan tawabin di Kufah. Setelah terjadi tragedi Karbala, mereka bertobat karena tidak menolong cucu Rasul Saw. Mereka bertekad untuk menuntut balas atas darah Husain As. Sebagian dari pengikut syiah Kufah berkumpul di rumah Sulaiman bin Sarad al Khuza’i dan secara sembunyi-sembunyi menghimpun masa. Mereka telah merencanakan semenjak tahun 61 H untuk menuntut balas atas darah Sayyidus Syuhada dan para penolongnya namun mereka baru merealisasikan rencananya tersebut 4 tahun kemudian. Dalam rentang waktu itu, mereka mengumpulkan persenjataan dan segala peralatan perang. Akhirnya pada hari Rabu, 22 Rabiuts Tsani tahun 65 H dengan pasukan sejumlah 4000 dengan yel-yelnya “Ya latsaratil Husain“ (Allamah al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, Jil. 52 Hal. 308) bergerak ke arah Syam. Pemberontakan Tawabin (orang-orang yang bertaubat) dipelopori oleh 5 pembesar pecinta Ahlulbait As: Sulaiman bin Sarad Khuza’i, Musaib ibn Najbah, Abdullah ibn Sa’d bin Nufail, Abdullah bin Wal dan juga Rifa’ah Syadad. Ketika itu kekhalifahan Syam dipegang oleh Marwan bin Hakam. (Syamsudin Din, Anshare Husain, hal. 205) Mereka bertemu dengan pasukan Syam yang jumlahnya 20.000 orang di suatu daerah yang bernama ‘Ainul Wardah. Setelah beberapa hari perang sengit berkecamuk, perang ini berakhir dengan banyaknya korban yang syahid pada pasukan Tawabin termasuk pemimpin mereka, Sulaiman bin Sarad yang ketika itu berumur 93 tahun. Dan sejumlah dari pasukan itu juga menjadi tawanan perang.(Hayât al-Imâm Husain bin ‘Ali, jil. 3, Hal. 450)
Zainab telah menyampaikan pesan Karbala, yaitu menghidupkan ajaran Islam, menumbuhkan keadilan di masyarakat, menghidupkan kembali ajaran-ajaran para nabi dan ritual-ritual keagamaan di tengah-tengah masyarakat, memberikan kejelasan kepada masyarakat akan kebejatan pemerintahan Umawi dan penghancuran terhadap kekuasaan Bani Umayah di seluruh dunia serta membebaskan umat Islam dari cengkerama penguasa taghut Umawi.
Tujuan-tujuan dari Revolusi Karbala ini sangat terpatri pada diri Imam Husain dan juga para pengikutnya. Di antara sabda-sabda Imam Husain As yang mengisyaratkan tujuan itu adalah: Sesungguhnya aku ke luar untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada pada umat kakekku, aku mau beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran dan akan mengamalkan gaya hidup Nabi dan Ali.”. (Hayât al-Imâm Husain bin ‘Ali, jil. 2, Hal. 264)
Pada suratnya yang ia peruntukkan kepada para pembesar Basrah, ia menulis: Aku menyeru kalian untuk mengikuti tuntunan al-Qur’an dan Sunah nabi. Sesungguhnya sunat sudah mati dan bid’ah telah dicintai. (Hayât al-Imâm Husain bin ‘Ali, jil. 2, Hal. 322)
Dalam suratnya yang ia bawakan kepada Muslim bin Aqil, mengisyaratkan untuk beramal kepada ajaran al-Qur’an, menegakkan keadilan dan kebenaran. (Hayât al-Imâm Husain bin ‘Ali, jil. 2, Hal. 340). Di gurun Karbala yang kering dan tandus, ia berujar kepada pengikutnya tentang pentingnya untuk mengadakan perlawanan pada hari ketika nilai-nilai kebatilan telah menyebar luas di tengah-tengah masyarakat.(Hayât al-Imâm Husain bin ‘Ali, jil. 2, Hal. 98).
Zainab juga memberikan pelajaran yang sangat penting sampai akhir hayat. Ia jelaskan bahwa azab Allah itu bersifat abadi dan segala sesuatu yang ada di dunia ini akan ditinggalkan dan apabila mereka tidak mau bertaubat dan memperbaiki tingkah laku mereka, maka akan menemui kehidupan yang pahit di dunia, dan terlebih lagi di akherat. [Zinat Badri/Sekiranya Tiada Zainab).